PERJUANGAN SEORANG ANAK DESA
Aku mengucapkan syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia yang telah aku rasakan selama ini sehingga aku mejadi seperti sekarang. DR. Asmara memberi ucapan selamat kepadaku atas tropi yang aku terima malam ini “selamat ya, suaramu bagus sekali lho, jadi tidak salah kalau kamu meraih dua tropi sekaligus”. Sambil tersipu-sipu aku mengucapkan terimakasih menerima ucapan selamat dari dosen UGM, yang sekaligus beliau adalah sahabatku, memang malam itu aku berhasil meraih dua kejuaraan sekaligus dalam acara lomba menyanyi lagu-lagu keroncong dan lagu-lagu campursari yang diadakan oleh sebuah stasiun radio terkemuka di daerahku.
Sejak kecil aku memang senang sekali menyanyi, akan tetapi saat itu aku tidak dapat mengembangkan bakat menyanyiku, karena di desaku saat itu tidak ada sarana yang mendukung untuk dapat mengembangkan bakat apapun yang kumiliki.
Pikiranku menerawang jauh ke masa silam ketika aku masih kanak-kanak, hijauanya alam di desaku menunjukkan bahwa alam di sana masih sangat perawan, tidak ada polusi, tidak ada pencemaran lingkungan dan tidak ada kerusakan seperti sekarang ini, di desa itu puluhan tahun lalu, aku suka sekali mandi di sungai nan jernih, sembari mencari ikan yang dengan mudahnya bisa didapat di sungai itu. Kadang-kadang aku mencari ikan dengan cara memancing dan kadang-kadang dengan cara menyeser, yaitu mencari ikan dengan menggunakan alat yang dibuat dari bambu yang dianyam dan berbentuk bulat dan alat itu disebut erek, aku harus nyebur ke sungai untuk mencari ikan.
Mamak, begitulah aku memanggil ibu yang melahirkan aku, sangat gembira kalau aku mencari ikan di sungai karena aku pasti akan memperoleh ikan banyak, dimana ikan tersebut segera akan dimasak olehnya untuk lauk seluruh keluargaku, Mamak memujiku dengan bangganya “Atik, kamu memang anak yang pintar, tiap kali mencari ikan pasti mendapat banyak, jangan lupa besok sepulang sekolah mencari lagi”. begitu pesan Mamak setiap aku selesai mencari ikan dan menyerahkannya pada Mamak untuk dimasak.
Akan tetapi sekarang sungaiku yang jernih dan ikan-ikan yang bebas hidup di dalamnya sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah sungai dengan air yang sangat kotor dan tidak ada lagi ikan berenang di dalamnya, tidak kulihat lagi anak-anak kecil bermain riang dan belajar berenang disana, aku melihat hampir tidak ada lagi kehidupan di sungai itu, aku sangat sedih, betapa tidak, sudah puluhan tahun aku meninggalkan desa ini rasanya aku rindu sekali untuk memancing dan mandi di sungai itu, namun kerinduan tinggalah kerinduan karena sudah tidak mungkin lagi aku melakukan hal itu, alasannya adalah yang pertama usiaku bukan anak-anak lagi jadi sudah tak pantas aku mandi di sungai layaknya anak kecil, yang bebas mandi di sungai dengan telanjang badan, yang kedua sungaiku yang dulu jernih dan yang banyak ikannya sudah tidak ada lagi.
Dengan perasaan sedih aku meninggalkan pinggiran sungai yang airnya kotor itu, aku berjalan menuju lereng gunung di sebelah selatan sekolahan. Sekolahan itu adalah Sekolah Dasar dimana dulu aku belajar di situ dan menimba ilmu, aku masih ingat pada Pak Suma guru matematikaku, aku juga ingat pada Pak Sa’ad guru IPS yang sangat menyayangi aku. Pak Sa’ad pernah berkata di depan kelas kepada semua anak-anak “ Anak-anak, kalau sekolah itu harus berprestasi seperti Atik ini, meskipun anaknya orang miskin tapi dia selalu juara kelas, itu bisa diraih oleh Atik dengan usaha yang keras yaitu belajar!”. Apa yang disampaikan oleh Pak Sa’ad waktu itu disambut tepuk tangan oleh teman-teman sekelasku, tentu saja hal itu membuat aku bangga dan tersipu malu.
Gedung sekolahku sudah berubah, tidak seperti dulu lagi, banggunannya sudah lebih baik daripada ketika aku masih duduk dibangku sekolah itu. Aku merasa lega bahwa setelah sekian lama aku merantau ke kota, di desa ini sudah banyak kemajuan, listrik sudah masuk desa, rumah-rumah penduduk sudah permanen dan bagus-bagus dan banyak dari mereka yang sudah memiliki kendaraan bermotor bahkan mobil dan hampir setiap rumah sudah memiliki TV berwarna, padahal waktu aku masih tinggal di sini listrik belum ada dan belum ada yang memiliki pesawat TV kecuali Pak Lurah, itupun masih TV hitam putih.
Bila aku ingin menonton TV maka aku harus berjalan berkilo-kilo meter kerumah Pak Lurah dengan membawa obor untuk menerangi jalan, Pak Lurah menggunakan aki untuk bisa menghidupkan televisi hitam putihnya dan ditonton oleh sebagian besar warga desa, acara TV pada saat itu belum terlalu banyak, stasiun TVpun hanya ada satu yaitu TVRI.
Karena listrik belum menjangkau desaku tiap malam aku belajar dengan penerangan lampu senthir yaitu penerangan yang dibuat dari kaleng susu kental manis diberi sumbu dengan seutas kain atau sumbu kompor dan diberi bahan bakar minyak tanah. Setiap selesai belajar hidungku hitam penuh dengan jelaga. Karena menghirup asap lampu senthir itu. Begitulah dulu aku selalu melewati saat belajar bila malam tiba.
Aku masih berdiri disamping gedung sekolah ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki tua menyapaku “ mau mencari siapa mbak?,” aku menoleh dan memandang dengan seksama laki-laki tua yang menyapaku, “ Mbah Jo ya?”, aku bertanya pada lelaki tua tadi, Mbah Jo adalah tukang kebun yang bekerja di sekolah ini sejak sebelum aku sekolah di situ. “Saya Atik Mbah, yang dulu sekolah di sini dan sering menjadi pemimpin upacara hari Senin, Mbah”, aku menjelaskan dengan suara yang agak keras karena Mbah Jo sudah mulai kurang pendengarannya. “ O.. Atik yang pintar itu ya?” Mbah Jo manggut-manggut karena bisa mengingat siapa aku.
Mbah Jo bercerita panjang lebar mengenai sekolah ini, mengenai guru-guru di sini dan mengenai banyak hal tentang desa ini dan aku dengan antusias mendengarkan cerita Mbah Jo.
Aku sangat penasaran melihat gunung yang ada di sebelah selatan sekolah ini, yang dulu sangat indah dan hijau dan membuat udara segar, mengapa sekarang sudah tidak ada?, akupun memberanikan diri bertanya pada Mbah Jo mengenai keberadaan gunung itu, dalam hati aku berfikir mengenai mitos yang dulu sering aku baca, dimana ada seorang raksasa yang sangat sakti dan mampu memindahkan sebuah gunung kemanapun ia mau, apakah mungkin gunung di Selatan desa ini dipindah oleh raksasa?, buktinya gunung di sebelah selatan sekolah sudah tidak ada, tapi akal sehatku mengatakan tidak mungkin mitos seperti itu nyata adanya.
Mbah Jo bercerita bahwa gunung itu telah hilang, pertama-tama pohon-pohon ditebang, setelah gundul maka gunung itu dikeruk tanah dan batunya entah dibawa kemana dan sekarang seperti itulah keadaannya, gunung yang dulu menjulang tinggi dengan pohon-pohon yang rimbun kini tinggal tanah gersang yang rata bak lapangan dan hawanya sangat panas.
Aku heran kenapa orang-orang di desaku merelakan gunung itu dimusnahkan, dikeruk dan dijual entah oleh siapa dan kepada siapa. Mungkin ini proyeknya para pejabat desa ini?, atau pejabat ditingkat atas?, entahlah tidak ada orang yang tahu.
Hari sudah menjelang senja, akupun berpamitan pada Mbah Jo untuk pulang. Bapak dan Mamak sudah menungguku di depan rumah. Setelah mandi dan berpakaian kami bertiga makan bersama, menunya nasi putih, sayur genjer, dan sambal kencur ikan air tawar, nikmat sekali makanan kami senja itu, “syukurlah sekarang kita bisa makan kenyang ya Mak”, aku berkata pada Mamak mengingat dulu saat aku kecil kami sangat kekurangan, untuk makan sehari-hari kami tidak pernah bisa kenyang, dan hanya dengan lauk seadanya, yang sama sekali tidak memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Makan kami sudah dijatah sehari dua kali, pagi dan sore, pagi hari hanya nasi satu centhong dengan sambal, begitu juga sore harinya, apalagi anak Bapak cukup banyak yaitu tujuh orang, aku adalah anak nomor tiga, kakakku dua orang dan adikku empat orang. Tidak jarang kami saling berebut nasi karena masih merasa lapar, untung Bapak punya banyak tanaman pisang sehingga kami biasa makan pisang untuk menambah makan nasi kami agar kami bisa merasa kenyang, alhasil kami jadi merasa bosan dan jenuh dengan pisang karena setiap saat kami hanya makan pisang , bahkan sampai sekarang aku jadi tidak doyan makan pisang.
Senja semakin tenggelam sinar bulan memancar jatuh diatas dedaunan di depan rumahku, aku keluar untuk menikmati romantisme sinar bulan purnama malam itu, aku tak melihat anak-anak kecil bermain di halaman rumah Pak Tarno yang luas, meski tidak seluas dulu waktu aku kecil, sebagian halaman rumah Pak Tarno sudah dibangun rumah mewah oleh putranya.
Lalu dimana anak-anak desa ini bila malam tiba? belajarkah?, mengajikah?, atau tidurkah?, dulu waktu aku kecil setiap selepas magrib kami mengaji, lalu pulang untuk belajar dan bila malam terang bulan seperti saat ini kami bermain petak umpet atau Jethungan bersama teman-teman.
Betapa prihatinnya aku ketika aku tahu anak-anak tidak ada yang keluar untuk bermain petak umpet bukannya belajar di rumah tapi mereka asyik di depan pesawat TV, menonton sinetron-sinetron yang diputar oleh stasiun-stasiun televisi. Hampir semua stasiun televisi sudah dapat ditangkap dan dinikmati di desaku. Anak-anak sudah tidak lagi suka bermain Petak Umpet atau Gobak Sodor, mereka lebih senang menonton TV yang tidak semua acaranya mendidik, padahal permainan petak umpet atau gobak sodor adalah permaianan tradisional Indonesia yang harus kita lestarikan, jagan sampai diklaim oleh negara lain sebagai permainan Negara itu.
Aku terus berjalan malam itu, tiba-tiba aku terkejut melihat beberapa remaja yang sedang nongkrong di depan warung Bu Semi, mereka nampak agak urakan dengan pakaian yang tidak rapi dan wajah yang beringas, tutur katanya tidak sopan dan dari bibirnya keluar asap rokok dan bau alkohol. Ya Tuhan di tempat yang jauh dari keramaian kota ini ternyata pengaruh buruk sudah masuk, miras sudah menjadi sesuatu yang biasa dan sangat mudah didapat. Sungguh sesuatu yang sangat disayangkan.
Malam mulai merangkak, aku segera pulang untuk beristirahat, suasana hening dan sunyi di kamarku, sesekali terdengar nyanyian jangkrik dan katak di sawah, aku serasa kembali ke masa lalu dimana aku menghabiskan masa kecilku di sini, di desa ini sampai akhirnya aku harus pergi meninggalkan desa ini setelah aku lulus SD, aku harus pergi ke kota kecamatan karena harus melanjutkan sekolah kejenjang SLTP dimana sekolah tersebut hanya ada di kota kecamatan, waktu SD nilai EBTANAS MURNI atau NEM-ku tertinggi sehingga aku dapat diterima si SMP pavorit di kota Kecamatan. Jarak dari desaku menuju kota kecamatan berpuluh-puluh kilo meter jauhnya.
Teman-teman sekelasku banyak yang tidak melanjutkan sekolah, tapi ada beberapa yang sekolah di SMP swasta karena tidak diterima di sekolah negeri. Karena itulah aku tinggal di rumah saudaranya Mamak di kota kecamatan, namanya Kang Sampu, jarak dari rumah Kang Sampu sampai ke sekolahku kurang lebih lima kilometer dan kutempuh dengan berjalan kaki.
Di rumah Kang Sampu aku membantu semua pekerjaan rumah dari masak, mencuci pakaian dan mengasuh anaknya, aku menjalani semuanya dengan ikhlas dan dengan senang hati karena aku menumpang tinggal dan menumpang makan di rumah itu.
Setelah kenaikan kelas dan aku naik kekelas dua SMP, Bapak memintaku pulang ke rumah, tidak lagi menumpang di rumah Kang Sampu, aku tidak tahu apa sebabnya yang pasti aku harus menurut apa kemauan orangtuaku saat itu.
Sekarang aku sudah tinggal di rumah lagi setelah setahun aku tinggal di kota kecamatan, di rumah saudaraku, sebagai konsekwensinya aku harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk bisa sampai ke sekolahku, pertama aku harus berjalan kaki dahulu karena transportasi belum sampai ke desaku, lalu harus naik colt sejauh sepuluh kilometer, kemudian turun dan harus berjalan lagi berkilo-kilo meter jauhnya. Kadang kaki ini terasa pegal, dan sudah lelah sampai di sekolahan, kadang aku aku juga harus berhutang uang pada teman untuk ongkos naik colt karena Mamak tidak memberiku uang saku untuk transportasi apalagi untuk jajan, belum pernah sekalipun aku jajan ketika di sekolah, tapi hal itu tidak pernah membuat aku patah semangat dalam belajar, aku bertekad akan terus sekolah, apapun akan kujalani, jalan apapun harus kutempuh asal aku bisa sekolah, saat itu aku belum pernah mendengar ada beasiswa bagi anak-anak yang tidak mampu agar mereka bisa sekolah, seperti Beasiswa Khusus Murid (BKM), atau Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Meski tak pernah aku rasakan kelelahan setiap hari pulang balik kesekolah, tak pernah kurasakan malu meski pakaian seragamku sudah kumal, sepatuku sudah jebol, tas sekolahku sudah rusak, namun tekanan batin rupanya telah mengganggu kesehatan badanku. Suatu ketika sepulang sekolah aku merasa sangat lelah, akupun tidur untuk menghilangkan kelelahan itu, tapi alangkah sedihnya aku dan kedua orangtuaku serta saudara-saudaraku karena semenjak tidur siang itu aku tak bisa bangun lagi, badanku terasa sangat sakit dan lelah, dari ujung kaki sampai ujung kepala tak ada yang bisa aku gerakkan, aku hanya bisa menangis dan mengerang kesakitan, orang-orang kampung berpendapat macam-macam, ada yang bilang aku kesambet atau kemasukan roh halus, ada yang mengatakan kalau aku ini di santet, lumpuh dan banyak lagi omongan-omongan orang kampung mengenai penyakitku.
Orang tuaku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memanggil seorang dukun untuk mengobati penyakitku, tapi penyakitku tidak senbuh-sembuh. Sudah berbulan-bulan aku terbaring lemas tak bisa bergerak meski hanya ibu jari sekalipun, aku sering melihat Mamak menangis melihatku menderita seperti ini. Waktu itu tidak ada sebersitpun dalam pikiran orangtuaku untuk membawaku berobat ke rumah sakit atau puskesmas, selain kami tidak punya biaya, Bapak dan Mamakku juga tidak tahu dan tidak ada kesadaran untuk itu, setiap sore aku hanya dipijit dan di beri minyak gosok.
Sekian lama aku tidak masuk sekolah, tak seorang teman atau seorang gurupun yang datang menjengukku, aku tidak tahu apa sebabnya, entah karena kami orang miskin atau karena rumah kami jauh, tapi aku tidak memikirkan hal itu, aku justru berfikir itu sekarang setelah aku dewasa.
Setelah berbulan- bulan aku menderita sakit yang tidak ada orang tahu apa nama penyakitku itu dan tanpa pengobatan secara medis, akhirnya sedikit demi sedikit kesehatanku membaik, walaupun belum sepenuhnya, aku belum bisa berjalan seperti dulu lagi, seluruh persendianku terasa luluh dan lemah tak mampu menopang tubuh kurusku, akupun menangis membayangkan aku akan kehilangan keceriaan masa remajaku karena aku tidak bisa lagi berjalan menapaki masa depanku, aku tak bisa lagi berlari mengejar cita-citaku, semua seakan musnah dan hilang begitu saja.
Namun Bapak tidak putus asa, dibuatkannya aku tongkat dari kayu kopi yang dapat aku gunakan sebagai penyangga tubuhku untuk aku belajar berjalan. Sedikit demi sedikit aku belajar berjalan sampai akhirnya aku benar-benar bisa berjalan walau kadang-kadang masih merasa sangat lemas dan tak berdaya.
Akhirnya aku kembali masuk sekolah setelah berbulan-bulan tidak masuk, aku ketinggalan pelajaran sangat jauh sampai-sampai nilai mata pelajaran IPA-ku dalam raport merah, aku sangat sedih menerima kenyataan ini, akan tetapi apa boleh buat semua karena keadaan yang memaksa dan di luar jangkauanku.
Aku masih sering merasa lelah dan lemah, namun aku tetap sekolah. Syukurlah saat kenaikan kelas dua aku berhasil naik kelas meskipun ada nilai merahnya, aku sangat bersyukur pada Tuhan atas karunia ini.
Keluargaku tetap dalam kemiskinan dan hidup serba kekurangan, kurang sandang, kurang pangan, dan kurang papan. Rumah kami tidak sehat , dengan dinding bambu, lantai tanah dan banyak atap yang bocor.
Namun demikian aku tetap memiliki semangat untuk belajar dan sekolah padahal kala itu teman-temanku sudah tidak melanjutkan sekolah, mereka bekerja membantu orangtuanya di sawah, dan ada yang langsung menikah. Aku yang meskipun orangtuaku miskin tetap bertekat akan melanjutkan sekolah ke tingkat yang setinggi-tingginya, aku ingin mengubah hidupku, aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku mampu, walaupun banyak orang mencemoohku dan kedua orangtuaku, kami tetap tegar dan tak mau menyerah. Kedua orangtuaku bekerja keras, dan berusaha sekuatnya demi memperoleh beberapa rupiah untuk membayar SPP dan ongkos aku pergi kesekolah.
Begitulah perjuangan yang aku dan orangtuaku lakukan sampai pada suatu hari datanglah kerumahku seseorang dari kota mencari seorang perempuan muda yang mau bekerja di rumahnya dan sebagai bayarannya orang itu akan dibiayai sekolahnya sampai kapanpun dia mau. Pak Hajar, begitulah nama orang kota itu rupanya telah mencari informasi tentang siapa yang mungkin mau bekerja di rumahnya kepada saudaranya yang bekerja sebagai guru di desaku.
Orangtuaku tidak dapat memberi keputusan apakah aku boleh diajak orang kota itu atau tidak tapi semua keputusan dikembalikan kepadaku, kalau aku bersedia dan mau maka orangtuaku akan mengijinkan dan merestui, akan tetapi bila aku keberatan dan menolak maka mereka tidak memaksa.
Sementara itu aku sendiri mendengar Pak Hajar menjanjikan akan membiayai sekolahku sampai kapanpun aku mau, saat itu aku seakan-akan bermimpi, aku membayangakan kehidupan yang cerah ada di depan mataku, aku yakin dengan pendidikan derajat manusia akan terangkat lebih tinggi, tidak ada yang lebih berharga kecuali pendidikan begitu pendapatku saat itu meski usiaku belum genap limabelas tahun.
Hari itu juga aku berkemas, kubawa semua pakaianku yang tidak seberapa banyak, dan yang pasti semua buku-buku pelajaranku, hanya itu yang aku miliki. Aku dibawa oleh Pak Hajar, tidak ada rasa curiga sedikitpun dari keluargaku mengenai Pak Hajar selain karena pemikiran kami yang masih lugu, tidak mau berprasangka buruk kepada orang lain juga karena Pak Hajar punya saudara yang bekerja sebagai guru di desa kami.
Hari itu aku gemetar menapakkan kaki dirumah mewah dan besar itu, ya rumah keluarga Pak hajar , aku yang gadis desa belum banyak pengalaman hanya dapat mengucap syukur dan berharap semoga dengan bekerja di sini kehidupanku menjadi lebih baik.
Hari itu juga aku mulai bekerja di rumah Pak Hajar, setelah diperkenalkan dengan Bu Hajar dan anaknya yang pertama Aulia yang baru berumur lima tahun, aku diajak kekamar dimana seorang bayi kecil yang masih merah sedang tertidur lelap. “ini namanya Adi, tugas kamu menjaganya, memberinya susu bila dia menangis, mengganti popoknya bila ia buang air, memberinya makan bila ia lapar”, begitu Bu Hajar memberi arahan-arahan kepadaku. Aku memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Bu Hajar.
