Jumat, 20 Agustus 2010

PENDIDIKAN KARAKTER

PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pengertian
Pendidikan karakter adalah usaha yang dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri ( Doni Koesoemah: 2007)
Menurut Jakoep Ezra, seorang ahli Character, "Karakter adalah kekuatan untuk bertahan dimasa sulit". Tentu saja yang dimaksud adalah karakter yang baik, solid, dan sudah teruji. Karakter yang baik diketahui melalui "respon" yang benar ketika kita mengalami tekanan, tantangan dan kesulitan.
Karakter yang berkualitas adalah sebuah respon yang sudah teruji berkali-kali dan telah membuahkan kemenangan. Seseorang yang berkali-kali melewati kesulitan dengan kemenangan akan memiliki kualitas yang baik. Tidak ada kualitas yang tidak diuji. Jadi jika ingin berkualitas, tidak ada cara yang lebih ampuh kecuali 'ujian'. Ujian bisa berupa tantangan, tekanan, kesulitan, penderitaan dan hal-hal yang tidak kita sukai. Dan jika kita berhasil melewatinya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali maka kita akan memiliki kualitas tersebut.
Karakter berbeda dengan kepribadian dan temperamen. Kepribadian adalah respon kita atau biasa disebut etika yang kita tunjukkan ketika berada di tengah-tengah orang banyak, seperti cara berpakaian, berjabat tangan, dan berjalan. Temperamen adalah sifat dasar kita yang dipengaruhi oleh kode genetika orang tua, kakek nenek, dan kakek buyut dan nenek buyut kita. Sedangkan karakter adalah respon kita ketika sedang 'diatas' atau ditinggikan. Apakah kita putus asa, sombong, atau lupa diri. Bentuk respon itulah yang kita sebut karakter.
Karakter terbentuk dipengaruhi oleh paling sedikit lima faktor, yaitu: temperamen dasar kita (dominan, intim, stabil, cermat), keyakinan (apa yang kita percayai, paradigma), pendidikan (apa yang kita ketahui, wawasan kita), motivasi hidup (apa yang kita rasakan, semangat hidup) dan Perjalanan (apa yang telah kita alami, masa lalu kita, pola asuh dan lingkungan).
Karakter yang dapat membawa keberhasilan yaitu empati (mengasihi sesama seperti diri sendiri), tahan uji (tetap tabah dan ambil hikmah kehidupan, bersyukur dalam keadaan apapun, dan beriman (percaya bahwa Tuhan terlibat dalam kehidupan kita). Ketiga karakter tersebut akan mengarahkan seseorang ke jalan keberhasilan. Empati akan menghasilkan hubungan yang baik, tahan uji akan melahirkan ketekunan dan kualitas, beriman akan membuat segala sesuatu menjadi mungkin.
Masih menurut Jakoep Ezra, MBA, CBA, Karakter dibentuk tidak diciptakan, harus melalui proses. Benar ada karakter dasar yang memuat kekuatan dan kelebihan kita. Untuk mengembangkan karakter, diperlukan pendidikan karakter. Kita tidak dapat bertumbuh sendiri dalam karakter yang baik. Perlu seorang pembina, coach, mentor yang mengarahkan dan memberitahukan kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karakter kita.
Pendidikan karakter akhir-akhir ini ramai dibicarakan dan ingin dikembalikan lagi pada inti pendidikan kita. Memang, pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu menjadi sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki pertumbuhan secara lebih penuh sebagai manusia.
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apapun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Wacana pendidikan karakter belakangan ini umumnya memposisikan pendidikan karakter sebagai “jalan keluar” bagi berbagai krisis moral yang sedang melanda bangsa Indonesia. Demikianlah, orang mengusulkan pendidikan karakter untuk mencegah perilaku korupsi, praktik politik yang tidak bermoral, bisnis yang culas, penegakan hukum yang tidak adil, perilaku intoleran, dan sebagainya.
Meskipun demikian, sejauh manakah pendidikan karakter telah dipahami? Apakah pendidikan karakter sama saja dengan pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan budi pekerti atau pendidikan kewarganegaraan? Apakah pendidikan karakter dapat diaplikasikan tanpa pengetahuan yang memadai tentangnya?
B. Ciri Dasar Pendidikan Karakteter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
C. Bagaimana Menciptakan Masyarakat yang Berkualitas Karakter?
Cara yang paling mudah adalah, pertama untuk masyarakat kalangan bawah dan anak-anak diadakan keteladanan dan pendidikan karakter. Misalnya para pimpinan harus memberikan contoh-contoh teladan dalam berbuat kebajikan kepada rakyat, sehingga rakyat terajak untuk berbuat baik dengan suka rela dan pada akhirnya mereka akan berkarakter baik sebagai wujud contoh teladan dan ketaatan kepada pimpinan