Setelah selesai memberi arahan-arahan Bu Hajar pergi ke kantor, yang di rumah hanya aku, Aulia yang berumur lima tahun dan Adi si bayi kecil. Aku juga disuruhnya memasak apabila Si bayi kecil tidak rewel. Kebetulan sekolahku waktu itu masuk siang, jadi aku bisa berangkat sekolah apabila Bu Hajar sudah pulang dari kantor. Di hari pertama aku bekerja di rumah itu tugasku adalah menjaga kedua putra Bu Hajar dan juga mengurus rumah. Syukurlah aku bisa melaluinya dengan baik meski ada satu dua kendala yang aku alami seperti, menghidupan kompor gas, memasak dengan rice cooker, dan menghidupkan alat-alat rumah tangga yang menggunakan listrik, maklum di desaku alat-alat seperti itu belum ada, untunglah aku adalah orang yang cepat belajar dan mengerti jadi aku bisa mempelajarinya.
Tepat tegah hari Bu Hajar pulang dari kantor, setelah bertanya tentang kondisi rumah hari ini, aku dipersilahkan segera mandi dan berangkat ke sekolah, akupun bergegas mandi dan berpakaian untuk segera berangkat ke sekolah. Begitulah hari-hariku kulalui dengan aneka kegiatan dan pekerjaan layaknya seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT), aku terima itu dengan ikhlas dan sabar, yang penting aku dapat terus melanjutkan sekolahku tanpa harus kesulitan mencari uang untuk membayar SPP, walaupun aku bekerja di rumah itu tidak dibayar sama sekali, tetapi hanya dibayarkan uang sekolahku, setidaknya aku bisa makan kenyang dengan lauk yang bergizi dibanding ketika aku masih di kampung.
Meski demikian Pak Hajar dan Ibu selalu menekankan kepadaku bahwa aku dirumahnya tidak dianggap sebagai PRT, tapi sudah dianggap seperti keluarga sendiri asalkan aku tetap bisa bekerja mengasuh anaknya dan mengurus rumah tangga. Bagiku pernyataan Bapak dan Ibu Hajar cukup membuat aku merasa sepeti di rumah sendiri walaupun pekerjaanku tetap seperti seorang PRT.
Hidup terus berjalan, aku melaluinya dengan selalu optimis dan tak kenal putus asa. Yang paling penting pasrah dan tawakal. Dalam kesibukanku antara bekerja dan sekolah tak kusadari akhirnya aku berhasil menyelesaikan pendidikannku di bangku SLTP, nilaiku boleh dikatakan sangat baik sehingga aku bisa diterima di SLTA paling pavorit di kota itu. Aku mengucap syukur kepa Tuhan karena aku bisa mengenyam pendidikan sampai ketingkat SLTA, padahal teman-teman di desaku banyak yang tidak sekolah bahkan sudah banyak yang menikah, mereka sibuk mengurus rumah dan pergi ke sawah.
Pekerjaanku sebagai PRT tetap banyak dan melelahkan apalagi sekarang Bu Hajar sudah memiliki satu anak lagi karena bulan April lalu seorang bayi perempuan telah lahir dari rahimnya, bayi itu diberinya nama Anggi, maka sejak hari itu kesibukanku mengurus bayi bertambah satu lagi, Aulia anak pertama, Adi anak kedua, Anggi anak ketiga, tiga anak yang kecil-kecil dan manis-manis yang sekarang berada dalam pengawasanku.
Aku tetap dapat menjalankan semua pekerjaan apapun yang ditugaskan kepadaku oleh Bapak dan Ibu Hajar, dan aku selalu mendapat penghargaan dan pujian dari anggota keluarga itu, setiap aku selesai masak dan Keluarga Pak Hajar makan bersama mereka pasti memujiku bahwa masakanku enak sekali.
Sudah hampir tiga tahun aku bekerja di rumah ini, aku merasakan seolah-olah aku telah menjadi keluarga sendiri bagi Pak Hajar dan Ibu, banyak hal-hal penting yang dipercayakan kepadaku termasuk ketika Bu Hajar mulai membuka usaha baru di rumahnya yang besar, dimana harus menerima banyak pegawai, maka akulah orang yang diangkat untuk menjadi ketua bagi mereka, akulah yang mengatur segala sesuatunya bahkan yang memegang keuangan, Bu Hajar percaya kepadaku karena bagiku kejujuran adalah nomor satu, sebenarnya apabila waktu itu aku akan berbuat tidak jujur mengambil sebagian uang perusahaan Bu Hajar bisa saja, karena Bu Hajar tidak pernah mengecek pembukuan sedetail-detailnya, namun demi Tuhan meski orang tuaku di desa miskin dan serba kekurangan aku tidak pernah mau mengambil apa yang bukan hakku.
Detik demi detik berlalu tanpa ada halangan yang berarti, memang kadang-kadang aku merasa sedih terutama ketika aku rindu kepada kedua orang tua dan adik-adik di kampung dan tidak dapat segera bertemu karena kesibukanku, air mata kadang-kadang menetes tanpa terasa, namun kerinduan itu aku bisa atasi dengan duduk di taman belakang memandang bunga-bunga yang bermekaran, memandang ikan-ikan yang riang berenang di kolam atau menyanyi, dan bercanda ria dengan Aulia, Adi dan Anggi.
Tak terasa dalam semua kesibukanku usiakupun bertambah, kini usiaku memasuki angka yang paling berarti yaitu 17 tahun, kata orang masa ini adalah masa yang menunjukan usia remaja dimana kedewasaan mulai harus di sandang, baik kedewasaan secara fisik, secara mental dan cara berfikir, begitupun aku, diusia itu aku mulai merasakan berbagai perubahan, tubuh dan wajahku semakin menampakkan adanya kedewasaan walaupun secara berfikir aku sudah dewasa sejak aku masih duduk di bangku SMP.
Begitulah, aku mulai sering mendengar laki-laki memujiku dengan mengatakan aku cantik, aku manis dan sebagainya dimana semua itu hanya aku anggap sebagai angin lalu yang mewarnai kehidupanku, aku merasa bahwa tugasku saat ini adalah belajar dan bekerja demi cita-cita dan demi masa depanku.
Sampai pada suatu ketika ketika matahari mulai condong ke barat, di depan rumah berdirilah seorang pemuda tampan yang belum pernah aku lihat sebelumnya mengucapkan salam “ Asalamualaikum”, belum sempat aku menjawab salamnya pemuda itu masuk ke dalam rumah sambil memanggil nama Aulia, Adi, dan Anggi. Merekapun berhamburan dan berlari kearah pemuda tadi sambil memanggil “ Om Doni….”, dan mereka saling berpelukan. Aku yang tadi sempat agak bingung melihat adegan itu, cepat tanggap dan mengerti ternyata pemuda itu adalah omnya yaitu adiknya Bu Hajar yang sedang kuliah di kota Yogyakarta dan saat ini pulang kampung karena sedang liburan semester. Anak-anak tanpa aku minta segera memperkenalkan aku pada omnya “ Om kenalin dong ini mbak kita…”, begitu mereka mengenalkan aku pada Om Doni saat itu, kamipun saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri. Kami segera saling bicara saling bercerita tentang kami masing-masing. Tak terasa kami cepat sekali akrap dan seolah sudah lama saling kenal. Om Doni begitu aku memanggil namanya mengikuti keponakan-keponakannya, sejak hari itu kami sering bermain bersama, aku, Om Doni, Aulia, Adi dan Anggi.
Tak terasa liburan Om Doni di rumah sudah hampir habis, minggu depan Om Doni sudah harus kembali lagi ke kota Pelajar dan kota Gudeg, Yogyakarta, untuk kembali masuk kuliah di perguruan tinggi terbesar di Yogyakarta bahkan Asia Tenggara itu, ya memang Om Doni kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Kami semua mengantar kepulangan Om Doni sampai ke pelabuhan laut Bakau Heni Lampung, rasanya agak berat berpisah dengan Om Doni saat itu dimana kami baru saja saling kenal dan saling akrap, tapi apa daya Om Doni harus melanjutkan kuliahnya dan aku juga harus terus bekerja dan sekolah sebagaimana mestinya.
Hari-hari berlalu terasa agak sepi tanpa canda dan tawa dari Om Doni bersama keponakan-keponakan tercintanya, akupun kadang merasa agak kangen akan tawa riang Om Doni yang sering memanggilku dengan panggilan Cinderela, mungkin karena nasibku yang seperti Cinderela membuat Om Doni memanggilku demikianm tapi aku tahu tidak ada maksud darinya untuk menghinaku.
Setelah sampai di Yogya Om Doni sering mengirimiku surat dan ia bercerita tentang banyak hal misalnya : tentang kampusnya yang bagus dan megah, tentang obyek-obyek wisata yang ada di Yogya seperti Kraton dan perayaan Sekaten, kebun binatang Gembira Loka, Candi Prambanan, Malioboro, obyek wisata Kaliurang, Gunung Merapi, pantai Parang Tritis, Samas, Baron, Glagah Indah dan lain-lain. Ia juga bercerita tentang makanan-makanan khas Yogya yaitu Gudeg, Bakpia, Geplak, Jadah Tempe dari Kali Urang, Tiwul dari Gunung Kidul, Growol dari Kulon Progo dan segala hal tentang Yogyakarta. Aku banyak tahu tentang Yogya semua adalah dari Om Doni yang dia ceritakan lewat surat-suratnya yang ia kirimkan kepadaku tiap bulannya.
Pada masa itu belum ada teknologi Hand Phone (HP) seperti sekarang ini dimana orang bisa komunikasi melalui HP dengan mudahnya, kami berkomunikasi lewat surat yang baru akan sampai satu atau dua minggu kemudian, namun kami melaluinya dengan bahagia, lewat surat kami bisa saling berkirim puisi untuk mengungkapkan perasaan masing-masing, bercerita panjang lebar tentang apa saja, saat itu aku benar-benar jadi sangat menyukai apa yang disebut korespondensi atau surat menyurat dan filateli atau mengumpulkan dan mengoleksi perangko. Om Doni selalu mengirimi aku surat dengan perangko yang indah-indah, sehingga aku bisa mengoleksinya.
Tak terasa liburan semester telah tiba dan seperti liburan yang lalu, Om Doni pulang kampung, kamipun bertemu lagi, ada rasa bahagia menyambut kedatangan Doni kali ini, seperti dalam suratnya bulan lalu Doni minta aku memanggilnya cukup Doni saja tidak perlu pakai Om, kecuali memanggilkan untuk keponakan-keponakan kecilnya, memang agak canggung memanggilnya Doni saja, apalagi dia adalah adik dari majikanku, rasanya tidak sopan bila aku memanggil dengan sebutan namanya saja, oleh karena itu aku memanggilnya dengan sebutan Mas Doni.
Kebetulan liburan Mas Doni kali ini berbarengan dengan liburan hari raya Idul Fitri jadi memang agak panjang dan lama. Lebaran kali ini aku mendapat kesempatan libur dan pulang ke desaku, rasanya sangat bahagia setelah sekian lama aku tidak bertemu dengan orangtua dan adik-adikku. Dan yang paling membahagiakan aku adalah karena yang diberi tugas mengantarkan aku pulang ke desaku adalah Mas Doni.
Pagi itu aku masih sholat Idul fitri bersama keluarga Bapak dan Ibu Hajar, setelah bersalam-salaman dan saling maaf memaafkan aku berpamitan pulang ke desaku diantar oleh Mas Doni dengan mengendarai sepeda motor, meliwati bukit dan hutan di kanan kiri jalan, ketika kami sampai diantara bukit yang rimbun dengan pepohonan hijau dan terdapat hamparan sawah nan luas Mas Doni mengajakku berhenti dan istidahat sejenak sembari menikmati paemandangan alam nan elok.
Kami berdua duduk di pinggiran sawah, dari jauh sayup-sayup terdengar kumandang takbir memuja kebesaran Allah di hari yang fitri ini. Mas Doni menatapku dengan tatapan yang sangat menyejukkan dan penuh kedamaian aku merasakan getaran yang aneh ketika Mas Doni tiba-tiba memanggilku lirih, “ Cinderela, aku sangat kagum padamu, pada sifat dan watakmu, juga pada kecantikanmu, oleh karena itu maukah kau menjadi pacarku?”, begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Mas Doni siang itu. Saat itu aku sangat bahagia, ternyata orang yang aku kagumi diam-diam juga mencintaiku. Namun meskipun aku sangat bahagia mendengar Mas Doni mengutarakan cintanya padaku, tidak serta merta aku menjawab ya, aku berkata dengan lirih “ Mas, terimakasih Mas telah memberanikan diri menyampaikan perasaan Mas kepadaku, aku sangat senang dan bahagia Mas, tapi Mas harus ingat siapa aku?, Mas tahu sendiri aku ini PRT Mas, PRT yang bekerja di keluarga Mas Doni demi sekolahku, rasanya aku tak pantas untuk Mas Doni”, demikian jawabanku atas anugrah cinta yang disampaikan oleh Mas Doni. Mas Doni menarik tanganku, menggenggamnya dengan erat sembari berkata “ Cinderela. Aku menyayangimu karena sifat-sifatmu, aku tidak memandang manusia dari derajat dan kekayaannya, jadi percayalah aku akan selalu menyayangimu siapapun dirimu, tak perduli kau PRT atau apa”. Mendengar jawaban Mas Doni yang begitu tulus akupun menangis, aku menangis karena sangat bahagia, kamipun saling menggenggam erat jemari kemudian saling mengucap janji akan saling menyayangi dan saling cinta selamanya, hari itu di hari raya Idul fitri kami juga saling berjanji akan merahasiakan kisah cinta ini sampai kami sama-sama menyelesaikan pendidikan kami masing-masing, karena saat itu aku baru duduk di bangku kelas dua Sekolah Pendidikan Guru , sedangkan Mas Doni masih di semester empat.
Begitulah, kami saling menjaga hubungan jarak jauh ini secara rahasia. Mas Doni sedang menuntut ilmu di Yogya sedangkan aku masih kelas dua SLTA di Lampung. Hubungan ini berjalan lancar dan tidak ada seorangpun yang tahu seperti kesepakatan kami, namun ketika aku sudah menduduki kelas akhir sekolah, ada seorang pemuda benama Yasin teman ayah Mas Doni yang bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA), mendatangiku dan menyampaikan cintanya dan bermaksud mempersuntingku untuk menjadi istrinya, aku jelas menolaknya karena seluruh cintaku telah aku curahkan dan aku simpan untuk Mas Doni, namun aku menolak dengan alasan kalau aku masih sekolah dan tidak mau pacaran dulu, Yasin tidak menyerah begitu saja, dia tetap mengejar dan memohon agar aku mau menerima cintanya dan mau dijadikan istrinya, Yasin akan menungguku sampai aku lulus sekolah, toh aku sekolah pendidikan guru SD jadi setelah lulus aku bisa langsung bekerja menjadi guru, Yasin tidak kehabisan akal, jujur aku katakana Yasin adalah pemuda yang baik, tampan dan sudah bekerja, tapi bagiku sekali janji terucap pantang aku mengingkari, bukankah aku sudah berjanji pada Mas Doni?.
Namun Yasin terus saja datang ke rumah Pak Hajar untuk betemu denganku dan mengharapkan aku mau menerim cintanya, hingga akhirnya aku terpaksa melanggar sumpah yang telah aku ikrarkan bersama Mas Doni untuk tidak mengatakan jalinan cinta kami kepada siapapun. Dengan jujur aku akhirnya mengatakan rahasia ini kepada Yasin, “ maaf aku tidak bisa menerima cinta Mas Yasin, karena aku sudah punya pacar”, demikian kukatakan pada Ma Yasin malam itu. Mas Yasin seolah-olah tak percaya dengan apa yang aku sampaikan saat itu karena dia tidak pernah melihatku berjal;an bersama laki-laki, diapun bertanya siapa pacarku kalau aku memang sudah punya pacar, karena tak tahan dengan desakan-desakan dari Yasin maka akhirnya aku mengatakan bahwa pacarku adalah Mas Doni, putra teman Yasin sendiri, Yasinpun terdiam seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku sampaikan, ada rasa kecewa bergelayut di mata Yasin saat itu, diapun tak pernah lagi mendesakku agar aku menerima cintanya sejak saat itu.
Liburan semester kembali tiba Mas Doni pulang kampung dan aku sangat bahagia bertemu dengan kekasih yang sekian lama tidak berjumpa, kami saling memendam rasa rindu dan tidak memperlihatkannya pada siapapun, aku hanya mnyampaikan kerinduan-kerinduan itu dengan lagu, jadi kadang aku sambil bekerja menyanyikan lagu yang bertema rindu, dan Mas Doni juga akan menjawabnya dengan nyanyian rindu jawaban dari apa yang aku sampaikan.
Percintaanku dengan mas Doni benar-benar bersifat rahasia dan tak ada seorangpun yang tahu kecuali Mas Yasin. Kami, aku dan Mas Doni masih bisa saling menjaga dan tidak berbuat hal-hal yang dilarang oleh agama dan kesusilaan, tak pernah kami menunjukkan adanya kemesraan dan hal-hal yang sejenisnya, selain kami memang menyimpan rahasia hubungan ini kami juga menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.
Tak terasa liburan Mas Doni juga sudah hampir habis, sebelum Mas Doni pulang ke Yogya suatu sore Mas Doni mengajakku berjalan-jalan melihat pemandangan alam pegunungan nan elok, kami berjalan menyusuri sungai bermain air dan mencari ikan, tidak hanya kami berdua tapi juga bersama keponakan-keponakan yaitu Aulia, Adi dan Anggi.
Rasanya bahagia sekali kami menikmati perjalanan ini apalagi bersama orang-orang tercinta, dalam kesempatan ketika anak-anak sedang asyik bermain mas Doni duduk di sampingku dan berkata “Cinderela, kamu masih setia sama aku kan?, jangan pernah berpaling dariku ya, dan jangan pernah kita berpisah, semoga kelak kita akan menjadi suami istri”, aku hanya mengangguk dan mengiyakan, dalam hati aku berkata agar mas Doni percaya padaku dan aku tak akan pernah mengingkari dan meninggalkannya.
Ketika matahari mulai condong ke barat kami telah sampai di rumah, badan terasa lelah namun terbayar kepuasan dan kenikmatan akan pemandangan yang telah kami nikmati sehingga rasa lelah tak kami rasakan. Malamnya saat aku selesai menidurkan anak-anak aku mendengar lamat-lamat seorang lelaki yang sedang bicara pada seseorang, ternyata ayah Mas Doni yang bicara pada Mas Doni, mungkin memberi nasihat pada Mas Doni karena besok akan pulang ke Yogya dari nasihat ayahnya kepada Mas Doni aku mendengar ayahnya berkata agar mas Doni jangan sampai salah dalam mencari teman terlebih-lebih dalam memilih jodoh, harus melihat bobot, bibit, bebetnya, aku yang juga tak sengaja mendengarnya tidak begitu memperdulikan hal itu, aku berfikir bahwa hal itu wajar dilakukan orang tua kepada anaknya yang akan pergi jauh. Setelah sholat Isya aku segera masuk kamar dan beristirahat, besok aku harus bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan pekerjaan dan harus sekolah.
Mas Doni telah berangkat pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya ia tidak berpamitan padaku, mungkin karena terburu-buru, begitu aku berpikir tanpa ada prasangka buruk sedikitpun kepada Mas Doni. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan akupun berangkat ke sekolah. Di sekolah perasaanku mulai gelisah, sepi dan sedih bila mengingat kalau siang nanti sepulang sekolah tidak lagi bertemu dengan Mas Doni, tidak ada lagi wajah tampan yang menyejukkan hatiku, tidak ada lagi Mas Doni yang aku sayangi.
Bel tanda selesai pelajaran berbunyi aku segera pulang ke rumah, jarak rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh, jadi aku tempuh dengan jalan kaki. Setelah berganti pakaian, makan dan menyelesaikan semua pekerjaan aku bermaksud istirahat sejenak sebelum melalukan aktifitas dan mengurus semua pekerjaan.
Ketika kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur, di bawah bantal aku menemukan sepujuk surat dengan sampul merah jambu, betapa senangnya aku karena ternyata surat itu dari Mas Doni, pantas tadi pagi tidak berpamitan padaku, ternyata pamitnya lewat surat, begitu pikirku saat itu. Tak sabar aku membuka surat itu ku baca isinya kata demi kata, tak ada yang aku lewatkan satu hurufpun, aku tak percaya dengan apa yang aku baca, aku mengulanginya sekali lagi, saat itu tubuhku terasa sangat ringan dan seolah melayang, separuh nyawaku entah kemana, gemetar tanganku memegang surat itu, persendianku terasa lepas sehingga aku terduduk diam, untunglah aku segera mengontrol perasaan dan emosiku sehingga tubuhku yang tadinya ringan kembali memperoleh bobot dan nyawa, aku kembali bisa berdiri, sambil mengusap air mata yang berlinang . Aku tak menyangka Mas Doni yang kemarin baru saja menyakinkan aku bahwa cintanya padaku tulus dan berjanji akan selalu setia, ternyata tega melakukan semua ini padaku, dengan kata-kata dalam suratnya “ Cinderela…, mungkin kita tidak berjodoh, dan mulai sekarang kita hanya teman biasa”. Begitulah kata terakhir yang ditulis Mas Doni dalam suratnya untukku tanpa alasan apapun, tanpa sebab apapun.
Waktu terus berjalan meski aku dalam kesedihan dan aku simpan sendiri semua perasaan sedih ini, aku tetap berusaha menanyakan alasan apa yang membuat ia melakukan semua ini padaku, namun surat-surat yang aku kirimkan tak pernah dibalasnya, Mas Doni seperti hilang ditelan bumi, pergi entah kemana. Aku tak mau terus larut dalam kesedihan, aku berusaha tegar dan tabah menghadapi semua ini, dan mengambil hikmah atas apa yang menimpaku, aku menjalani kehidupan ini dengan terus berjuang dan bekerja, apalagi tidak lama lagi aku akan menghadapi ujian akhir SLTA, aku harus belajar dengan giat agar bisa lulus dengan nilai yang bagus, aku tak mau karena gagal bercinta gagal pula dalam pendidikan.
Siang sepulang sekolah setelah selesai mengerjakan tugas-tugas rumah aku belajar, begitu juga malam hari setelah selesai menidurkan anak-anak yang aku asuh aku kembali belajar, tengah malam aku selalu bangun untuk melakukan sholat tahajud dan kemudian belajar sampai datang waktu Subuh. Setelah menunaikan sholat subuh aku mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kemudian berangkat ke sekolah.
Berkat perjuangan yang tidak kenal lelah akhirnya aku berhasil menyelesaikan bangku SLTA dengan nilai yang tidak mengecewakan, aku meraih hasil terbaik di sekolah. Aku sangat bersyukur dan bangga dengan prestasi yang aku raih ini, Bapak dan Ibu Hajar juga sangat bahagia mendengar berita ini, begitu juga kedua orang tuaku di kampung. Aku menyadari sepenuhnya bahwa cukup sampai disini kesempatanku mengenyam bangku sekolah, setelah ini aku harus bekerja menjadi guru SD sesuai pendidikanku yaitu SPG jurusan SD, aku menyadari kalau keluarga Hajar tidak mungkin lagi membiayaiku sampai aku lulus kuliah, walaupun dulu ketika memintaku untuk bekerja di rumahnya beliau mengatakan sanggup membiayai aku sekolah sampai ke jenjang setinggi-tingginya. Aku sadar sebagai manusia telah memperoleh kesempatan dan dibiayai sekolah sampai lulus SLTA pun sudah sesuatu yang luar biasa.
Namun ternyata sesuatu yang meresahkan dan merisaukan menimpa kehidupanku, yang kemudian memaksaku harus segera pergi dari lingkungan itu, peristiwa luar biasa itu adalah bahwa aku dicintai oleh seorang lelaki yang telah beristri, orang itu adalah orang yang sangat aku hormati dan aku hargai, aku kenal baik dengan orang itu termasuk istrinya. Setiap saat setiap waktu lelaki itu selalu mengikutiku, merayuku dan setengah memaksaku untuk menerima cintanya. Akau tidak tahu dengan tujuan apa lelaki itu mendekatiku, untuk dijadikan istri tentu tidak, karena dia sudah beristri, aku yakin aku hanya akan dipermainkan, dijadikan sebagai pemuas nafsunya, dan semua itu membuat aku serba salah. Setiap malam aku menangis memohon kepada Allah agar dijauhkan dari godaan ini, namun Allah seolah tak mendengar doaku, lelaki itu terus saja mengejar dan merayuku, sampai suatu ketika aku menerima surat dari kakak perempuanku yang sudah menikah dan tinggal di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, surat dari kakakku itulah yang aku jadikan sebagai alasan untuk pergi dari tempat itu.
Suatu hari aku memberanikan diri berpamitan pada Bapak dan Ibu Hajar untuk pergi ke Pulau Jawa, kerumah kakak dan aku akan melanjutkan kuliah di sana. Mendengar itu Bapak dan Ibu Hajar sangat terkejut dan melarang aku pergi dari rumahnya, memang Bapak dan Ibu Hajar dulu pernah berjanji akan menyekolahkan aku sampau ke jenjang yang setinggi-tingginya, namun untuk saat ini beliau menyatakan tidak sanggup dengan alasan biaya kuliah sangat mahal dan mereka masih mempunyai tanggungan yang cukup banyak. Aku maklum akan hal ini, tapi aku bertekat harus segera keluar dri lingkungan ini demi untuk menghindari diri dari rayuan dan godaan lelaki yang telah beristri, maka satu-satunya alasan adalah aku akan pergi merantau ke pulau Jawa untuk melanjutkan kuliah. Karena aku bersikeras akan tetap pergi walaupun Bapak dan Ibu Hajar melarang, akhirnya dengan berat hati mereka mengijinkan juga aku pergi meski aku sempat mendapat kata-kata kasar yang keluar dari mulut Bu Hajar, ”kamu tidak akan pernah berhasil Tik apabila kamu ingin kuliah, karena kamu anak orang miskin, tidak mungkin orang miskin bisa menguliahkan anaknya, kamu bisa lulus SLTA juga karena kamu ikut kami”, begitu kata-kata yang keluar dari mulut orang yang aku hormati dan hargai selama ini, yang enam tahun lebih aku mengabdi padanya tanpa bayaran sepeserpun, yang aku cintai seperti aku mencintai orang tuaku sendiri, aku tidak menyangka kata-kata itu terlontar di hadapanku dan Bapak kandungku saat kami berpamitan. Kenapa bukan doa yang ia berikan untuk melepaskan kepergianku saat itu?. Aku hanya tertunduk dan tak berani menatap wajah Bu Hajar saat itu, aku hanya berfikir bahwa aku adalah orang yang tidak tahu berterima kasih, karena sudah di sekolahkan sampai lulus SLTA tapi begitu lulus aku pergi dari rumah itu. Tapi mau bagaimana lagi aku terpaksa, aku harus pergi karena bila aku tidak pergi kemungkinan aku akan terjerumus dalam rayuan lelaki beristri, besar kemungkinan akan terjadi, begitu saja yang aku pikirkan saat itu.
Mula-mula niatku keluar dari rumah itu hanya untuk menghindari rayuan lelaki beristri, namun setelah mendengar kata-kata yang sangat menyakitkan aku memutuskan meralat niat pergi ke Jawa untuk melanjutkan kuliah, aku akan menunjukan pada keluarga Bapak dan Ibu Hajar bahwa aku mampu meraih impian meski aku hanyalah anak seorang petani miskin. Secara tidak aku sadari jauh di lubuk hatiku ada dendam yang membara pertama Mas Doni meninggalkanku tanpa pesan, itu pasti karena status dan kedudukanku yang hanya seorang PRT, kedua kata-kata yang menusuk dari Bu Hajar yang seolah aku tidak bisa meraih apapun karena aku anak orang miskin. Aku harus bangkit aku harus tunjukan pada dunia bahwa aku mampu.
Berbekal sedikit tabungan yang aku kumpulkan dari uang beasiswa Bakat Prestasi yang aku terima di bangku sekolah dan sejumlah uang hadiah lomba karya ilmiah tentang lingkungan hidup tingkat Propinsi Lampung. Memang waktu itu aku menjadi juara ke-2 lomba karya ilmiah remaja tingkat propinsi, dalam lomba itu aku mengangkat tema tentang perusakan hutan yang banyak terjadi di daerah itu, ide ini aku dapatkan ketika aku pergi rekreasi bersama keluarga Hajar, di mana sepanjang perjalanan aku melihat banyak hutan yang gundul, pohon-pohon ditebang, dan hutan dibakar, syukur karya tulis saya meraih juara dan sebagai hadiah aku mendapat Tabanas (Tabungan Pembangunan Nasional). Aku juga pernah meraih juara I lomba baca puisi karya Khairil Anwar. Semua uang hasil lomba dan uang beasiswa bakat prestasi aku tabung dan syukur bisa digunakan untuk ongkos pergi ke Yogya dan hidup di sana, di pulau Jawa.
“Selamat tinggal Sumatra, selamat tinggal Lampung, tunggu aku lima tahun lagi ya, aku akan membuktikan kalau aku bisa”, begitulah caraku berpamitan pada daerahku, tempat di mana aku dilahirkan dan menjalani masa kecil sampai remaja, tempat yang menempaku untuk mempunyai semangat baja, berjuang melawan kemiskinan dan ketertinggalan.
Dalam pejalanan dari Lampung ke Yogya dengan bus ekonomi yang panas dan berdesak-desakkan, aku banyak mendapat simpati dari penumpang lain, ada yang mengajakku makan gratis dan ada yang membelikan aku oleh-oleh, aku sangat bersyukur dan berterimakasih kepada orang-orang yang telah banyak membantuku, aku tidak tahu mengapa banyak orang yang bersikap begitu kepadaku, barangkali karena wajahku yang memelas dan melankolis ditambah beban batin yang sedang aku rasakan akibat kata-kata dari Bu Hajar, entahlah.
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh lima jam, sampailah aku di rumah kakakku di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. Keadaan kakakku ternyata juga masih sangat memprihatinkan, ekonomi serba pas-pasan dengan tiga orang anaknya, dan tinggal di desa yang jauh dari sarana transportasi. Dalam hati aku berfikir tidak mungkin kakak bisa membantu membiayai kuliahku, karena untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sendiri saja masih sangat kekurangan.
Pertama tiba di pulau Jawa bagiku bukanlah hal yang mudah, tubuhku sulit beradaptasi dengan lingkungan alam di sini, sehingga aku mengalami alergi di sekujur tubuhku selama berbulan-bulan, aku juga mengalami beban kerinduan yang teramat sangat pada anak-anak Pak Hajar yang selama ini sangat dekat denganku dan sangat aku cintai. Setiap malam aku menangis, setiap malam aku mengalami sulit tidur, semua ini terjadi karena aku sangat rindu kepada Aulia, Adi dan Anggi.
Aku tiba di Yogya kala itu, ternyata waktu penerimaan mahasiswa baru untuk perguruan tinggi negeri yang dulu namanya Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sudah berakhir, jadi aku tidak bisa ikut mendaftar.
Aku mulai mencari-cari informasi mengenai perguruan tinggi yang mungkin dapat aku masuki yang sesuai dengan latar belakang pendidikanku di SLTA, namun karena aku baru saja tiba di Jawa ini, tepatnya di kabupaten Kulon Progo sehingga aku belum banyak mengenal medan, belum tahu di mana tempat yang bisa aku datangi, aku hanya mencari informasi disekitar tempat tinggal kakak, dan akhirnya aku menemukan sebuah perguruan tinggi swasta yaitu IKIP PGRI di kota kabupaten itu. Akupun mendaftarakan diri dan diterima.
Waktu untuk kuliah masih agak lama, dalam kebimbangan aku terus berfikir, meskipun aku sudah mendaftar kuliah dan sudah membayar uang kuliah dengan sisa tabunganku, aku ragu, apakah aku bisa meneruskan kuliah ini atau tidak, uang tabunganku mungkin hanya bisa untuk membayar kuliah beberapa semester saja, lalu untuk semester-semester berikutnya bagaimana?. Aku benar-benar merasakan kebingungan yang teramat sangat, tidak ada orang yang dapat aku jadikan tempat untuk berbagi dan mencurahkan segala perasaan ini kecuali Allah. Dalam kebingungan ini aku mendengar pengumuman dari radio yang menyiarkan bahwa dicari Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang akan di tempatkan di Arab Saudi. Aku segera mengurus surat-surat dan segala persyaratan yang di perlukan . Aku heran saat aku mengurus surat-surat dan persyaratan yang di butuhkan, hampir setiap orang menyayangkan mengapa aku harus bekerja jauh-jauh. Saat aku di rumah sakit dan mengurus surat keterangan berbadan sehat dr. M. Harsono yang memeriksaku mengatakan dan bertanya kepadaku “kenapa harus kerja jauh-jauh, lebih baik kamu ikut saya saja kerja sebagai perawat membantu saya, saya yakin pasien saya akan cepat sembuh dengan melihat senyumanmu”, beliau juga memberi nasihat-nasihat kepadaku. Aku mengucapkan terima lasih atas semua nasihatnya, tapi aku yakin tawarannya untuk menjadi perawat adalah hal yang mustahil, karena pendidikanku adalah Sekolah Pendidikan Guru bukan sekolah perawat, jadi aku tidak seberapa serius menanggapi tawaran itu, ketika pemeriksaan telah selesai dan aku hendak pulang dokter itu memberiku beberapa lembar uang, katanya agar dapat aku gunakan sebagai bekal untuk pergi ke Arab.
Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk mengurus Surat Keterangan Kepolisian, dulu namanya Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB), di sana aku bertemu dengan seorang polisi yang beperawakan tinggi besar dan berkulit hitam legam yang dengan sabar melayaniku, sambil mengurus surat-suratku dia bertanya kepadaku mengapa aku harus pergi jauh-jauh ke Arab untuk mencari pekerjaan, kenapa tidak di Yogya saja, tidak jauh-jauh dan tetap bisa kuliah, aku mengatakan bahwa rasanya aku agak mengalami kesukitan keuangan untuk bisa melanjutkan kuliah, lalu tidak kusangka dan tidak kuduga polisi yang namanya aku sudah lupa ini menawari aku, agar aku mau dijadikan simpanannya, aku akan diberi fasilitas rumah dan akan di biayai kuliah sampai selesai. Demi Tuhan aku menolak mentah-mentah tawaran gila itu.
Setelah surat-surat selesai aku urus aku segera mendaftarkan diri di kantor tenaga kerja (DEPNAKER), setelah itu aku diminta untuk menunggu panggilan satu atau dua bulan. Sambil menunggu panggilan dari Depnaker aku pergi ke kampus di mana aku telah diterima untuk melihat jadwal kuliah, aku pergi ke kampus dengan mengendarai sepeda onthel, capek dan lelah memang, tapi hanya itu alternatif yang dapat aku ambil, karena belum ada angkutan sampai ke tempat tinggal Kakak.
Pada suatu hari aku pergi ke kampus untuk mengurus beberapa keperluan, tak sengaja aku berkenalan dengan kakak senior di kampus itu namanya Hari. Sejak perkenalan hari itu Hari sering main ke rumahku, hubungan kami semakin akrab Mas Hari orangnya baik, pengertian dan suka menolong. Aku bercerita bahwa walaupun aku mendaftar kuliah di sini, tapi sepertinya aku tidak jadi masuk kuliah karena saat ini aku sedang menunggu pangilan kerja ke Arab Saudi dari Depnaker. Mas Hari sangat menyayangkan keputusanku untuk kerja di Arab tersebut. Namun keputusanku sudah bulat, aku sudah bertekad akan tetap bekerja di Arab.
Mas Hari semakin sering datang ke rumahku, bahkan sudah melamarku kepada kakakku, dan akan menjadikan aku sebagai istrinya. Aku tahu Mas Hari sangat serius, selain dia sudah duduk di semerter akhir, dia juga sudah bekerja sebagai PNS yaitu sebagai Kepala Taman Kanak-kanak, secara ekonomi dia sudah mapan.
Mas Hari melarangku bekerja jadi TKW di Arab, dia mengatakan akan mengajakku pergi ke Arab bukan sebagai TKW, tetapi sebagai jamaah haji. Meskipun aku senang mendengar ajakannya, aku tetap bersikeras akan tetap berangkat ke Arab sebagai TKW. Akan tetapi, pada suatu sore mas Hari datang ke rumahku, sekali lagi dia melarang aku pergi ke Arab kali ini dia bercerita bahwa saudaranya ada yang pernah kerja ke Arab sebagai TKW, tetapi bukannya penghasilan yang didapatkan melainkan dia pulang dengan membawa anak yang tidak jelas siapa ayahnya. Mendengar cerita Mas Hari seperti itu, tiba-tiba dari dalam lubuk hatiku timbul keraguan untuk terus melanjutkan niatku bekerja di Arab, karena sebenarnya jauh di dasar hatiku aku ingin kuliah.
Mas Hari menyakinkanku bahwa aku pasti bisa meraih apa yang aku ingginkan yaitu melanjutkan kuliah. Akhirnya aku takut juga kalau aku tetap pergi ke Arab, jangan-jangan aku juga mengalami nasib yang sama seperti saudaranya Mas Hari. Akupun segera mengajukan surat pengunduran diri dan mengurungkan niat untuk bekerja di Arab ke Depnaker dimana aku telah terdaftar sebagai calon TKW.
Setelah selesai segala urusan pengunduran diriku untuk jadi TKW, aku mulai masuk kuliah, di jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan atau BK.
Hubunganku dengan Mas Hari semakin dekat, Mas Hari selalu membantu segala kesulitan-kesulitanku, termasuk mengantarkan aku pergi kemanapun. Bagiku Mas Hari adalah dewa penolong yang hadir dalam setiap kesulitan-kesulitanku. Kami sudah sepakat untuk saling membantu dalam suka dan duka. Dengan demikian sedikit demi sedikit aku bisa melupakan Mas Doni yang telah meninggalkan aku tanpa alasan, meskipun jujur saja jauh di lubuk hatiku aku tidak dapat melupakan Mas Doni.
Seiring berjalannya waktu, pemahamanku akan kota Yogya semakin bertambah pula, aku mulai mengerti tempat-tempat yang ada di Yogya ini. Sering aku pergi berjalan-jalan ke obyek-obyek wisata yang ada di kota ini bersama Mas Hari, walaupun aku sudah tahu informasi tentang Yogya dari Mas Doni. Tatkala berada di tempat-tempat yang indah di kota Yogya ini aku jadi semakin rindu pada Mas Doni, bukankah sekarang aku sudah berada di Yogya?, aku juga tahu alamat kost Mas Doni di Yogya ini, karena kami dulu sering saling berkirim-kirim surat, Mas Doni kost di jalan Surya Pranoto, sebenarnya bila aku mau mencari alamat Mas Doni pasti aku dapat menemukannya, tapi semua ini tak pernah kulakukan, karena biar bagaimanapun Mas Doni sudah berlalu dari kehidupanku.
Ujian semester pertamaku sudah berlangsung, berkat usaha keras yang aku lakukan syukurlah aku mendapat nilai yang bagus, Indeks Prestasiku 3,5, suatu nilai yang begitu besar dan cukup membanggakan pada saat itu.
Karena jarak antara rumah Kakak sampai ke kampus cukup jauh dan hanya aku tempuh dengan naik sepeda onthel, lama-lama aku merasakan kelelahan, belum lagi kalau ada kegiatan sore. Untuk itulah aku mulai mencari-cari informasi barangkali ada tempat tinggal atau tempat kost yang bisa aku tinggali, doa seakan terjawab, di depan kampus ada satu rumah dan secara kebetulan pemilik rumah itu namanya persis seperti namaku “Sunarti”, dan mempunyai anak yang namanya persis dengan nama panggilanku “Atik”, entah ini merupakan suatu kebetulan atau sesuatu takdir bagiku, yang pasti aku diminta tinggal di rumah itu tanpa harus membayar, akan tetapi aku harus membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah itu seperti, mencuci, memasak, dan mengasuh tiga orang anaknya yaitu Atik dan adiknya yang kembar Tuti dan Titi. Aku senang tinggal di situ karena aku tak perlu lagi bersepeda jauh-jauh untuk berangkat kuliah, dan yang paling penting adalah aku tinggal di rumah itu tanpa harus membayar.
Tak terasa ujian semester dua telah selesai dan IP-ku tetap masih di angka 3,5 aku sering menjadi tempat bertanya bagi teman-temanku yang kurang paham akan pelajaran yang disampaikan oleh dosen, aku senang dapat membantu teman-teman.
Atas usul dari Mas Hari, dalam liburan semester ini aku mendaftar ikut ujian masuk perguruan tinggi negri atau Sipenmaru karena ketika aku baru tiba di Yogya ini aku belum sempat ikut mendaftar Sipenmaru tersebut. Aku memilih mendaftar di IKIP Yogyakarta mengambil jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, jurusan yang sama seperti yang setahun ini aku tempuh di PT swasta. Syukur kepada Tuhan aku diterima, akupun masuk dan mengulang kuliah dari semester satu. Tapi aku tidak menyesal meski aku harus kehilangan waktu setahun, karena aku yakin akan mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu dari sebelumnya.
Akupun meninggalkan kota kabupaten dan pindah di kota propinsi untuk menempuh pendidikan di tempat yang lebih maju, untuk itu aku harus kost, biaya kost di kota pelajar waktu itu bagiku terlalu mahal, persediaan uang dalam tabunganku semakin menipis, oleh karena itu untuk menghemat uang aku terpaksa berangkat ke kampus dengan berjalan kaki meski jarak antara tempat kostku dengan kampus agak jauh. Aku setiap hari juga puasa sunah karena memang tidak ada yang dimakan, saat itu aku benar-banar merasa hidup sendiri jauh dari orang tua, saudara dan jauh dari Mas Hari orang yang selama ini selalu membantuku dalam suka maupun duka, entah mengapa semenjak aku kuliah di Yogya hubunganku dengan Mas Hari agak merenggang, padahal dulu Mas Harilah yang mendorong aku untuk mendaftar dan kuliah di kampus yang lebih baik. Meskipun dalam kesulitan dan dalanm kesendirian aku berhasil menempuh kuliah semester satu dan dua dengan lancar, akan tetapi prestasi yang aku capai tidak seperti yang aku harapkan, IP-ku tidak terlalu baik bahkan ada mata kuliah yang tidak lulus aku heran, mengapa hal ini bisa terjadi?, Padahal semua mata kuliah tersebut dulu sudah pernah aku tempuh waktu aku masih kuliah di PT swasta, apa memang kuliah di PT yang baik nilainya mahal? Atau memang aku yang bodoh, atau karena aku banyak mengalami masalah?, entahlah aku benar-benar kecewa dengan prestasi yang aku capai kali ini.