Sedangkan bagi anak-anak belum dewasa (dibawah umur 18 tahun) pendidikan karakter adalah solusi yang mujarab yang dapat diharapkan akan mengubah prilaku negatif ke fositif. Pertama kurangi jumlah mata pelajaran berbasis kognitif dalam kurikulum-kurikulum pendidikan TK, dasar, menengah atau menengah sehingga sesuatu yang hanya menjadi beban siswa berkurang. Karena pendidikan intelektual (kognitif) yang berlebihan akan memicu kepada kekerasan dan kenakalan remaja. Seharusnya Pemerintah tidak perlu terjebak dengan ephoria Ujian National, karena secara subtansi ujian tersebut lebih banyak menyebabkan kekerasan kepada anak didik dan penyelewengan pendidik terhadap karakter yang baik, seperti membocorkan jawaban, mengajari anak untuk berbohong dan lain-lain
Kedua, setelah dikurangi beberapa pelajaran kognitif, tambahkan materi pendidikan karakter. Materi pendidikan karakter tidak identik dengan mengasahkan kemampuan kognitif, tetapi pendidikan ini adalah mengarahkan pengasahan kemampuan affektif. Maka metode pengajaran pelajaran karakter ini adalah dilakukan dengan cerita-cerita keteladan seperti kisah-kisah keteladanan Nabi-nabi, pahlawan-pahlawan, dunia, nasional ataupun lokal. Cara lain yang dianggap baik dilakukan adalah dengan contextual learning, meskipun tidak resmi, tidak dalam kelas, anak-anak dicontohi berahklak baik dengan langsung diperlihakkan oleh tindakan-tindakan seluruh pendidik dalam suatu institusi pendidikan, dan inilah cara yang terbaik
Adapun bagi masyarakat kelas atas; penguasa, pimpinan, perubahan karakter mereka kearah yang lebih baik dapat dilakukan dengan penegakan hukum yang pasti dan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Syariat Islam adalah senjata ampuh itu hal ini, maka bidikan qanun itu kepada mereka koruptor-koruptor lebih dulu dari kepada kelas bawah yang tidak berdaya.
D. Pendidikan Karakter Tanggung Jawab Semua Pihak
Fokus pendidikan karakter adalah sekolah. Semua pihak yang terlibat di sekolah memikul tanggung jawab membangun pendidikan karakter. Meskipun demikian, pendidikan karakter bukanlah sebuah mata pelajaran yang harus dihafal. Pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral Pancasila, dan sebagainya.
Karena itu, meskipun lingkungan sekolah sangat berperan dalam pendidikan karakter, peran orang tua, masyarakat, dan negara tidak kalah penting. Nilai-nilai yang ditawarkan seebagai fondamen pendidikan karakter tidak akan bisa terealisasi menjadi karakter individu jika tidak pernah dipraktikkan di rumah dan di masyarakat. Sebagai contoh, seorang anak sulit bersifat terbuka dan menghormati perbedaan jika orang tua di rumah biasa bersifat otoriter. Lebih parah lagi jika nilai-nilai semacam ini dipasung oleh rezim penguasa tertentu.
Keteladanan sebagai salah satu model pendidikan karakter kiranya tepat dengan situasi negara kita. Orangtua yang gemar bekerja keras, disiplin, setiap pada nilai-nilai moral, agama, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan akan membantu pembentukan karakter seorang siswa. Demikian pula guru yang terbuka, dedicated, jujur dan adil atau masyarakat dan negara yang menjunjung tinggi kebebasan, demokrasi, multikulturalisme, keadilan sosial, dan sebagainya. Inilah lingkungan yang kondusif bagi pembentukan karakter sebagaimana dimaksudkan.
Sangat sulit melakukan penilaian terhadap pendidikan karakter. Pendidikan karakter tidak bisa dinilai seperti menguji mata pelajaran lain. Kritik terhadap masalah Ujian Nasional sepintas memang menggarisbawahi hal ini, tetapi tampaknya tidak berhubungan langsung dengan assessment terhadap pendidikan karakter. Sementara itu, penegasan bahwa pendidikan karakter harus bersifat membebaskan mengandung konsekuensi logis bahwa penilaian terhadap pendidikan karakter harus dilakukan oleh individu sendiri.
Meskipun demikian, pendidikan karakter tidak lantas menjadi proses pembentukan watak pribadi yang subjektif sifatnya. Pentingnya perilaku standar yang dimiliki sekolah, bahkan di rumah dan di masyarakat. Perilaku standar inilah yang menjadi semacam life in common yang dibangun di atas nilai-nilai unggulan yang sudah disepakati dan yang pada gilirannya menjadi tolok ukur (benchmark) dalam menilai pendidikan karakter itu sendiri.

DAFTAR BACAAN
. http://web.acehinstitute.org/OPINI/PENDIDIKAN/137.html
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm
Saifuddin Dhuhri, Lc., MA, Pendidikan Karakter Sebagai Solusi: Memajukan Bangsa

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Play with £10 Free at Slotsclub - Lucky Club
At Slotsclub, you can experience our exciting new online casino games and more 카지노사이트luckclub than just slots! You can choose from over 500 slots, 50 unique games, and hundreds