Mulai memasuki semester ke tiga aku benar-benar telah kehabisan uang, tabunganku sama sekali tak bersisa, orang tua di kampung tak pernah mengirimi uang. Kakak, perekonomiannya juga morat marit, Mas Hari entah sekaramg masih ingat padaku atau tidak, aku bahkan tak pernah bertemu, padahal dulu kami sudah saling berjanji setia sampai akhir jaman, nyatanya sekarang aku sendiri dalam kesulitan dan Mas Hari tidak ada.
Waktu pembayaran SPP sudah hampir habis, tapi aku belum mempunyai uang untuk membayar. SPP-ku saat itu Rp.90.000,00 (Sembilan puluh ribu rupiah) per semester, bagiku jumlah yang cukup besar waktu itu, aku kesana kemari mencoba mencari pinjaman tapi tidak mendapatkannya.
Tiba-tiba aku ingat waktu aku akan bekerja ke Arab dan mencari surat keterangan sehat dr. M. Harsono waktu itu pernah berpesan bahwa kalau aku butuh bantuan aku boleh menghubunginya, akupun bergegas menuju rumah sakit tempat dokter itu praktek, namun sunguh kecewanya aku karena ternyata dokter itu sudah pindah tugas dan tidak tahu pindah ke mana, lemas seluruh persendianku, musnah sudah harapan untuk mendapatkan pinjaman uang guna membayar uang kuliah. Aku berfikir dan bertanya-tanya siapa lagi yang bisa aku mintai tolong untuk meminjami aku uang Rp.90,000,00 untukku?, aku kemudian iangat saat aku mencari suarat keterangan kelakuan baik dari kepolisiaan ada polisi yang berkata akan menjadikan aku istri simpanan, aku hanya berfikir barangkali orang itu bisa memberi aku pinjaman uang, aku pergi menuju kantor polisi tempat dulu aku bertemu dengannya, tapi entah karena memang nasibku yang sedang sial atau Tuhan sedang menyelamatkan aku, aku tidak bisa menemukan kantor polisi tersebut padahal aku sudah berjalan berputar-putar melalui jalan yang dulu aku tempuh waktu mengurus SKKB, dan sebelumnya aku sudah hafal jalannya, tapi sampai aku leleh berjalan aku tetap tidak berhasil menemukan letak kantor polisi tersebut, akupun pulang dengan tangan hampa.
Dalam keputusasaanku belum memperoleh uang untuk membayar uang kuliah, aku bertemu Chairul Anwar, sahabatku waktu aku kuliah di swasta dulu, akupun menceritakan segala kesulitan yang sedang aku hadapi saat itu, Anwar meneteskan air mata, empati terhadap nasib malangku, lalu aku di ajak kerumahnya di Magelang menghadap orangtuanya dan memohon bantuan dari orang tuanya, akan tetapi orang tuanya juga tidak bisa memberi pertolongan dengan meminjami aku uang, namun syukurlah aku dipinjami seuntai kalung emas yang di pakainya untuk aku jual agar uangnya bisa dipakai untuk membayar kuliah.
Rasa haru dan ucapan terimakasih yang tak terhingga aku ucapkan sembari menciumi tangan ibunya Chairul Anwar yang baik dan sudi menolongku, meski baru pertama kali aku bertemu dengannya.
Tanpa pikir panjang aku segera pulang. Sesampainya di rumah aku bergegas pergi ke toko emas untuk menjual kalung pinjaman dari ibunya Anwar, setelah kalung kujual aku segera pergi ke kampus untuk membayar uang kuliah, akan tetapi ternyata nasib malangku tetap belum mau pergi dari kehidupanku, karena waktu pembayaran sudah berakhir. Aku berusaha menghadap ketua atau pegawai yang mengurusi registrasi agar bisa membayar dengan alasan, uang yang aku pergunakan untuk membayar, baru saja aku dapatkan. Aku disarankan untuk menemui Pembantu Rektor (PR) III, untuk meminta dispensasi agar dapat membayar dan bisa kuliah di semester berikutnya, setelah menembus birokrasi yang berbelit-belit, akhirnya aku dapat bertemu dengan PR III, akan tetapi sungguh kecewanya aku manakala PR III tidak dapat membantu apapun agar aku bisa membayar SPP, aku hanya disarankan agar mengajukan ijin selang tidak kuliah semester ini kepada Rektor, hancur berkeping-keping rasanya hatiku, ternyata perjuanganku mencari pinjaman uang ke sana ke mari agar dapat membayar SPP semester ini sama sekali tak ada gunanya, uang yang aku dapat dari hasil menjual kalung ibunya sahabatku itu tidak bisa aku setorkan untuk melanjutkan kuliahku.
Aku pulang dengan kekecewaan yang mendalam, semua uang hasil penjualan kalung aku kembalikan kepada Anwar agar disampaikan kepada ibunya, aku tahu pasti ibunya Anwar mengalami kerugian karena harga jual kalung telah dipotong ongkos pembuatan dan lain-lain meskipun semuanya telah aku serahkan. Tapi paling tidak uang itu sudah aku kembalikan.
Di tengah keputusasaanku karena gagal terdaftar di semester ini, aku bertemu Pak Slamet yang bekerja di bagian pengajaran fakultas tempat aku kuliah dan belajar. Pak Slamet menawarkan bantuan menguruskan segala suatu mengenai perijinanku agar aku tetap terdaftar sebagai mahasiswa dan tidak dianggap keluar, dibuatkannya aku surat permohonan ijin cuti kuliah atau ijin selang yang ditujukan kepada Rektor, dan segala persyaratan administrasinya. Berkat bantuan Pak Slamet maka kuliahku selamat dan aku terhindar dari di keluarkan dari kampus karena tidak membayar uang SPP, semester ini aku cuti kuliah, karena tidak bisa membayar uang kuliah, rasanya sangat memprihatinkan sekali, tapi itulah kenyataan hidup yang aku alami.
Aku mulai bingung apa yang akan aku lakukan selama mengisi masa cuti kuliahku semester ini, aku berfikir bahwa aku harus bekerja untuk mengumpulkan uang agar semester depan aku bisa membayar kuliah. Tapi aku harus kerja apa?,aku sama sekali tidak punya ketrampilan yang dapat aku jadikan modal untuk bekerja.
Dalam kegalauanku ini aku berfikir ingin menikah agar ada orang yang mau membiayai kuliahku. Untuk itu aku menemui Mas Hari yang sudah lama kami tidak saling bertemu, aku memberanikan diri mengajaknya menikah, tapi ternyata Mas Hari belum siap Mas Hari mengatakan “Maaf ya Dik, bukan berarti aku tidak mencintaimu tapi aku belum siap untuk menikahimu, adik-adikku masih banyak, tanggunganku masih banyak, jadi maaf aku belum bisa menikah denganmu Dik”, begitulah jawaban Mas Hari. Entah mengapa aku merasa jawaban Mas Hari itu biasa-biasa saja dan tidak membuatku sakit hati. Aku berlalu begitu saja dari hadapan Mas Hari tanpa kata, aku pulang sambil berdoa kepada Tuhan agar diberi petunjuk akan nasibku yang akan datang, apa yang harus aku lakukan dan jalan apa yang harus aku tempuh.
Tiba-tiba saja aku teringat seorang teman Yogi namanya, dia pernah bercerita kalau saudaranya ada yang mempunyai toko dan membutuhkan pegawai untuk menjaga tokonya. Yogi adalah temanku dalam organisasi pemuda di kampung tempat dulu aku tinggal, Yogi tinggal di kampung itu karena dia mempunyai usaha di situ, rumah orang tuanya ada di kota.
Yogi dan aku dulu sering berlatih teater bersama, malah dia yang mengajari kami, teater kami sering pentas pada perayaan atau peringatan kemerdekaan di kampung, di samping acara-acara kesenian yang lain. Memang pemuda di kampung itu termasuk memiliki semangat berorganisasi yang cukup tinggi, kami juga mempunyai taman bacaan, kebetulan aku yang menjadi pengelola taman bacaan tersebut, koleksi bukunya kebanyakan buku-buku fiksi yang memang banyak disukai remaja-remaja di kampung itu.
Aku bertemu dengan Yogi di sela-sela kesibukannya mengurus usaha bengkelnya yang cukup lumayan maju pada saat itu. Aku menceritakan kepada Yogi bahwa saat ini aku sedang tidak kuliah karena sesuatu hal dan aku bermaksud mencari pekerjaan, seperti yang Yogi katakan dulu, bahwa saudaranya butuh karyawan untuk menjaga tokonya, dan aku bermaksud untuk melamar. Yogi menyambut antusias akan maksudku, kami berjanji bertemu pada hari Minggu, selanjutnya Yogi mengantarkan aku ke rumah saudaranya yang punya toko agar aku dapat di terima sebagai pegawai di toko itu. Aku percaya kalau aku akan diterima bekerja di toko itu, karena Yogi adalah adik dari pemilik toko, demikian yang aku pikirkan saat itu, setelah menempuh perjalanan dengan bus ke rumah saudara Yogi, akhirnya sampailah kami di tempat tujuan, kala itu senja mulai merangkak naik.
Tanpa basa-basi setelah bertemu kakaknya, Yogi menyampaikan maksud kedatangan kami kalau aku ingin bekerja di tokonya. Keyakinanku yang begitu besar untuk dapat diterima bekerja demi mengisi kekosongan waktu selama tidak kuliah dan demi mengumpulkan uang untuk kuliahku semester depan ternyata tidak membuahkan hasil. Dengan sangat menyesal kakaknya Yogi tidak dapat menerimaku bekerja di tokonya karena tiga hari yang lalu dia baru saja menerima beberapa pegawai yang kesemuanya perempuan, jadi kedatanganku terlambat.
Hari telah malam, ketika kami berpamitan pulang dari rumah kakaknya Yogi, Yogi tidak bertanya setelah ini akan mengajakku kemana, tapi ternyata aku diajaknya pulang ke rumah orang tuanya yang terletak di daerah sekitar Malioboro Yogyakarta, aku sama sekali tidak menaruh rasa takut atau curiga atas apa yang kami lalui saat itu, karena aku hanya berfikir untuk bekerja, bekerja dan bekerja, dan aku juga tak pernah sekalipun berfikir untuk berbuat yang aneh-aneh, aku dengan Yogi adalah sahabat, Yogi sudah tahu kalau aku sudah mempunyai pacar yaitu Mas Hari. Bagi keluarga Yogi mungkin dikira bahwa aku adalah pacar Yogi, tetapi setelah kami ceritakan latar belakang mengapa aku sampai ke sini mereka maklum. Orang tua Yogi adalah orang yang berfikiran moderat dan tidak kolot, ibunya seorang pedagang sepatu yang berjualan di pasar Beringharjo yaitu pasar terbesar di kota ini, sedangkan ayahnya seorang veteran perang kemerdekaan, Yogi adalah anak ke-delapan dari delapan bersaudara, suatu keluarga yang cukup besar pikirku, namun semua saudaranya sudah bekerja dan sudah menikah serta tinggal di rumahnya masing-masing, jadi orang tua Yogi hanya tinggal berdua ditemani oleh Rika keponakan Yogi yang masih berumur sepuluh tahun, Rika tinggal bersama orang tua Yogi karena ibunya telah meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi.
Malam itu aku menginap di rumah Yogi, kebetulan saat itu ibu Yogi sedang sakit. Aku berencana besok pagi baru akan pulang ke rumah kakakku yang ada di Kulon Progo, karena aku sudah tidak punya tempat kost, jangankan untuk membayar kost untuk makan saja aku sangat kesulitan.
Pagi itu udara sangat cerah, aku berkemas-kemas hendak pamit kepada kedua orang tua Yogi dan mengucapkan terimakasih telah menerimaku malam itu. Akan tetapi ketika aku akan melakukan semua itu rupanya Yogi dan orang tuanya sudah sepakat akan mempekerjakan aku di toko ibunya dan tinggal di rumahnya. Ayahnya sendiri yang memintaku agar aku tidak pulang dan mau bekerja di rumahnya membantu semua pekerjaan rumah dan membantu berjualan di pasar Beringharjo. Saat itu aku sedang butuh tempat tinggal, saat itu aku sedang butuh pekerjaan, jujur saja aku juga butuh tempat untuk bersembunyi, aku ingin bersembunyi karena malu pada teman-teman dan karena aku tidak dapat melanjutkan kuliah semester ini.
Tanpa basa basi lagi aku menerima tawaran untuk bekerja di rumah Yogi, sebagai pembantu lagi, lagi-lagi pembantu apa hanya ini derajatku?, pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam hati, mengapa setiap mendapat pekerjaan selalu hanya sebagai pembantu, pembantu dan pembantu?, entah sudah berapa tempat aku singahi sebagai seorang pembantu pertama di rumah saudaraku ketika aku masih kelas satu SMP, lalu di rumah Ibu Hajar sampai aku lulus SLTA, di rumah Ibu Narti dan sekarang di rumah Yogi.
Hari itu aku memulai bekerja di rumah Yogi, mengurus segala pekerjaan rumah tangga dan setelah selesai melakukan pekerjaan rumah aku pergi ke pasar untuk menjaga toko sepatu. Aku melakukan semua pekerjaan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, untuk itu aku di gaji Rp.15.000,00 (lima belas ribu rupiah) setiap bulannya. Aku bersyukur karena baru kali ini aku bekerja mendapatkan gaji, aku menghitung-hitung gajiku ini, berarti bila aku bekerja selama enam bulan maka akan terkumpul Rp.90.00,00 (sebilan puluh ribu) dan uang tersebut akan aku gunakan untuk membayar kuliahku semester depan.
Aku terus bekerja dengan rajin, dan semua pekerjaanku dinilai positif oleh ayahnya Yogi, sementara Yogi masih tinggal di kota lain mengurus usahanya. Suatu hari ketika Yogi pulang ke rumah aku tak sengaja mendengar pembicaraan ayahnya dan Yogi cukup serius, dan yang membuat aku kaget dalam pembicaraan itu aku mendengar ada namaku disebut-sebut, “Anak itu cantik, rajin dan cekatan, kenapa tidak kau ambil sebagai istri?”, begitu sepenggal kalimat yang diucapkan oleh Pak Mangun ayah Yogi, aku tidak mendengar jawaban apa yang disampaikan oleh Yogi kepada ayahnya, yang pasti aku mulai berfikir kemungkinan-kemungkinan apa yang akan aku hadapi apabila semua itu terjadi.
Hari-hari terus berlalu aku tetap bekerja dan bekerja untuk mengumpulkan uang agar bisa membayar kuliah untuk melanjutkan semester depan, tapi aku juga masih belum tahu kalau aku sudah mendapat gaji selama bekerja enam bulan dan bisa membayar SPP, lalu untuk makan uang dari mana? Untuk transport, untuk membeli keperluan kuliah?, bila memikirkan itu kepalaku jadi pusing dan otak serasa buntu.
Suatu malam, Yogi menemui aku dan berbicara mengenai apa yang dulu pernah aku dengar secara tidak sengaja “Tik, maukah kau menjadi istriku?”, aku sama sekali tidak terkejut karena semua itu telah aku duga sebelumnya. Mendengar itu aku hanya tersenyum dan berharap semua itu hanya lelucon, bukankah Yogi tahu aku sudah punya kekasih yaitu Mas Hari, namun nampaknya Yogi serius dan tidak main-main, menurut Yogi selama aku belum menjadi istri orang maka masih terbuka kesempatan, istilahnya sebelum janur kuning melengkung masih ada peluang, begitu yang di pikir oleh Yogi saat itu.Aku tidak ingin menerima tawaran Yogi, tapi aku juga tidak ingin menyakitinya, oleh karena itu aku minta waktu untuk memikirkan tawarannya itu.
Hari- hari berjalan seperti biasanya, aku tetap bekerja dan bekerja, tidak ada kegiatan lain selain bekerja. Tak terasa empat bulan telah berlalu sejak Yogi memintaku untuk menjadi istrinya, hingga pada suatu malam jumat kliwon, malam yang keramat, kata sebagian orang, Yogi kembali menemuiku dan menanyakan jawaban dari cintanya yang diucapkan empat bulan yang lalu, malam itu aku benar-benar tidak siap dan belum memiliki jawaban untuk persoalan itu, Yogi terus mendesak agar aku memberikan jawaban malam itu juga, aku hanya berfikir sejenak dan anganku kemudian menerawang bahwa Mas Hari kekasihku belum mau aku ajak untuk menikah, aku sangat membutuhkan biaya untuk kelangsungan kuliahku, tiba-tiba dari mulutku meluncur begitu saja kata-kata yang merupakan jawaban dari pertanyaan Yogi dan telah ditunggunya selama empat bulan ini, ”Baiklah Yogi, aku bersedia menjadi istrimu tapi dengan satu syarat, yakni kau harus mau membiayai kuliahku sampai aku lulus dan meraih gelar sarjana”, spontan Yogi mengatakan “Ya” yang berarti setuju dengan syarat yang aku ajukan.
Setelah malam itu, aku resmi menjadi calon istri bagi Yogi, aku segera mengirim surat kepada Mas Hari yang isinya bahwa aku minta maaf tidak bisa menunggunya lebih lama lagi, dan akan segera menikah dengan orang lain, hal ini dikarenakan Mas Hari belum siap untuk aku ajak menikah. Surat itu aku tulis dan Yogi yang mengantarkannya ke rumah Mas Hari, aku tidak tahu bagaimana perasaan dan tanggapan Mas Hari menerima suratku saat itu, yang pasti aku benar-benar minta maaf karena harus melakukan ini, semua aku lakukan demi masa depan dan demi kelangsungan kuliahku. Setelah aku mengatakan ya untuk menjadi istri Yogi, orang tuanya segera melamarku kepada kakakku yang ada di Kulon Progo, karena untuk melamarku pada kedua orang tuaku rasanya tidak mungkin sebab orang tuaku ada di Sumatra, suatu jarak yang cukup jauh pada waktu itu, berbeda dengan sekarang di mana hampir tidak tidak ada jarak antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, transportasi sudah sangat maju dan mudah, sehingga kita dengan mudah dan cepat bisa mencapai daerah lain, begitulah kemajuan zaman yang semakin pesat dan dapat kita rasakan saat ini.
Setelah orang tua Yogi melamarku kepada kakakku, kami segera menentukan hari pernikahan, hari pernikahan telah ditentukan bulan depan, benar-benar tanpa persiapan apapun. Menjelang hari H pernikahanku entah mengapa rasanya aku sangat ingin bertemu dengan Mas Doni, mantan kekasihku yang dulu meninggalkan aku tanpa alasan dan tanpa sebab yang jelas.
Malam itu di sela-sela kesibukanku menyiapkan segala kelengkapan hari H pernikahanku dengan Yogi, aku meminta pada Yogi untuk mengantarkan aku ke tempat kost Mas Doni, yang telah sekian lamanya tidak kudengar kabarnya. Malam itu kamipun berjumpa. tak terasa air mataku tumpah di pelukan Mas Doni malam itu, kami saling melepas rindu dan bercerita tentang kehidupan kami masing-masing. Entah karena perasaanku yang masih sangat mencintai Mas Doni atau karena memang Mas Doni juga masih mencintaiku, aku merasakan keteduhan dan cinta terpancar dari mata Mas Doni malam itu, tapi aku segera menyadari bahwa kami sudah tak mungkin lagi dapat bersatu, hal itu karena Mas Doni telah meninggalkan aku dan aku sendiri akan segera menikah dengan Yogi. Malam itu juga aku minta doa restu dan mengundang Mas Doni untuk hadir dalam pernikahanku yang tidak lama lagi akan segera kami langsungkan. Sungguh terasa ditampar mukaku mendengar nasihat Mas Doni malam itu, ketika aku mohon doa restu untuk menikah agar ada orang yang mau membiayai kuliahku, Mas Doni mengatakan padaku bahwa menikah adalah sesuatu yang sakral dan berhubungan dengan hati, hendaknya aku menikah bila aku memang mencintai calon suamiku, rupanya Mas Doni tahu bahwa bukan atas dasar cinta aku akan menikah, dia juga berkata bahwa kuliah adalah bukan segala-galanya, untuk apa aku mengorbankan kebahagiaanku demi urusan duniawi, yaitu kuliah, tidak kuliah kan juga tidak apa-apa?. Begitu Mas Doni menasihati aku malam itu. Aku paham benar akan apa yang diucapkan oleh Mas Doni, memang laki-laki yang paling aku cintai adalah Mas Doni, tapi bukankah Mas Doni meninggalkan aku? Lalu apa bedanya?, apakah kalau aku tidak menikah dengan Yogi, Mas Doni mau kembali padaku dan mau menikah denganku?, aku rasa tidak.
Semalam, sekembalinya aku dari kost Mas Doni, aku tidak bisa tidur, wajah Mas Doni selalu membayangiku, tatapannya yang begitu teduh, pelukannya yang begitu hangat, dan aku merasa bahwa Mas Doni masih mencintaiku. Telinga juga terus terngiang-ngiang kata-kata Mas Doni tentang kebahagiaan, mengapa aku mengorbankan kebahagiaan hatiku hanya agar aku bisa kuliah?.
Rasanya malam itu kepalaku mau pecah memikirkan segala persoalan yang aku hadapi, tapi apapun kata orang keputusanku sudah bulat untuk menikah agar ada orang yang membiayai kuliahku, rasanya banyak hal yang harus kubayar dengan kuliah, aku masih menyimpan rasa sakit akan hinaan orang atas kemiskinan orang tuaku, aku juga masih menyimpan segores luka telah ditinggal kekasih hanya karena status sosial. Itulah motivasi terbesarku untuk tetap dapat melanjutkan kuliah.
Hari H pernikahanku telah tiba, pernikahan yang berlangsung sangat sederhana dan tidak dihadiri kedua orang tuaku karena mereka tidak punya biaya untuk menghadiri pernikahanku, sehingga yang menjadi wali dalam pernikahan itu adalah wali hakim, yaitu di wakili oleh petugas pencatat perkawinan kecamatan tempat aku melangsungkan pernikahan, yakni di tempat Yogi, hari itu yang menghadiri pernikahanku hanyalah kerabat dekat suamiku dan beberapa kerabatku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari seseorang yang khusus ku undang dan satu-satunya orang yang ku undang yaitu Mas Doni, akan tetapi hari itu berlalu begitu saja tanpa kehadiran Mas Doni mantan kekasihku di hari perkawinanku, aku benar-benar kecewa dan tak tahu apa sebenarnya yang ada di benak Mas Doni, bukankah dia telah meninggalkan aku, mestinya merelakan aku dipersunting oleh orang lain, mengapa dia tidak mau datang?, apa dia kecewa aku menikah dengan orang lain?. Entahlah pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggangguku dalam mengarungi kehidupan ini.
Hari itu di usiaku yang ke-21 tahun, aku telah resmi menjadi istri Yogi, kemudian aku tinggal bersama orang tuanya Yogi yang sekarang menjadi mertuaku, aku tetap bekerja di rumah, di pasar dan mengurus segala urusan rumah tangga.
Beberapa bulan setelah menikah aku mulai masuk kuliah, Mas Yogi sekarang aku memanggil sahabatku yang sekarang menjadi suamiku yang berkewajiban membayar biaya kuliahku sampai aku lulus, walaupun saat itu usaha mas Yogi mengalami kemunduran.
Karena ingin menggapai kehidupan yang lebih baik semua asset usaha Mas Yogi di jual, kemudian Mas Yogi bekerja di Jakarta, kami baru menikah beberapa minggu Mas Yogi sudah meninggalkan aku untuk bekerja di Jakarta, malah rencananya setelah pekerjaan Mas Yogi mapan aku akan diboyong ke Jakarta, kuliahku akan dipindah ke Jakarta.
Belum genap satu bulan bekerja di Jakarta, Mas Yogi pulang ke Yogya, alasannya tidak tega meninggalkan aku sendiri di Yogya, perasaanku waktu itu bingung bercampur-campur dengan kekhawatiran akan masa depan rumah tangga kami, Mas Yogi jelas tidak mungkin melanjutkan usaha bengkelnya lagi karena semua asetnya telah dijual sebelum pergi ke Jakarta, akhirnya Mas Yogi harus mencari pekerjaan di Yogya, bermodalkan latar belakang pendidikannya dan ketrampilannya akhirnya Mas Yogi diterima bekerja di sebuah dealer sepeda motor sebagai mekanik, aku masih tetap membantu Ibu berjualan di pasar, hanya saja sekarang aku sudah tidak digaji lagi, padahal kebutuhan kuliahku semakin banyak. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus menerima semua ini.
Aku mulai mengandung anakku yang pertama, buah dari perkawinanku dengan Mas Yogi. Meskipun hamil aku tetap kuliah sebagai mana mestinya, aku tak perduli, dengan rasa lelah dan capek, aku juga tetap bekerja dan beraktifitas seperti biasanya, pagi aku kuliah, pulang sekolah ke pasar untuk berjualan, pulang dari pasar masih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Kadang-kadang aku merasa sangat kelelahan apalagi kalau kuliahku di lantai tiga atau empat dan harus naik turun tangga di gedung kampus, belum lagi kalau harus mencari buku-buku atau bahan kuliah di perpustakaan yang gedungnya tinggi itu, maka malam harinya aku susah tidur karena kakiku rasanya pegal-pegal.
Setelah anak pertamaku lahir suamiku mengajak aku untuk memisahkan diri dari orang tua, kami mencari rumah kontrakan yang tidak terlalu jauh dari kampus tempatku kuliah dan dari tempat suamiku bekerja.
Gaji suamiku tidak terlalu besar, sehingga hanya cukup untuk makan sehari-hari dan menabung sedikit demi sedikit untuk persiapan membayar kuliah semester depan dan untuk membayar kontrakan rumah, belum lagi untuk mambayar pembantu yang mengasuh anak bayiku. Mau tidak mau walaupun hidupku masih serba kekurangan aku musti membayar pembantu untuk mangasuh bayiku, sebab kalau tidak, maka aku tidak bisa berangkat kuliah atau suamiku tidak dapat masuk kerja. Untuk menutupi kebutuhan keluarga yang semakin banyak aku bahkan tidak malu harus kerja sampingan sebagai buruh cuci bagi mahasiswa-mahasiswa yang kost di dekat rumah kontrakanku demi menambah uang belanja bagi kehidupan kami.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, aku benar-benar konsentrasi mengurus rumah dan kuliah, aku berusaha menjadi istri dan ibu solehah bagi keluargaku, meskipun liku-liku hidup di masa mudaku dulu penuh tantangan, aku mencoba melupakan dan mencoba hidup dengan lembaran baru, aku melupakan semua mantan-mantan kekasih yang pernah mengisi relung hati di masa lalu, mencoba pasrah dan setia atas pilihan yang telah aku ambil, yakni istri bagi Mas Yogi selama-lamanya.
Suatu hari ketika Firman anakku telah berusia empat tahun aku dan suamiku bisa membeli sebuah rumah di kompleks perumahan, rumah yang kecil dengan ukuran 8x5 meter itu kami beli dengan susah payah bahkan sebagian uangnya adalah kami dapat dari berhutang pada orang tuanya Mas Yogi, dan kami mengembalikannya dengan cara mencicil setiap bulan.
Kebahagiaan itu semakin lengkap manakala aku secara resmi dinyatakan lulus dari pendidikanku di perguruan tinggi yang telah aku tempuh selama empat setengah tahun dengan cucuran keringat dan air mata yang tak terperikan pedihnya, perih dan lara. Namun semua pedih dan lara yang aku rasakan selama ini, semua lelah yang ada seakan terlepas begitu saja dari ragaku begitu aku memakai jubah hitam dan toga saat aku di wisuda dan dinyatakan berhak menyandang gelar sarjana.
Kebahagiaan itu dilengkapi pula dengan aku terimanya selembar ucapan yang berbunyi “Selamat atas diraihnya gelar sarjana, untuk Cinderelaku”, dari Doni. Aku bahagia sekali ternyata Mas Doni masih ingat padaku meskipun bertahun-tahun kami tidak berjumpa, kukira Mas Doni telah melupakanku, dan tak perduli lagi padaku, dan itu terpikir olehku ketika dia meninggalkanku dan ketika dia tak datang saat hari pernikahanku. Ucapan selamat itu di bawa oleh Aulia gadis kecil yang dulu aku asuh putri pertama Ibu Hajar, yang sekarang bersekolah di SMA Teladan Yogyakarta. Aulia juga tahu kalau dulu aku adalah kekasih Mas Doni omnya.
Aku mulai sibuk mencari-cari pekerjaan yang kira-kira sesuai dengan pendidikanku dan syukur dengan gaji yang sesuai pula. Mula-mula aku bekerja sebagai agent asuransi jiwa, beberapa bulan aku mencoba bekerja dengan sungguh-sungguh dalam mencari nasabah, akan tetapi aku merasa tidak mampu dan tidak berhasil, oleh karena itu aku mengundurkan diri. Lalu aku melamar segai tentor bimbingan belajar yang saat itu menjamur di Yogyakarta, syukurlah aku diterima. Dari lembaga inilah pertama kali aku mendapat honor yang lumayan, dan aku merasakan nikmatnya menjadi seorang guru, belajar menyelami jiwa anak didik dan mengerti sedikit-sedikit tentang bagaimana mengelola sebuah lembaga bimbingan belajar. Dari sini pula aku akhirnya bisa memiliki lembaga bimbingan belajar sendiri meskipun masih kecil-kecilan. Bersamaan dengan itu aku juga diterima sebagai guru honorer si sebuah SMA swasta milik yayasan Muhammadiyah. Aku sangat hahagia menerima anugrah ini.
Sekarang aku telah menjadi seorang guru SMA, cita-cita masa kecilku sebagian telah tercapai, aku mengajar dengan rasa bahagia dan ikhlas walaupun gaji sebagai guru honorer sangatlah kecil. Saat itu tahun 2003, aku menjadi guru dengan gaji Rp.1.300,00/jam pelajaran. Saat itulah aku baru tahu bahwa perhitungan jam mengajar bagi guru tidak seperti yang kubayangkan, yaitu bila aku mengajar per minggunya 10 jam pelajaran, aku berfikir dalam sebulan yang terdiri dari empat minggu dan perjam pelajaran dihargai Rp.1.300,00, maka aku mengira gajiku akan menjadi 10 jam pelajaran dikalikan 4 minggu dikalikan Rp. 1.300,00 jadi sama dengan Rp.52.000,00. Akan tetapi dugaan perhitungan seperti itu salah besar, yang benar adalah bila aku mengajar 10 jam perminggu dan bila per jam dihargai Rp. 1.300,00, maka gajiku adalah 10 jam pelajaran dikalikan Rp.1.300,00. Jadi sama dengan Rp. 13.000,00, padahal ketika aku mengajar di bimbel gajiku dihitung tiap tatap muka, jadi ternyata ada perbedaan perhitungan jumlah jam mengajar sebagai guru dengan kenyataan yang sebenarnya. Tapi aku tidak begitu mempermasalahkan perhitungan itu, karena dengan diterimanya aku sebagai guru di situ saja aku sudah cukup bahagia dan senang bisa mengamalkan ilmu yang selama ini aku dapatkan di bangku kuliah.
Tak terasa Firman anakku sudak memasuki usia lima tahun dan ia sudah mulai masuk sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Setiap hari aku sibuk mengajar dan memberi les bagi anak-anak SD di rumah atau aku datang ke rumah siswa lesku. Suamiku mulai membuka usaha sendiri yakni mendirikan bengkel sepeda motor yang telah lama kami cita-citakan bersama. Dulu kami sudah membagi tugas setelah aku lulus kuliah aku ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan suamiku akan berwiraswasta.
Sudah tiga tahun aku lulus kuliah dan sudah tiga kali mengikuti test atau seleksi penerimaan PNS, tapi tiga kali pula aku gagal. Aku terus mengabdi sebagai guru honorer dengan gaji seperti yang telah aku ceritakan tadi, dengan penuh dedikasi dan semangat yang tinggi.
Setelah lima tahun aku bekerja gajiku naik menjadi Rp.3.000,00 per jam pelajaran, akan tetapi kenaikan itu tidak ada artinya sama sekali karena kebutuhan hidup semakin hari semakin bertambah dan harga-harga semakin tak terkendali, untunglah aku masih punya penghasilan lain yang meski hanya sambilan tapi memberikan kontribusi yang lumayan bagi kebutuhan keluargaku, yaitu penghasilanku sebagai guru les baik klasikal maupun privat. Untuk yang privat kebetulan murid-muridku berasal dari kalangan orang-orang berada alias kaya, bahkan ada empat orang muridku adalah cucu dari mantan rektor tempat aku kuliah dulu, orang tua mereka adalah dokter dan dosen, ada pula yang putra seorang pengusaha sehingga mereka membayarku dengan bayaran yang tinggi. Aku sangat bersyukur akan semua itu.
Aku sangat ingin bekerja yang dapat menghasilkan uang lebih, maka aku selain masih menjadi guru honorer, juga menjadi sales di berbagai perusahaan dan bank, menjadi broker atau makelar property, dan penyiar radio. Tapi aku merasa bahwa pekerjaan semacam itu meskipun menghasilkan uang lebih, seakan-akan aku bekerja tidak dengan jiwaku, tidak dengan keikhlasan dan ketulusan untuk mengabdi. Tidak aku pungkiri aku ingin menjadi guru yang statusnya PNS agar aku ikhlas mengabdi tanpa memikirkan berapa gajiku, tapi kenyataannya apa?, tiga kali ikut test tetapi selalu tidak berhasil, bahkan setelah itu tidak ada sama sekali pengangkatan PNS selama tujuh tahun.
Usaha suamiku mulai menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, sehingga yang tadinya hanya bengkel sepeda motor sekarang berkembang dan membuka bengkel mobil dan bengkel bubut. Karyawan suamiku kurang lebih 15 orang.
Adik-adikku di Lampung satu persatu menyusul aku ke Yogya. Pertama Beni, kemudian Dodi, Ayu dan Totok, mereka aku sekolahkan minimal sampai tamat SLTA, bahkan Ayu aku kuliahkan sampai tamat D3. Sekarang mereka semua telah berkeluarga dan mempunyai pekerjaan sesuai keahlian dan keinginanya masing-masing. Beni akhirnya pulang ke Lampung dan menjadi guru TK di sana, Dodi sekarang mempunyai bengkel sendiri, Ayu bekerja di perusahaan yang melayani turis-turis Manca Negara, sedangkan Totok bekerja sebagi kepala mekanik di sebuah dealer sepeda motor. Tina anak kakakku yang tinggal di Kulon Progo yang dulu aku sekolahkan sampai tamat SMA sekarang sudah bekerja di pulau Batam. Aku merasa bersyukur paling tidak dapat menuntaskan adik-adikku sampai tamat SLTA.
Aulia, Adi dan Anggi putra-putri Bapak Hajar yang ketika mereka kecil aku asuh sekarang mereka semua tinggal di rumahku, mereka semua kuliah di Yogya ini. Keluargaku benar-benar menjadi keluarga yang super besar saat itu, bayangkan saja ada 13 (tiga belas) orang yang tinggal bersamaku, sampai kadang-kadang aku repot sekali mengurus dan menyiapkan makan untuk mereka. Namun aku selalu ikhlas melakukan semua itu, aku hanya berharap Tuhan akan memberi kemudahan bagiku dan keluargaku dalam mengarungi segala kesulitan kehidupan ini.
Suamiku kadang-kadang merasa kerepotan mengurus perusahaannya dan memintaku berhenti dari pekerjaan-pekerjaanku termasuk berhenti menjadi guru yang tidak ada hasilnya sama sekali dan memintanya aku membantunya secara penuh. Selama ini aku telah membantu tetapi hanya ketika aku pulang dari mengajar atau pada saat aku tidak memberi les.
Memenuhi permintaan suami untuk berhenti jadi guru adalah pilihan yang sangat sulit, aku sama sekali tidak rela kalau harus berhenti jadi guru, maka untuk menyenangkan hati suami aku hanya mengurangi jam mengajar yang tadinya dalam satu minggu aku masuk enam hari, aku minta lima hari, semester depan minta tiga hari dan seterusnya hanya satu hari. Suamiku masih menuntut agar aku berhenti total, akan tetapi aku minta di beri waktu, dalam delema antara patuh pada suami dan mengikuti kata hati, aku sholat malam, sholat istikharoh, mohon agar Tuhan memberi petunjuk apakah aku harus berhenti jadi guru untuk membantu suami sepenuhnya atau tidak. Akan tetapi Tuhan seakan tidak mendengar doaku, setiap kali aku berdoa bukan jawaban atas kebimbanganku yang kudapat, akan tetapi aku pasti jatuh sakit, dan aku tidak bisa mengartikan semua ini. Karena belum tahu arti dari jawaban semua doaku maka aku masih tetap menjadi guru, guru hnorer yang tidak minta bayaran, apalagi jumlah muridnya semakin sedikit.
Sudah puluhan tahun aku mejadi guru, bahkan telah lahir anakku yang ke-dua dan aku beri nama Demokrasi, karena lahir bersamaan dengan dirayakannya pesta demokrasi bangsa Indonesia yaitu Pemilihan Umum.
Tahun ini ada pendaftaran penerimaan Guru Bantu (GB), iseng-iseng aku ikut seleksi penerimaan GB tersebut, aku sudah merasa pesimis dapat diterima karena soal-soal tesnya terasa sulit bagiku, bobot soalnya sama dengan soal tes PNS, padahal tiga kali ikut tes PNS aku gagal. Pengumuman hasil seleksi GB prosesnya sangat lama, dan aku menunggunya dengan masih konsentrasi mengurus usaha bengkel suamiku.
Aku masih tetap menjadi guru honorer dengan gaji dibawah Rp.50.000,00, malah kadang-kadang aku tidak meminta untuk dibayar apalagi setelah sekolah mengalami kemunduran, jumlah siswa yang mendaftar di sekolahku setiap tahun semakin sedikit, ini di sebabkan sekolah kami terletak di daerah pinggiran yang sulit dijangkau transportasi umum juga karena sekolah-sekolah negri menambah daya tampungnya sehingga sekolah swasta pinggiran tidak lagi diminati oleh calon siswa.
Suatu hari di tengah-tengah kesibukanku menjaga bengkel dan melayani konsumen, tiba-tiba di dalam otakku dan di telingaku terasa ada sesuatu yang berbisik dan menuntunku mengatakan sesuatu, lidahku serasa tidak sadar dan aku mengatakan “Inilah waktuku, inilah jawaban atas doaku selama ini, bila esok aku diterima sebagai GB, aku akan terus dan tetap menjadi guru untuk selamanya, akan tetapi bila esok aku gagal dan tidak diterima sebagai GB, maka aku tidak akan menjadi guru untuk selama-lamanya, aku akan konsentrasi berwiraswasta”. Setelah mengatakan kalimat demikian ragaku serasa ringan, pikiranku seakan terang benderang. Ya aku merasa bagaimana mungkin aku ingin diterima menjadi PNS, bila menjadi GB saja aku tidak mampu. Momentum ini aku jadikan sebagai tolok ukur kemampuanku, walaupun dalam hatiku telah mengerti bahwa untuk menjadi maju tidak harus menjadi PNS.
Akhirnya waktu yang aku tunggu-tunggu selama berbulan-bulan datang juga yaitu saat pengumuman penerimaan GB. Setelah berdesak-desakan melihat pengumuman yang di pampang di halaman kantor Dinas Pandidikan Kabupaten, akhirnya aku menemukan namaku kecil sekali dan di terima sebagai GB, aku sangat bersyukur dan berfikir bahwa Tuhan menginginkan aku menjadi guru, buktinya aku diterima setelah aku bersumpah tidak akan menjadi guru bila kali ini gaga, ternyata Tuhan juga harus ditantang, begitu yang aku pikirkan saat itu, ya Tuhan ampuni aku yang telah berprasangka buruk padaMu ya Tuhan.
Aku menjadi GB dan di tempatkan di sekolah yang cukup besar, sekolah negeri yang mempunyai 45 kelas, padahal sebelumnya aku mengajar di sekolah yang muridnya bisa di hitung dengan jari, bahkan setelah setahun aku tidak mengajar di sana lagi karena ingin fokus di tempat tugas yang baru, sekolah itu benar-benar gulung tikar dan tidak lagi menerima murid karena jumlah siswa yang mendaftar kurang dari sepuluh orang.
Di tempatku yang baru ini aku harus pandai-pandai membawa diri dan menyesuaikan diri, karena jumlah gurunya yang lebih kurang 200 orang dan jumlah murid ribuan. Untunglah aku sedikit punya modal supel sehingga aku cepat dapat menyesuaikan diri dan masuk di lingkungan tersebut, tentu saja tidak lepas dari bimbingan Kepala Sekolah dan Pak Seputro selaku ketua jurusan.
Pak Seputrolah yang telah banyak mengajari aku bagaimana hidup ini, harus sabar, tawakal dan tidak serakah, selalu belajar dan belajar selalu, dan tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik. Aku akui beliau adalah sosok seorang pemimpin teladan dan bijaksana, canda rianya membuat kritik dan saran yang disampaikan oleh beliau mengena pada sasaran tanpa harus menyinggung dan menyakiti orang yang dikritik, pengalamannya yang luas terlihat dari gayanya berbicara, dan yang pasti banyak hal dapat aku ambil dari beliau, sayang sekali tidak lama setelah aku bekerja di sana beliau sudah harus pensiun, padahal fisiknya masih sehat, semangatnya masih tinggi, dan ilmunya masih dibutuhkan, akan tetapi apa boleh dikata peraturan yang mengharuskan beliau harus pensiun. Aku hanya mengucapkan selamat jalan pada Pak Seputro, semoga dapat menjalani masa pensiun dengan bahagia.
Pak Seputro tidak melupakan aku begitu saja, di sela-sela kesibukannya menikmati masa pensiun beliau masih sering menghubungi aku melalui telpon, memberiku semangat dan nasihat agar aku selalu belajar, belajar dan belajar kalau ingin menjadi sukses. Nasihat yang sangat berharga ini selalu terngiang di telinggaku dan menjadi motivasi bagiku untuk selalu belajar, belajar dan terus belajar.
Hari terus berlalu, sebagai GB aku bekerja dengan penuh loyalitas dan dedikasi, aku merasa harus konsekwen dengan apa yang telah aku ikrarkan yaitu ingin menjadi guru yang baik.
Suatu hari aku mendapat undangan untuk diklat di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) selama tiga hari dan menginap. Aku terkejut melihat dalam daftar penatar atau nara sumber yang memberikan materi kepada peserta, ada satu nama yang tidak asing lagi bagiku yaitu nama Mas Hari mantan kekesihku yang sudah tiga belas tahun tak berjumpa denganku, melihat namanya aku yakin benar bahwa dia adalah Mas Hari yang pernah aku kenal dahulu. Aku memberanikan diri masuk ke ruang para penatar atau Widya Iswara, dan benar saja Mas Hari ada di situ meski wajahnya Nampak lebih dewasa dibandingkan ketika masih menjadi kekasihku dulu, tapi garis-garis mukanya tetap tidak berubah, “Mas Hari?”, aku menyapa sambil mengulurkan tanganku untuk bersalaman, orang itu menatapku seolah-olah tak percaya kalau yang berdiri di depannya adalah aku, namun begitu yakin kalau ini adalah aku Mas Hari menjabat tanganku dengan erat dan seakan tak ingin dilepaskan. Setelah berbasa-basi dan menanyakan kabarku selama tiga belas tahun tidak berjumpa, bel tanda masuk pelatihan berbunyi kami semua harus segera masuk ruangan, sebelum masuk ruang Mas Hari meminta agar nanti setelah selesai seasen dan saat istirahat sekitar jam sepuluh malam dia ingin bertemu dan berbincang-bincang denganku di lobi, akupun setuju. Malam itu kami bertemu setelah tiga belas tahun kami tak pernah berkomunikasi, Mas Hari pertama mengucapkan selamat atas apa yang sudah aku raih misalnya sudah jadi sarjana, sudah jadi guru, sudah punya anak yang manis-manis dan entah apa lagi semua diselamati, kemudian dia meminta maaf kenapa dulu tidak siap untuk menikah denganku, semua terjadi karena keadaan yang tidak memungkinkan, aku hanya menjawab bahwa semua yang telah terjadi adalah takdir dan pasti ada hikmah di balik semuanya, tidak ada yang perlu dimaafkan dan memaafkan.
Malam itu juga aku tahu bahwa Mas Hari sudah menikah, akan tetapi tidak mempunyai anak, dia sekarang menjabat sebagai Kepala Dinas Pandidikan Kabupaten di tempat dia tinggal, malam itu kami mengobrol sampai jauh malam, sekarang aku menganggap Mas hari sebagai sahabat atau saudara dan tidak lebih dari itu, tidak ada lagi perasaan cinta pada Mas Hari dari diriku, aku telah mengubur dalam-dalam semua perasaan itu, yang aku cintai sekarang adalah keluargaku suami dan anak-anakku.
Esoknya ketika penataran telah selesai kamipun berpisah dengan saling berjabat tangan dan tidak ada janji untuk bertemu lagi secara khusus.
Tidak lama setelah aku mengikuti penataran, ada pengumuman penerimaan PNS, saat itu belum ada kebijakan bahwa GB dapat diangkat menjadi PNS, maka akupun berniat mendaftarkan diri sebagai PNS, aku berharap dapat diterima tahun ini setelah belasan tahun aku mengabdikan diri sebagai guru honorer dan satu tahun setengah senagai GB.
Namun betapa kecewanya aku, ternyata aku tidak dapat ikut mendaftar, mendaftar saja tidak bisa apalagi diterima?, aku tidak dapat ikut mendaftar karena usiaku sudah tiga puluh delapan sedangan batas usia bisa mendaftar adalah tiga puluh lima tahun. Tapi syukurlah karena kebijakan seperti itu banyak guru-guru yang merasa dirugikan dan tidak dapat mendaftar, mereka mengadakan aksi atau unjuk rasa menuntut agar peraturan tersebut direvisi, dan ternyata membuahkan hasil bahwa guru-guru honorer sampai usia empat puluh tahun bisa mendaftar asalkan dapat menunjukkan bukti bahwa dirinya mempunyai pengalaman mengajar minimal tujuh tahun.
Syukurlah dengan adanya kebijakan tersebut aku bisa mendaftarkan diri. Lega rasanya bisa mendaftar. Kebetulan saat testnya masih agak lama dam masih cukup waktu buat aku mempersiapkan diri, belajar dan belajar.Disaat seperti ini Pak Seputro masih saja menunjukkan kepeduliannya padaku, diberinya aku soal-soal latihan dan beliau menawarkan diri, bila aku mengalami kesulitan, aku bisa konsultasi padanya.
Kebetulan saat itu adalah bulan Ramadhan, sehingga aku punya cukup kesempatan berdoa dan mohon kemudahan pada Tuhan, setiap kali sehabis sholat aku berdoa, setiap malam aku bangun dan melakukan sholat tahajud, pagi hari aku sholat dhuha, dan puasa Senin Kamis juga aku lakukan, yang pasti segala usaha aku lakukan, baik usaha yang bersifat fisik dengan belajar maupun dengan doa. Alhasil aku merasa pada saat test mendapat kemudahan dalam menjawab semua soal, aku merasa yakin dengan apa yang aku kerjakan, jujur selama hidup aku belum pernah merasakan keyakinan yang begitu besar selain saat menjalani test ini. Dengan keyakinan yang begitu besar ini aku berharap akan mendapatkan apa yang aku cita-citakan.
Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu yaitu pengumuman penerimaan PNS, sejak pagi aku sudah menunggu datangnya surat kabar lokal langgananku, karena pengumuman dimuat di surat kabar, tepat pukul 05.00 surat kabar telah datang, tiba-tiba perutku sakit dan mulas-mulas mungkin karena gugup akan melihat pengumuman yang telah lama kutunggu-tunggu ini, atau mungkin karena tadi malam terlalu banyak makan pedas, tapi hal itu membuat aku harus duduk dan menunda untuk membuka surat kabar, setelah menenangkan diri dan menata hati perlahan-lahan satu demi satu halaman surat kabar aku buka sampai aku temukan halaman yang memuat pengumuman yang sudah aku tunggu-tunggu itu. Akhirnya, dengan perasaan deg-degan aku membaca tulisan yang kecil-kecil dan hampir tidak terlihat oleh mata telanjang, namun sungguh sangat bahagianya aku karena akhirnya aku menemukan namaku ada dalam barisan nama-nama orang yang diterima sebagai PNS, saat itu juga, aku sujud syukur, kebahagiaan melingkupi seluruh ruangan di rumahku pagi itu, anak dan suamikupun turut berbahagia. Kebahagiaan ini begitu terasa karena memang sudah sangat lama aku nantikan untuk bisa menjadi PNS, lima belas tahun aku menunggu saat ini, lima belas tahun aku mengalami pahit getir sebagai guru tidak tetap, baik tidak tetap statusnya maupun tidak tetap gajinya.
Aku mulai bekerja sebagai guru PNS dan di tempatkan di daerah pinggiran yang sangat jauh letaknya dari tempat tinggalku, tadinya sebagai GB aku mengajar di sekolah yang tidak jauh dari tempat tinggalku, akan tetapi sekarang aku harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk sampai di tempat kerjaku yang baru, tapi aku berusaha mencapai tempat itu dengan tidak banyak mengeluh dan mengeluh. Sekarang aku mencoba menikmati hidup ini apa adanya dan berusaha selalu bersyukur atas semua yang telah aku dapatkan, aku yakin di balik semua yang aku terima pasti ada hikmah, aku kembali berkaca pada pengalaman waktu aku tidak mendapat jawaban atas doa yang telah aku panjatkan, ternyata Tuhan punya rencana lain yang lebih indah dari apa yang kita pikirkan sebelumnya.
Hari-hari berlalu begitu cepat, hal itu karena kesibukanku dan konsentrasiku dalam bekerja, sehingga hari serasa berputar lebih cepat dari sebelumnya. Aku menarik napas lega karena telah mendapatkan apa yang aku inginkan. Yaitu bekerja sesuai latar belakang pendidikan dan keinginan hati yang paling dalam, dengan gaji yang pasti. Meskipun ada sebagian orang berkata bahwa gaji seorang pegawai negeri tidak banyak, tapi aku sudah sangat bersyukur, karena jujur saja hampir sebagian besar bangsa ini ingin menjadi pegawai negeri, termasuk aku.
Aku menyadari sepenuhnya bahwa mental bangsa ini harus dibenahi, bagaimana mungkin semua orang ingin menjadi pegawai negeri, sedangkan kesempatan untuk itu sangat kacil dan sedikit, itulah sebabnya mengapa kadang-kadang mereka yang menginginkan untuk menjadi pegawai negeri melakukan perbuatan menghalalkan segala cara, seperti penyuapan kepada orang-orang yang dianggap dapat meloloskannya menjadi pegawai negeri, alhasil banyak dari mereka yang tertipu puluhan juta rupiah, padahal bila uang yang dipakai untuk hal itu digunakan sebagai modal usaha, maka ia bisa menjadi seorang wiraswasta yang sukses dan penghasilannya bahkan lebih besar daripada seorang pegawai negeri. Aku menyadari hal itu sepenuhnya.
Pada suatu padi Hp-ku berbunyi pertanda ada SMS masuk, setelah aku buka tenyata SMS dari Mas Doni yang berbunyi begini: “salam untuk keluargamu, sekarang saya dipindah tugaskan di kota ini”, ternyata mas Doni memberi kabar kepadaku bahwa dia sekarang bekerja di kota ini sebagai Kepala Cabang suatu bank terkemuka di Negara ini. Aku hanya dapat mengucapkan selamat bertugas dan semoga sukses pada Mas Doni, dan kami berusaha tetap menjalin silaturami dan persaudaraan, kami sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Mas Doni telah menjadi orang yang sukses dengan kedudukan yang mapan, mempunyai istri yang cantik dan anak yang lucu-lucu, aku turut bahagia atas prestasi yang telah diraih oleh mas Doni. Malah tahun lalu Mas Doni dan keluarga telah menunaikan ibadah haji. Aku sebenarnya merasa iri dan ingin seperti Mas Doni dalam meraih cita-cita, tapi aku menyadari sepenuhnya bahwa tiap manusia punya nasib dan takdirnya sendiri-sendiri, derajat manusia telah ditentukan, rejeki yang di terima juga telah di takar dan diatur, kepasrahan semacam inilah yang selalu membuatku ingin membuang jauh-jauh sifat-sifat negaif seperti iri, dengki dan dendam kepada orang lain.
Pagi ini amatlah cerah, langit kota ini tampak biru dan udara berhembus sepoi-sepoi, sangat membuat segar jiwa raga kita, aku sedang asyik membaca surat kabar, dan ketika menemukan satu berita aku terkejut dan hampir tak percaya bahwa dalam berita itu ada foto mas Hari dengan berita yang cukup membuat aku merasa bangga, karena dari berita itu tertulis mas Hari dengan gelar akademis di depan dan di belakang namanya, ternyata Mas hari telah menjadi seorang Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten, sungguh berita ini sangat membanggakan, kalau kemarin Mas Doni, sekarang Mas Hari, mereka adalah mantan kekasihku dulu, mereka semua telah meraih kesuksesan. Dalam kebanggaanku atas kesuksesan yang telah diraih oleh saudara-saudaraku ini, di dalam hatiku aku berkata, akupun tidak mau kalah dengan kalian, aku juga ingin sukses, aku juga ingin maju, aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku perempuan desa putri seorang petani miskin papa juga bisa meraih apa yang aku cita-citakan, aku merasa saat ini aku berada di tengah padang pasir yang luas, dan kemudian di pinggir pantai dengan deburan ombak saling berkejaran, angin sepoi meniupkan aroma wangi dan perlahan menerpa wajahku yang sejuk oleh percikan ombak pantai, serasa damai, serasa nyaman dan berjuta kenikmatan mengalir ke seluruh tubuhku, indah dan damai.
Aku terkejut mendengar riuhnya tepuk tangan di ruang auditorium yang cukup megah ini. Kiranya aku sedang melamun, aku teringat puluhan tahun lalu, aku pernah berada di tempat ini, berjalan dengan bangganya mengenakan kain kebaya dan jubah serta toga warna hitam yang melambangkan bahwa aku telah meraih gelar sarjana, saat itu anakku yang pertama masih berumur empat tahun, ia menunggu di luar gedung bersama ayahnya, menunggu aku selesai diwisuda dan ingin segera pulang untuk makan bersama, merayakan kebahagiaan bersama keluarga, karena sebelum berangkat pagi tadi sudah dijanjikan untuk itu.
Hari ini anakku yang dulu kecil dan menyaksikan ibunya diwisuda, sedang berjalan dengan gagahnya, mengenakan jubah dan toga warna hitam, duduk di barisan terdepan, kemudian melangkah maju untuk menerima pengalungan samir, jabat tangan dari Rektor dan menerima ijasah sarjana, syukur kepada Tuhan anakku yang pertama telah meraih gelar sarjana.
Tak terasa airmataku mengalir menerima kebahagiaan ini. Apa yang menjadi tekadku yakni memberi kesempatan untuk mencari ilmu setinggi-tingginya bagi anak-anakku dengan tidak mengalami kesulitan biaya seperti aku dulu nampaknya telah membuahkan hasil, meskipun aku akui namanya manusia tidak akan ada puasnya, selalu saja merasa kurang, kurang dan kurang, tapi setidaknya aku merasa ada perubahan nasib dan taraf kehidupan yang aku alami dan semua itu seiring dengan taraf pendidikan yang aku tempuh, aku berpendapat semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula derajat kehidupan orang tersebut. Aku ingat nasihat guru agamaku dulu yang mengambil dari petikan ayat Alquran yang bunyinya ”Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu ketingkat lebih tinggi”. Berangkat dari itulah aku bertekad akan menggapai pendidikan setinggi-tingginya selagi aku mampu, bagiku dan bagi anak-anakku, bukankah ada pepatah mengatakan “Carilah ilmu sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat”, ternyata manusia wajib menuntut ilmu sejak masih berada dalam kandungan ibunya sampai manusia tersebut meninggal dunia, dan Tuhan juga telah menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina, artinya sampai di manapun manusia diharuskan dapat menuntut ilmu, yang digambarkan sampai ke negeri Cina, negeri yang amat jauh.
Aku menyaksikan anakku berjalan dengan gagahnya, memakai toga dan jubah kebesaran itu, sambil tak henti-hentinya berdoa semoga anakku dapat meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup baik dunia maupun akhirat. Sementara di luar Rini kekasihnya sudah menunggu dengan setangkai bunga mawar merah di tangannya dan sesungging senyum manis di bibirnya sembari mengulurkan tangan dan mengucapkan selamat kepada anakku yang telah berhasil meraih gelar sarjana. Siang itu udara sangat cerah, kamipun pulang dengan perasaan haru dan bahagia yang tiada terkira menerima anugrah Tuhan kepada keluarga kami.
Semoga Tuhan bisa mengabulkan doa dan cita-citaku yang sangat sederhana, di mana dalam kehidupan ini aku hanya ingin bekerja, mencari rejeki untuk dapat menyekolahkan kedua anakku sampai jenjang yang setinggi-tingginya, dan apabila anakku telah meraih gelar sarjana semua aku berharap mereka dapat menemukan jalan hidup yang baik dan benar, pekerjaan yang baik dengan penghasilan yang baik, yang lebih penting aku ingin melihat mereka bahagia, setelah semua itu tercapai aku hanya ingin naik haji bersama-sama dengan keluarga. Dan setelah semua cita-cita tersebut tercapai aku tak ingin menumpuk-numpuk kekayaan, akan tetapi apabila aku mempunyai rejeki berlebih aku ingin beramal dan beramal membantu sesama manusia yang membutuhkan, karena aku tahu betul betapa sakitnya perasaan sebagai orang miskin yang sering dihina dan ditertawakan, dipandang sebelah mata dan terkadang dipermainkan.
Hari telah menjelang malam ketika aku dan anakku duduk berdua di taman belakang rumah, menceritakan kembali kisah masa laluku kepada anakku, agar anakku dapat mengambil teladan yang beraguna untuk kehiduannya dan membuang jauh-jauh keburukan-keburukan yang pernah aku lakukan. Aku melihat anakku mengusap pipinya menahan haru atas cerita masa kecil dan perjuanganku, ibunya, dalam menggapai apa yang dicita-citakan.
Tak terasa ayam telah berkokok menyambut pagi yang mulai datang, aku mulai merasa mengantuk, padahal esok pagi aku harus bekerja, mengajar murid-muridku yang manis-manis di sana, di lereng gunung merapi yang jauh dari keramaian kota, di tempat Mbah maridjan tinggal dan mengabdi pada perintah dan amanah dari leluhurnya yaitu menjadi juru kunci Gunung Merapi, dan sorenya aku harus berangkat kuliah menyelesaikan pendidikanku, meraih gela S-2, karena bagiku pendidikan adalah segala-galanya, bahkan aku menularkan motto hidupku kepada murid-muridku dan kepada anak-anakku yaitu “Belajar Tiada Henti” dan “jangan Mudah Putus Asa”.
Pagi telah datang, aku berangkat ke sekolah yang letaknya di lereng Gunung Merapi itu agak tergesa-gesa, memang jarak tempat tinggalku ke sekolah boleh dibilang agak jauh, aku berangkat dengan kendaraan bermotor dan sampai di sekolah tidak pernah terlambat, kemudian berdiri di depan pintu gerbang sekolah menanti anak-anak datang untuk berjabat tangan dengan mereka sambil melihat kerapian mereka dalam berpakaian, memang kami membiasakan kebiasaan 3S di sekolah kami yaitu Senyum, Salam, Sapa agar tercipta hubungan yang baik antara guru dengan muridnya, dan antara murid dengan murid yang lain.
Aku memandang kearah Utara di mana Gunung Merapi menjulang tinggi tampak sangat cerah, sehingga puncaknya yang selalu mengepulkan asap terlihat sangat jelas dari tempatku berdiri dan bersalaman dengan murid-muridku.
Hari ini dua tahun yang lalu aku ingat sekali kejadian yang sangat mengerikan terjadi di Yogyakarta, gempa bumi, musibah itu telah menelan korban puluhan ribu jiwa meninggal, puluhan ribu jiwa luka-luka, puluhan ribu jiwa menjadi cacat seumur hidup, dan puluhan ribu jiwa kehilangan tempat tinggal. Peristiwa itu telah menimbulkan trauma bagi sebagian besar warga Yogyakarta, sampai saat ini meskipun sudah dua tahun peristiwa tersebut berlalu dari kehidupan kami.
Saat itu Gunung Merapi sedang dalam keadaan yang cukup berbahaya, diduga akan segera meletus, semua warga yang tinggal di dekat Gunung Merapi sudah diminta untuk mengungsi, padahal sebagian muridku berasal dari daerah dekat Merapi, sementara sebentar lagi mereka akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UNAS), aku sangat kasihan pada mereka menghadapi delema yang sangat berat, mereka harus konsentrasi dalam belajar, akan tetapi mereka tinggal di barak pengungsian yang tentu saja suasananya tidak begitu kondusif untuk belajar.
Beberapa dari mereka ada yang berinisiatif tinggal di rumah Bapak atau Ibu guru yang rumahnya tidak berada dalam zona bahaya Merapi, tetapi masih dapat dijangkau transportasinya sampai ke sekolah, kebetulan aku juga mempunyai vila di daerah dekat sekolahan, beberapa anak meminta untuk tinggal di vilaku demi ketenangannya dalam belajar, mereka adalah Imas, Nuri, Santi, Novi, Lisa, Dewi, Suci dan Dina, aku merasa bahagia dapat menolong mereka dengan sedikit memberi bimbingan dalam belajar meskipun aku sendiri tidak tinggal di vila itu dan paling tidak memberi tumpangan tempat tinggal bagi mereka.
Kadang-kadang ketika kami sedang melaksanakan proses belajar mengajar, harus berlarian keluar kelas karena Merapi mengeluarkan awan panas yang disebut Wedhus Gembel, yang abunya sampai ke lingkungan sekolah kami, juga mengeluarkan suara bergemuruh dan sangat menakutkan, bila malam hari lahar panas yang mengalir di puncak gunung itu menjadi tontonan yang sangat menarik bagi kami meski kami semua diliputi perasaan was-was dan khawatir yang luar biasa, tak bosan-bosan aku selalu membekali murid-muridku agar selalu berdoa dan memohon perlindungan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan agar kami semua dihindarkan dari segala mara bahaya. Terlebih-lebih nasihat ini kami sampaikan kepada murid-murid kelas tiga yang akan menghadapi UNAS.
Malam itu hari Jumat tanggal 26 Mei, sudah agak lama punggungku terasa sakit mungkin karena terlalu lelah, atau karena usiaku yang sudah semakin tua, sudah aku periksakan ke tukang pijit urat tapi belum ada perubahan, sudah aku periksakan ke Puskesmas juga belum sembuh, yang pasti karena punggung yang sakit membuat aku agak malas untuk bangun pagi hari itu, akan tetapi aku ingat bahwa aku harus segera bangun untuk menyiapkan sarapan pagi bagi keluargaku, maka dengan perasaan yang agak malas aku bangun pagi itu Sabtu 27 Mei 2006 bangun, aku berjalan ke arah tangga menuju ke bawah kebetulan kamar tidurku berada di atas, ketika aku sampai di tangga paling atas dan hendak turun ke bawah, aku mendengar suara gemuruh yang luar biasa, dan tiba-tiba aku merasa diombang ambingkan ke kanan dan ke kiri, saat itu aku merasa sedang berada di atas kapal di tengah lautan karena aku sering pulang ke Lampung dengan naik kapal laut, seperti itulah yang aku rasakan.
Setelah beberapa detik aku merasa terombang-ambing di tangga menuju lantai bawah, aku terpaku dan tidak dapat berbuat apa-apa, tak dapat bergerak sama sekali, aku baru sadar bahwa sedang terjadi gempa bumi, kami semua berlarian keluar rumah, aku memanggil-manggil anak-anakku yang masih tertidur untuk segera bergegas keluar rumah. Demokrasi, anakku yang kecil langsung digendong oleh ayahnya, dan nampak agak kebingungan. Kami semua telah berada di luar rumah dan semua mata tertuju kea rah utara, arah di mana Gunung Merapi berada, kami merasa yakin bahwa pagi itu yang terjadi adalah Gunung Merapi Meletus, karena status Merapi memang sedang siaga satu.
Pagi itu listrik padam dan semua sambungan telepon tidak berfungsi, hanya sesekali ada sms bisa terkirim atau masuk, sehingga kami merasa buta akan informasi, ada kejadian apa. Akibat gempa pagi itu banyak genting-genting rumah tetanggaku berjatuhan, bahkan ada yang pagar rumahnya roboh, melihat kejadian itu aku merasa sangat bersyukur bahwa rumahku sama sekali tidak mengalami kerusakan apapun, tapi agak prihatin melihat genting-genting rumah tetangga bejatuhan.
Setelah kami yakin gempa telah berhenti aku masuk ke kamar kecil untuk buang air, baru saja aku berjongkok, tiba-tiba suara gemuruh datang lagi, aku segera keluar kamar kecil dan gagal buang air besar, kamipun kembali berlarian keluar rumah untuk menyelematkan diri. Setelah keadaan agak tenang aku segera masuk kamar mandi dan bermaksud untuk mandi dan segera pergi ke sekolah, menunaikan kewajiban sebagai guru dan PNS, ketika aku sedang mandi aku mendengar suara gaduh, aku merasa sangat terkejut dan secara tidak sadar berlari keluar kamar mandi tanpa mengenakan sehelai kainpun, untunglah aku segera sadar atas semua itu dan segera mengambil handuk untuk menutupi tubuhku, hatiku masih merasa sangat deg-degan dan trauma, karena gempa susulan masih saja terus kami rasakan.
Pagi itu aku berangkat ke sekolah seperti biasanya, meski dengan perasaan yang masih gemetaran. Listrik dan jaringan telepon masih belum berfungsi, sehingga aku tidak dapat mengisi bensin di POM untuk sepeda motorku, untunglah masih ada warung kecil yang buka sehingga aku masih bisa mengisi bensin di situ. Dari pemilik warung kecil itulah aku tahu bahwa gempa yang barusan terjadi pagi ini adalah berasal dari kabupaten Bantul yang katanya pusat gempa berada di laut kidul atau pantai Parang Tritis, pemilik warung juga bercerita bahwa gempa pagi ini menyebabkan dua orang meninggal dan satu rumah roboh, ya Tuhan aku sangat sedih dan prihatin mendengar bahwa gempa telah menyebabkan dua orang meninggal dunia, sepanjang perjalanan selama 45 menit aku senantiasa menangis dan berdoa memohon agar dilindungi dari segala mara bahaya. Sesampainya di sekolah kami masih belum mendengar berita apapun, aku masih mengajar pada jam pertama. Demokrasi, anakku yang kecil walaupun masih trauma juga sudah berangkat ke sekolah. Ayahnya sudah berangkat kerja, di rumahku hanya ada seorang pembantu yang menunggu rumah.
Di tengah-tengah asyiknya aku mengajar di depan siswa-siswa kelas XI IPA dan sesekali membahas masalah gempa yang baru saja terjadi, dari kantor TU terdengar pengumuman agar pelajaran diakhiri dan anak-anak diminta untuk pulang, kami semua berfikir Merapi meletus, dan anak-anakpun pulang ke rumah masing-masing.
Aku masih duduk di kantor guru, mau pulang rasanya masih terlalu pagi, aku bermaksud mampir ke vila menengok siswa-siswa yang tinggal di vilaku itu, menanyakan bagaimana keadaannya, dan bagaimana proses belajar mereka. Akan tetapi aku merasa heran dan sangat terkejut melihat orang berbondong-bondong menuju ke arah Utara, atau ke arah Gunung Merapi, ada yang mengendarai mobil ada yang mengendarai motor, dan ada yang berlari-lari kecil, aku sangat penasaran menyaksikan kejadian itu.
Karena tak kuat menahan rasa penasaran dan rasa ingin tahu, aku berhenti dan bertanya pada orang yang berjalan ke arah Utara mengapa banyak sekali orang yang menuju ke arah Utara atau menuju ke tempat yang lebih tinggi, dari pertanyaan itu aku memperoleh jawaban yang sangat mengejutkan dan merisaukan hatiku saat itu. Ternyata mereka semua mengira ada Stunami setelah gempa terjadi sehingga orang-orang berlarian mencari tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, akupun mengurungkan niat untuk singgah di Vila menengok murid-muridku.
Yang terpikirkan olehku saat itu adalah Demokrasi anakku yang kecil yang masih kelas 3 SD, bagaimana nasibnya bila benar terjadi tsunami?, aku berusaha menelpon rumah tidak bisa, menghubungi suami juga tidak bisa, jaringan telpon belum ada yang berfungsi, sehingga tanpa pikir panjang aku mengendarai motorku menuju ke arah Selatan, jalanan macet karena semua orang menuju arah Utara, sambil menangis aku terus berdoa agar Tuhan melindungi keluargaku terutama Demokrasi, aku sudah siap menanggung resiko apapun yang terjadi, meski aku harus diterjang tsunami, aku rela, yang penting aku bisa menyelamatkan Dede panggilan untuk Demokrasi. Di jalan banyak orang yang menganjurkan aku untuk kembali ke arah Utara, tapi aku tak mau perduli, yang aku perdulikan hanyalah bagaimana caranya menyelamatkan Dede dari terjangan tsunami.
Perjalanan dari sekolah sampai rumahku biasanya dapat kutempuh dalam waktu 45 menit dengan sepeda motor, saat itu sudah satu jam lebih aku berjalan tapi belum juga sampai di rumah, hal itu dikarenakan jalanan sangat macet dengan orang yang akan menyelamatkan diri dari tsunami, seolah-olah saat itu aku berjalan menentang arus lalulintas. Akhirnya aku sampai di rumah dengan susah payah, rumahku dalam keadaan kosong tapi pintunya terbuka, pembantuku pergi entah kemana, orang-orang kampungku juga entah pergi kemana, setelah menyandarkan sepeda motorku aku segera masuk rumah dan naik ke lantai dua, aku sangat bersyukur dan mengucapkan ribuan terimakasih kepada Tuhan karena di lantai dua rumahku aku menemukan kedua anakku dan pembantuku, rupanya mereka tidak ikut orang-orang kampung yang berlarian menuju arah yang lebih tinggi, mereka menganggap lantai dua rumahku sudah cukup tinggi untuk menyelamatkan diri. Aku peluk dan aku ciumi mereka dengan perasaan yang sangat bahagia, karena Tuhan masih melindungi mereka. Rupanya semua orang Yogya saat itu termakan isu bahwa aka nada tsunami yang cukup besar, sehingga semua orang menjadi panik, hal itu wajar menurutku, karena belum lama ini kita semua baru saja menyaksikan pengalaman yang sangat mengerikan yaitu tsunami di Aceh yang menelan korban cukup banyak.
Waktu sudah semakin siang, aliran listrik kadang hidup kadang mati, dan kami akhirnya dapat memperoleh informasi dari media televisi yang menyiarkan bahwa gempa pagi ini telah memporak porandakan wilayah Yogyakarta, lebih-lebih wilayah Kabupaten Bantul, berita mengenai jumlah korban semakin lama semakin bertambah banyak, sebagian rumah warga roboh dan hancur termasuk rumah Kepala Sekolah kami yang kebetulan rumahnya di Bantul dan beberapa rekan serta siswa kami, korban meninggal sudah mencapai ribuan, sungguh merupakan kabar yang sangat mengerikan.
Malam harinya hampir seluruh warga Yogyakarta, tidak ada yang berani tidur di dalam rumah, apalagi Dede anakku, dia benar-benar mengalami trauma yang cukup serius, semenjak hari itu dia jadi sering terdiam dan melamun, tidak mau masuk ke dalam rumah tanpa ditemani oleh ayah atau ibunya, hal seperti itu berlangsung cukup lama. Jangankan anak kecil orang tua sekalipun banyak yang mengalami trauma, misalnya pada suatu hari aku berada di sebuah toko sedang berbelanja, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh, kami semua berhamburan keluar dari toko tersebut, padahal suara gemuruh itu adalah suara kereta api yang lewat.
Sampai berbulan-bulan kami mengalami trauma atas kejadian gempa 27 Mei itu, kami juga sangat prihatin terhadap para korban yang kehilangan orang-orang yang dicintainya, kehilangan tempat tinggal, menjadi cacat seumur hidup, anak-anak banyak yang menjadi yatim piatu dan sangat menderita karenanya, hal itu membangkitkan rasa solidaritas yang sangat tinggi diantara kami, kami berusaha saling membantu antar sesama, apa yang bisa kami lakukan kami lakukan, membantu menyediakan makanan, membantu membersihkan puing-puing rumah yang roboh dan membantu apa saja yang bisa kami bantu, bantuan kemanusiaan datang dari berbagai penjuru daerah baik dalam maupun luar negeri, yang kesemuanya adalah ingin meringankan beban penderitaan para korban gempa, aku sendiri kehilangan Budhe tercinta dalam peristiwa ini, namun Budhe meninggal bukannya tertimpa reruntuhan atau tembok bangunan, akan tetapi meninggal akibat adanya gempa susulan yang terjadi tepat jam duabelas siang, di mana saat itu Budhe sedang tidur siang, karena terkejut adanya gempa yang cukup keras, Budhe berlari keluar rumah, dan setelah siang itu Budhe gemetaran dan tak terasa buang air kecil tak henti-hentinya dan esoknya Budhe meninggal dunia.
Gempa-gempa susulan masih saja terus terjadi, sampai berbulan-bulan lamanya, kami masih terus melaluinya dengan perasaan was-was dan takut kalau-kalau gempa yang lebih besar datang lagi, siapa yang menyangka di mana pemerintah saat itu sedang konsentrasi terhadap bahaya meletusnya Gunung Merapi di Sleman atau Yogya bagian Utara, akan tetapi musibah justru terjadi di Bantul atau Yogya bagian Selatan, itulah takdir Tuhan, manusia boleh meramal dan memprediksi, tapi Tuhan jualah yang menentukan, kita sebagai manusia hendaknya selalu ingat dan dekat kepadaNya, karena Tuhanlah yang mengatur segala-galanya.
Gunung Merapipun akhirnya meletus dan menelan korban yang terjebak di dalam bunker penyelamat di Kaliadem. Obyek wisata Kaliadem yang dulu indah dan asri menjadi porak poranda tertimbun batu-batu yang berukuran raksasa dan pasir yang di muntahkan oleh gunung Merapi.
Dari kejadian itu aku sempat berfikir bahwa Tuhan Maha adil pada umatnya, bayangkan saja, ketika kita sedang khawatir mengenai Merapi di Sleman, yang terkena musibah parah dan berat justru wilayan Bantul, ketika warga Bantul yang kehilangan tempat tinggal akan membangun kembali rumahnya, Gunung Merapi meletus dan memuntahkan jutaan meter kubik pasir dan batu yang dapat digunakan oleh warga Bantul untuk membangun rumahnya, Tuhan telah mengambil tapi juga telah memberi gantinya.
Kejadian demi kejadian telah menyadarkan aku bahwa kita senantiasa harus selalu ingat pada Tuhan, yang telah menciptakan kita dengan berbagai kelebihan dan kekurangan, hanya pada Tuhanlah kita kelak akan kembali, manusia adalah makhluk kecil yang tidak berdaya, untuk apa kita menumpuk-numpuk harta, rumah mewah kalau kita tidak perduli pada sesama, banyak dari mereka yang lebih membutuhkan daripada kita. Kita punya rumah mewah di goyang gempa beberapa menit saja sudah musnah, semua yang kita miliki adalah titipan dariNya, mengapa masih banyak diantara kita yang menyombongkan diri, yang merasa bahwa dialah yang berkuasa, yang merasa bahwa merekalah paling kaya? Mengapa tidak berkaca pada kejadian in?, apakah memang seperti itu sifat manusia?.
Bel tanda masuk kelas telah berbunyi, aku segera menutup pintu gerbang sekolahan dan masuk ke kelas untuk memberikan pelajaran pada murid-muridku, aku akan memberi pelajaran tentang hakekat manusia, bagaimana manusia harus senantiasa bersyukur dan berdoa, karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Semoga Tuhan di atas sana senantiasa memberikan petunjuk dan hidayahnya kepada kita semua agar kita tetap berada di jalanNya, kita patut bersyukur masih dapat menghirup udara segar pagi ini, masih bisa memandang Gunung Merapi yang cantik dan masih bisa membenahi diri ke jalan yang lebih baik, masih bisa belajar dan bekerja.
Aku mengucapkan syukur kepada Tuhan atas limpahan karunia yang telah aku rasakan selama ini sehingga aku mejadi seperti sekarang. DR. Asmara memberi ucapan selamat kepadaku atas tropi yang aku terima malam ini “selamat ya, suaramu bagus sekali lho, jadi tidak salah kalau kamu meraih dua tropi sekaligus”. Sambil tersipu-sipu aku mengucapkan terimakasih menerima ucapan selamat dari dosen UGM, yang sekaligus beliau adalah sahabatku, memang malam itu aku berhasil meraih dua kejuaraan sekaligus dalam acara lomba menyanyi lagu-lagu keroncong dan lagu-lagu campursari yang diadakan oleh sebuah stasiun radio terkemuka di daerahku.
Sejak kecil aku memang senang sekali menyanyi, akan tetapi saat itu aku tidak dapat mengembangkan bakat menyanyiku, karena di desaku saat itu tidak ada sarana yang mendukung untuk dapat mengembangkan bakat apapun yang kumiliki.
Pikiranku menerawang jauh ke masa silam ketika aku masih kanak-kanak, hijauanya alam di desaku menunjukkan bahwa alam di sana masih sangat perawan, tidak ada polusi, tidak ada pencemaran lingkungan dan tidak ada kerusakan seperti sekarang ini, di desa itu puluhan tahun lalu, aku suka sekali mandi di sungai nan jernih, sembari mencari ikan yang dengan mudahnya bisa didapat di sungai itu. Kadang-kadang aku mencari ikan dengan cara memancing dan kadang-kadang dengan cara menyeser, yaitu mencari ikan dengan menggunakan alat yang dibuat dari bambu yang dianyam dan berbentuk bulat dan alat itu disebut erek, aku harus nyebur ke sungai untuk mencari ikan.
Mamak, begitulah aku memanggil ibu yang melahirkan aku, sangat gembira kalau aku mencari ikan di sungai karena aku pasti akan memperoleh ikan banyak, dimana ikan tersebut segera akan dimasak olehnya untuk lauk seluruh keluargaku, Mamak memujiku dengan bangganya “Atik, kamu memang anak yang pintar, tiap kali mencari ikan pasti mendapat banyak, jangan lupa besok sepulang sekolah mencari lagi”. begitu pesan Mamak setiap aku selesai mencari ikan dan menyerahkannya pada Mamak untuk dimasak.
Akan tetapi sekarang sungaiku yang jernih dan ikan-ikan yang bebas hidup di dalamnya sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah sungai dengan air yang sangat kotor dan tidak ada lagi ikan berenang di dalamnya, tidak kulihat lagi anak-anak kecil bermain riang dan belajar berenang disana, aku melihat hampir tidak ada lagi kehidupan di sungai itu, aku sangat sedih, betapa tidak, sudah puluhan tahun aku meninggalkan desa ini rasanya aku rindu sekali untuk memancing dan mandi di sungai itu, namun kerinduan tinggalah kerinduan karena sudah tidak mungkin lagi aku melakukan hal itu, alasannya adalah yang pertama usiaku bukan anak-anak lagi jadi sudah tak pantas aku mandi di sungai layaknya anak kecil, yang bebas mandi di sungai dengan telanjang badan, yang kedua sungaiku yang dulu jernih dan yang banyak ikannya sudah tidak ada lagi.
Dengan perasaan sedih aku meninggalkan pinggiran sungai yang airnya kotor itu, aku berjalan menuju lereng gunung di sebelah selatan sekolahan. Sekolahan itu adalah Sekolah Dasar dimana dulu aku belajar di situ dan menimba ilmu, aku masih ingat pada Pak Suma guru matematikaku, aku juga ingat pada Pak Sa’ad guru IPS yang sangat menyayangi aku. Pak Sa’ad pernah berkata di depan kelas kepada semua anak-anak “ Anak-anak, kalau sekolah itu harus berprestasi seperti Atik ini, meskipun anaknya orang miskin tapi dia selalu juara kelas, itu bisa diraih oleh Atik dengan usaha yang keras yaitu belajar!”. Apa yang disampaikan oleh Pak Sa’ad waktu itu disambut tepuk tangan oleh teman-teman sekelasku, tentu saja hal itu membuat aku bangga dan tersipu malu.
Gedung sekolahku sudah berubah, tidak seperti dulu lagi, banggunannya sudah lebih baik daripada ketika aku masih duduk dibangku sekolah itu. Aku merasa lega bahwa setelah sekian lama aku merantau ke kota, di desa ini sudah banyak kemajuan, listrik sudah masuk desa, rumah-rumah penduduk sudah permanen dan bagus-bagus dan banyak dari mereka yang sudah memiliki kendaraan bermotor bahkan mobil dan hampir setiap rumah sudah memiliki TV berwarna, padahal waktu aku masih tinggal di sini listrik belum ada dan belum ada yang memiliki pesawat TV kecuali Pak Lurah, itupun masih TV hitam putih.
Bila aku ingin menonton TV maka aku harus berjalan berkilo-kilo meter kerumah Pak Lurah dengan membawa obor untuk menerangi jalan, Pak Lurah menggunakan aki untuk bisa menghidupkan televisi hitam putihnya dan ditonton oleh sebagian besar warga desa, acara TV pada saat itu belum terlalu banyak, stasiun TVpun hanya ada satu yaitu TVRI.
Karena listrik belum menjangkau desaku tiap malam aku belajar dengan penerangan lampu senthir yaitu penerangan yang dibuat dari kaleng susu kental manis diberi sumbu dengan seutas kain atau sumbu kompor dan diberi bahan bakar minyak tanah. Setiap selesai belajar hidungku hitam penuh dengan jelaga. Karena menghirup asap lampu senthir itu. Begitulah dulu aku selalu melewati saat belajar bila malam tiba.
Aku masih berdiri disamping gedung sekolah ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki tua menyapaku “ mau mencari siapa mbak?,” aku menoleh dan memandang dengan seksama laki-laki tua yang menyapaku, “ Mbah Jo ya?”, aku bertanya pada lelaki tua tadi, Mbah Jo adalah tukang kebun yang bekerja di sekolah ini sejak sebelum aku sekolah di situ. “Saya Atik Mbah, yang dulu sekolah di sini dan sering menjadi pemimpin upacara hari Senin, Mbah”, aku menjelaskan dengan suara yang agak keras karena Mbah Jo sudah mulai kurang pendengarannya. “ O.. Atik yang pintar itu ya?” Mbah Jo manggut-manggut karena bisa mengingat siapa aku.
Mbah Jo bercerita panjang lebar mengenai sekolah ini, mengenai guru-guru di sini dan mengenai banyak hal tentang desa ini dan aku dengan antusias mendengarkan cerita Mbah Jo.
Aku sangat penasaran melihat gunung yang ada di sebelah selatan sekolah ini, yang dulu sangat indah dan hijau dan membuat udara segar, mengapa sekarang sudah tidak ada?, akupun memberanikan diri bertanya pada Mbah Jo mengenai keberadaan gunung itu, dalam hati aku berfikir mengenai mitos yang dulu sering aku baca, dimana ada seorang raksasa yang sangat sakti dan mampu memindahkan sebuah gunung kemanapun ia mau, apakah mungkin gunung di Selatan desa ini dipindah oleh raksasa?, buktinya gunung di sebelah selatan sekolah sudah tidak ada, tapi akal sehatku mengatakan tidak mungkin mitos seperti itu nyata adanya.
Mbah Jo bercerita bahwa gunung itu telah hilang, pertama-tama pohon-pohon ditebang, setelah gundul maka gunung itu dikeruk tanah dan batunya entah dibawa kemana dan sekarang seperti itulah keadaannya, gunung yang dulu menjulang tinggi dengan pohon-pohon yang rimbun kini tinggal tanah gersang yang rata bak lapangan dan hawanya sangat panas.
Aku heran kenapa orang-orang di desaku merelakan gunung itu dimusnahkan, dikeruk dan dijual entah oleh siapa dan kepada siapa. Mungkin ini proyeknya para pejabat desa ini?, atau pejabat ditingkat atas?, entahlah tidak ada orang yang tahu.
Hari sudah menjelang senja, akupun berpamitan pada Mbah Jo untuk pulang. Bapak dan Mamak sudah menungguku di depan rumah. Setelah mandi dan berpakaian kami bertiga makan bersama, menunya nasi putih, sayur genjer, dan sambal kencur ikan air tawar, nikmat sekali makanan kami senja itu, “syukurlah sekarang kita bisa makan kenyang ya Mak”, aku berkata pada Mamak mengingat dulu saat aku kecil kami sangat kekurangan, untuk makan sehari-hari kami tidak pernah bisa kenyang, dan hanya dengan lauk seadanya, yang sama sekali tidak memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Makan kami sudah dijatah sehari dua kali, pagi dan sore, pagi hari hanya nasi satu centhong dengan sambal, begitu juga sore harinya, apalagi anak Bapak cukup banyak yaitu tujuh orang, aku adalah anak nomor tiga, kakakku dua orang dan adikku empat orang. Tidak jarang kami saling berebut nasi karena masih merasa lapar, untung Bapak punya banyak tanaman pisang sehingga kami biasa makan pisang untuk menambah makan nasi kami agar kami bisa merasa kenyang, alhasil kami jadi merasa bosan dan jenuh dengan pisang karena setiap saat kami hanya makan pisang , bahkan sampai sekarang aku jadi tidak doyan makan pisang.
Senja semakin tenggelam sinar bulan memancar jatuh diatas dedaunan di depan rumahku, aku keluar untuk menikmati romantisme sinar bulan purnama malam itu, aku tak melihat anak-anak kecil bermain di halaman rumah Pak Tarno yang luas, meski tidak seluas dulu waktu aku kecil, sebagian halaman rumah Pak Tarno sudah dibangun rumah mewah oleh putranya.
Lalu dimana anak-anak desa ini bila malam tiba? belajarkah?, mengajikah?, atau tidurkah?, dulu waktu aku kecil setiap selepas magrib kami mengaji, lalu pulang untuk belajar dan bila malam terang bulan seperti saat ini kami bermain petak umpet atau Jethungan bersama teman-teman.
Betapa prihatinnya aku ketika aku tahu anak-anak tidak ada yang keluar untuk bermain petak umpet bukannya belajar di rumah tapi mereka asyik di depan pesawat TV, menonton sinetron-sinetron yang diputar oleh stasiun-stasiun televisi. Hampir semua stasiun televisi sudah dapat ditangkap dan dinikmati di desaku. Anak-anak sudah tidak lagi suka bermain Petak Umpet atau Gobak Sodor, mereka lebih senang menonton TV yang tidak semua acaranya mendidik, padahal permainan petak umpet atau gobak sodor adalah permaianan tradisional Indonesia yang harus kita lestarikan, jagan sampai diklaim oleh negara lain sebagai permainan Negara itu.
Aku terus berjalan malam itu, tiba-tiba aku terkejut melihat beberapa remaja yang sedang nongkrong di depan warung Bu Semi, mereka nampak agak urakan dengan pakaian yang tidak rapi dan wajah yang beringas, tutur katanya tidak sopan dan dari bibirnya keluar asap rokok dan bau alkohol. Ya Tuhan di tempat yang jauh dari keramaian kota ini ternyata pengaruh buruk sudah masuk, miras sudah menjadi sesuatu yang biasa dan sangat mudah didapat. Sungguh sesuatu yang sangat disayangkan.
Malam mulai merangkak, aku segera pulang untuk beristirahat, suasana hening dan sunyi di kamarku, sesekali terdengar nyanyian jangkrik dan katak di sawah, aku serasa kembali ke masa lalu dimana aku menghabiskan masa kecilku di sini, di desa ini sampai akhirnya aku harus pergi meninggalkan desa ini setelah aku lulus SD, aku harus pergi ke kota kecamatan karena harus melanjutkan sekolah kejenjang SLTP dimana sekolah tersebut hanya ada di kota kecamatan, waktu SD nilai EBTANAS MURNI atau NEM-ku tertinggi sehingga aku dapat diterima si SMP pavorit di kota Kecamatan. Jarak dari desaku menuju kota kecamatan berpuluh-puluh kilo meter jauhnya.
Teman-teman sekelasku banyak yang tidak melanjutkan sekolah, tapi ada beberapa yang sekolah di SMP swasta karena tidak diterima di sekolah negeri. Karena itulah aku tinggal di rumah saudaranya Mamak di kota kecamatan, namanya Kang Sampu, jarak dari rumah Kang Sampu sampai ke sekolahku kurang lebih lima kilometer dan kutempuh dengan berjalan kaki.
Di rumah Kang Sampu aku membantu semua pekerjaan rumah dari masak, mencuci pakaian dan mengasuh anaknya, aku menjalani semuanya dengan ikhlas dan dengan senang hati karena aku menumpang tinggal dan menumpang makan di rumah itu.
Setelah kenaikan kelas dan aku naik kekelas dua SMP, Bapak memintaku pulang ke rumah, tidak lagi menumpang di rumah Kang Sampu, aku tidak tahu apa sebabnya yang pasti aku harus menurut apa kemauan orangtuaku saat itu.
Sekarang aku sudah tinggal di rumah lagi setelah setahun aku tinggal di kota kecamatan, di rumah saudaraku, sebagai konsekwensinya aku harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk bisa sampai ke sekolahku, pertama aku harus berjalan kaki dahulu karena transportasi belum sampai ke desaku, lalu harus naik colt sejauh sepuluh kilometer, kemudian turun dan harus berjalan lagi berkilo-kilo meter jauhnya. Kadang kaki ini terasa pegal, dan sudah lelah sampai di sekolahan, kadang aku aku juga harus berhutang uang pada teman untuk ongkos naik colt karena Mamak tidak memberiku uang saku untuk transportasi apalagi untuk jajan, belum pernah sekalipun aku jajan ketika di sekolah, tapi hal itu tidak pernah membuat aku patah semangat dalam belajar, aku bertekad akan terus sekolah, apapun akan kujalani, jalan apapun harus kutempuh asal aku bisa sekolah, saat itu aku belum pernah mendengar ada beasiswa bagi anak-anak yang tidak mampu agar mereka bisa sekolah, seperti Beasiswa Khusus Murid (BKM), atau Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Meski tak pernah aku rasakan kelelahan setiap hari pulang balik kesekolah, tak pernah kurasakan malu meski pakaian seragamku sudah kumal, sepatuku sudah jebol, tas sekolahku sudah rusak, namun tekanan batin rupanya telah mengganggu kesehatan badanku. Suatu ketika sepulang sekolah aku merasa sangat lelah, akupun tidur untuk menghilangkan kelelahan itu, tapi alangkah sedihnya aku dan kedua orangtuaku serta saudara-saudaraku karena semenjak tidur siang itu aku tak bisa bangun lagi, badanku terasa sangat sakit dan lelah, dari ujung kaki sampai ujung kepala tak ada yang bisa aku gerakkan, aku hanya bisa menangis dan mengerang kesakitan, orang-orang kampung berpendapat macam-macam, ada yang bilang aku kesambet atau kemasukan roh halus, ada yang mengatakan kalau aku ini di santet, lumpuh dan banyak lagi omongan-omongan orang kampung mengenai penyakitku.
Orang tuaku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memanggil seorang dukun untuk mengobati penyakitku, tapi penyakitku tidak senbuh-sembuh. Sudah berbulan-bulan aku terbaring lemas tak bisa bergerak meski hanya ibu jari sekalipun, aku sering melihat Mamak menangis melihatku menderita seperti ini. Waktu itu tidak ada sebersitpun dalam pikiran orangtuaku untuk membawaku berobat ke rumah sakit atau puskesmas, selain kami tidak punya biaya, Bapak dan Mamakku juga tidak tahu dan tidak ada kesadaran untuk itu, setiap sore aku hanya dipijit dan di beri minyak gosok.
Sekian lama aku tidak masuk sekolah, tak seorang teman atau seorang gurupun yang datang menjengukku, aku tidak tahu apa sebabnya, entah karena kami orang miskin atau karena rumah kami jauh, tapi aku tidak memikirkan hal itu, aku justru berfikir itu sekarang setelah aku dewasa.
Setelah berbulan- bulan aku menderita sakit yang tidak ada orang tahu apa nama penyakitku itu dan tanpa pengobatan secara medis, akhirnya sedikit demi sedikit kesehatanku membaik, walaupun belum sepenuhnya, aku belum bisa berjalan seperti dulu lagi, seluruh persendianku terasa luluh dan lemah tak mampu menopang tubuh kurusku, akupun menangis membayangkan aku akan kehilangan keceriaan masa remajaku karena aku tidak bisa lagi berjalan menapaki masa depanku, aku tak bisa lagi berlari mengejar cita-citaku, semua seakan musnah dan hilang begitu saja.
Namun Bapak tidak putus asa, dibuatkannya aku tongkat dari kayu kopi yang dapat aku gunakan sebagai penyangga tubuhku untuk aku belajar berjalan. Sedikit demi sedikit aku belajar berjalan sampai akhirnya aku benar-benar bisa berjalan walau kadang-kadang masih merasa sangat lemas dan tak berdaya.
Akhirnya aku kembali masuk sekolah setelah berbulan-bulan tidak masuk, aku ketinggalan pelajaran sangat jauh sampai-sampai nilai mata pelajaran IPA-ku dalam raport merah, aku sangat sedih menerima kenyataan ini, akan tetapi apa boleh buat semua karena keadaan yang memaksa dan di luar jangkauanku.
Aku masih sering merasa lelah dan lemah, namun aku tetap sekolah. Syukurlah saat kenaikan kelas dua aku berhasil naik kelas meskipun ada nilai merahnya, aku sangat bersyukur pada Tuhan atas karunia ini.
Keluargaku tetap dalam kemiskinan dan hidup serba kekurangan, kurang sandang, kurang pangan, dan kurang papan. Rumah kami tidak sehat , dengan dinding bambu, lantai tanah dan banyak atap yang bocor.
Namun demikian aku tetap memiliki semangat untuk belajar dan sekolah padahal kala itu teman-temanku sudah tidak melanjutkan sekolah, mereka bekerja membantu orangtuanya di sawah, dan ada yang langsung menikah. Aku yang meskipun orangtuaku miskin tetap bertekat akan melanjutkan sekolah ke tingkat yang setinggi-tingginya, aku ingin mengubah hidupku, aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku mampu, walaupun banyak orang mencemoohku dan kedua orangtuaku, kami tetap tegar dan tak mau menyerah. Kedua orangtuaku bekerja keras, dan berusaha sekuatnya demi memperoleh beberapa rupiah untuk membayar SPP dan ongkos aku pergi kesekolah.
Begitulah perjuangan yang aku dan orangtuaku lakukan sampai pada suatu hari datanglah kerumahku seseorang dari kota mencari seorang perempuan muda yang mau bekerja di rumahnya dan sebagai bayarannya orang itu akan dibiayai sekolahnya sampai kapanpun dia mau. Pak Hajar, begitulah nama orang kota itu rupanya telah mencari informasi tentang siapa yang mungkin mau bekerja di rumahnya kepada saudaranya yang bekerja sebagai guru di desaku.
Orangtuaku tidak dapat memberi keputusan apakah aku boleh diajak orang kota itu atau tidak tapi semua keputusan dikembalikan kepadaku, kalau aku bersedia dan mau maka orangtuaku akan mengijinkan dan merestui, akan tetapi bila aku keberatan dan menolak maka mereka tidak memaksa.
Sementara itu aku sendiri mendengar Pak Hajar menjanjikan akan membiayai sekolahku sampai kapanpun aku mau, saat itu aku seakan-akan bermimpi, aku membayangakan kehidupan yang cerah ada di depan mataku, aku yakin dengan pendidikan derajat manusia akan terangkat lebih tinggi, tidak ada yang lebih berharga kecuali pendidikan begitu pendapatku saat itu meski usiaku belum genap limabelas tahun.
Hari itu juga aku berkemas, kubawa semua pakaianku yang tidak seberapa banyak, dan yang pasti semua buku-buku pelajaranku, hanya itu yang aku miliki. Aku dibawa oleh Pak Hajar, tidak ada rasa curiga sedikitpun dari keluargaku mengenai Pak Hajar selain karena pemikiran kami yang masih lugu, tidak mau berprasangka buruk kepada orang lain juga karena Pak Hajar punya saudara yang bekerja sebagai guru di desa kami.
Hari itu aku gemetar menapakkan kaki dirumah mewah dan besar itu, ya rumah keluarga Pak hajar , aku yang gadis desa belum banyak pengalaman hanya dapat mengucap syukur dan berharap semoga dengan bekerja di sini kehidupanku menjadi lebih baik.
Hari itu juga aku mulai bekerja di rumah Pak Hajar, setelah diperkenalkan dengan Bu Hajar dan anaknya yang pertama Aulia yang baru berumur lima tahun, aku diajak kekamar dimana seorang bayi kecil yang masih merah sedang tertidur lelap. “ini namanya Adi, tugas kamu menjaganya, memberinya susu bila dia menangis, mengganti popoknya bila ia buang air, memberinya makan bila ia lapar”, begitu Bu Hajar memberi arahan-arahan kepadaku. Aku memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Bu Hajar.
Setelah selesai memberi arahan-arahan Bu Hajar pergi ke kantor, yang di rumah hanya aku, Aulia yang berumur lima tahun dan Adi si bayi kecil. Aku juga disuruhnya memasak apabila Si bayi kecil tidak rewel. Kebetulan sekolahku waktu itu masuk siang, jadi aku bisa berangkat sekolah apabila Bu Hajar sudah pulang dari kantor. Di hari pertama aku bekerja di rumah itu tugasku adalah menjaga kedua putra Bu Hajar dan juga mengurus rumah. Syukurlah aku bisa melaluinya dengan baik meski ada satu dua kendala yang aku alami seperti, menghidupan kompor gas, memasak dengan rice cooker, dan menghidupkan alat-alat rumah tangga yang menggunakan listrik, maklum di desaku alat-alat seperti itu belum ada, untunglah aku adalah orang yang cepat belajar dan mengerti jadi aku bisa mempelajarinya.
Tepat tegah hari Bu Hajar pulang dari kantor, setelah bertanya tentang kondisi rumah hari ini, aku dipersilahkan segera mandi dan berangkat ke sekolah, akupun bergegas mandi dan berpakaian untuk segera berangkat ke sekolah. Begitulah hari-hariku kulalui dengan aneka kegiatan dan pekerjaan layaknya seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT), aku terima itu dengan ikhlas dan sabar, yang penting aku dapat terus melanjutkan sekolahku tanpa harus kesulitan mencari uang untuk membayar SPP, walaupun aku bekerja di rumah itu tidak dibayar sama sekali, tetapi hanya dibayarkan uang sekolahku, setidaknya aku bisa makan kenyang dengan lauk yang bergizi dibanding ketika aku masih di kampung.
Meski demikian Pak Hajar dan Ibu selalu menekankan kepadaku bahwa aku dirumahnya tidak dianggap sebagai PRT, tapi sudah dianggap seperti keluarga sendiri asalkan aku tetap bisa bekerja mengasuh anaknya dan mengurus rumah tangga. Bagiku pernyataan Bapak dan Ibu Hajar cukup membuat aku merasa sepeti di rumah sendiri walaupun pekerjaanku tetap seperti seorang PRT.
Hidup terus berjalan, aku melaluinya dengan selalu optimis dan tak kenal putus asa. Yang paling penting pasrah dan tawakal. Dalam kesibukanku antara bekerja dan sekolah tak kusadari akhirnya aku berhasil menyelesaikan pendidikannku di bangku SLTP, nilaiku boleh dikatakan sangat baik sehingga aku bisa diterima di SLTA paling pavorit di kota itu. Aku mengucap syukur kepa Tuhan karena aku bisa mengenyam pendidikan sampai ketingkat SLTA, padahal teman-teman di desaku banyak yang tidak sekolah bahkan sudah banyak yang menikah, mereka sibuk mengurus rumah dan pergi ke sawah.
Pekerjaanku sebagai PRT tetap banyak dan melelahkan apalagi sekarang Bu Hajar sudah memiliki satu anak lagi karena bulan April lalu seorang bayi perempuan telah lahir dari rahimnya, bayi itu diberinya nama Anggi, maka sejak hari itu kesibukanku mengurus bayi bertambah satu lagi, Aulia anak pertama, Adi anak kedua, Anggi anak ketiga, tiga anak yang kecil-kecil dan manis-manis yang sekarang berada dalam pengawasanku.
Aku tetap dapat menjalankan semua pekerjaan apapun yang ditugaskan kepadaku oleh Bapak dan Ibu Hajar, dan aku selalu mendapat penghargaan dan pujian dari anggota keluarga itu, setiap aku selesai masak dan Keluarga Pak Hajar makan bersama mereka pasti memujiku bahwa masakanku enak sekali.
Sudah hampir tiga tahun aku bekerja di rumah ini, aku merasakan seolah-olah aku telah menjadi keluarga sendiri bagi Pak Hajar dan Ibu, banyak hal-hal penting yang dipercayakan kepadaku termasuk ketika Bu Hajar mulai membuka usaha baru di rumahnya yang besar, dimana harus menerima banyak pegawai, maka akulah orang yang diangkat untuk menjadi ketua bagi mereka, akulah yang mengatur segala sesuatunya bahkan yang memegang keuangan, Bu Hajar percaya kepadaku karena bagiku kejujuran adalah nomor satu, sebenarnya apabila waktu itu aku akan berbuat tidak jujur mengambil sebagian uang perusahaan Bu Hajar bisa saja, karena Bu Hajar tidak pernah mengecek pembukuan sedetail-detailnya, namun demi Tuhan meski orang tuaku di desa miskin dan serba kekurangan aku tidak pernah mau mengambil apa yang bukan hakku.
Detik demi detik berlalu tanpa ada halangan yang berarti, memang kadang-kadang aku merasa sedih terutama ketika aku rindu kepada kedua orang tua dan adik-adik di kampung dan tidak dapat segera bertemu karena kesibukanku, air mata kadang-kadang menetes tanpa terasa, namun kerinduan itu aku bisa atasi dengan duduk di taman belakang memandang bunga-bunga yang bermekaran, memandang ikan-ikan yang riang berenang di kolam atau menyanyi, dan bercanda ria dengan Aulia, Adi dan Anggi.
Tak terasa dalam semua kesibukanku usiakupun bertambah, kini usiaku memasuki angka yang paling berarti yaitu 17 tahun, kata orang masa ini adalah masa yang menunjukan usia remaja dimana kedewasaan mulai harus di sandang, baik kedewasaan secara fisik, secara mental dan cara berfikir, begitupun aku, diusia itu aku mulai merasakan berbagai perubahan, tubuh dan wajahku semakin menampakkan adanya kedewasaan walaupun secara berfikir aku sudah dewasa sejak aku masih duduk di bangku SMP.
Begitulah, aku mulai sering mendengar laki-laki memujiku dengan mengatakan aku cantik, aku manis dan sebagainya dimana semua itu hanya aku anggap sebagai angin lalu yang mewarnai kehidupanku, aku merasa bahwa tugasku saat ini adalah belajar dan bekerja demi cita-cita dan demi masa depanku.
Sampai pada suatu ketika ketika matahari mulai condong ke barat, di depan rumah berdirilah seorang pemuda tampan yang belum pernah aku lihat sebelumnya mengucapkan salam “ Asalamualaikum”, belum sempat aku menjawab salamnya pemuda itu masuk ke dalam rumah sambil memanggil nama Aulia, Adi, dan Anggi. Merekapun berhamburan dan berlari kearah pemuda tadi sambil memanggil “ Om Doni….”, dan mereka saling berpelukan. Aku yang tadi sempat agak bingung melihat adegan itu, cepat tanggap dan mengerti ternyata pemuda itu adalah omnya yaitu adiknya Bu Hajar yang sedang kuliah di kota Yogyakarta dan saat ini pulang kampung karena sedang liburan semester. Anak-anak tanpa aku minta segera memperkenalkan aku pada omnya “ Om kenalin dong ini mbak kita…”, begitu mereka mengenalkan aku pada Om Doni saat itu, kamipun saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri. Kami segera saling bicara saling bercerita tentang kami masing-masing. Tak terasa kami cepat sekali akrap dan seolah sudah lama saling kenal. Om Doni begitu aku memanggil namanya mengikuti keponakan-keponakannya, sejak hari itu kami sering bermain bersama, aku, Om Doni, Aulia, Adi dan Anggi.
Tak terasa liburan Om Doni di rumah sudah hampir habis, minggu depan Om Doni sudah harus kembali lagi ke kota Pelajar dan kota Gudeg, Yogyakarta, untuk kembali masuk kuliah di perguruan tinggi terbesar di Yogyakarta bahkan Asia Tenggara itu, ya memang Om Doni kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Kami semua mengantar kepulangan Om Doni sampai ke pelabuhan laut Bakau Heni Lampung, rasanya agak berat berpisah dengan Om Doni saat itu dimana kami baru saja saling kenal dan saling akrap, tapi apa daya Om Doni harus melanjutkan kuliahnya dan aku juga harus terus bekerja dan sekolah sebagaimana mestinya.
Hari-hari berlalu terasa agak sepi tanpa canda dan tawa dari Om Doni bersama keponakan-keponakan tercintanya, akupun kadang merasa agak kangen akan tawa riang Om Doni yang sering memanggilku dengan panggilan Cinderela, mungkin karena nasibku yang seperti Cinderela membuat Om Doni memanggilku demikianm tapi aku tahu tidak ada maksud darinya untuk menghinaku.
Setelah sampai di Yogya Om Doni sering mengirimiku surat dan ia bercerita tentang banyak hal misalnya : tentang kampusnya yang bagus dan megah, tentang obyek-obyek wisata yang ada di Yogya seperti Kraton dan perayaan Sekaten, kebun binatang Gembira Loka, Candi Prambanan, Malioboro, obyek wisata Kaliurang, Gunung Merapi, pantai Parang Tritis, Samas, Baron, Glagah Indah dan lain-lain. Ia juga bercerita tentang makanan-makanan khas Yogya yaitu Gudeg, Bakpia, Geplak, Jadah Tempe dari Kali Urang, Tiwul dari Gunung Kidul, Growol dari Kulon Progo dan segala hal tentang Yogyakarta. Aku banyak tahu tentang Yogya semua adalah dari Om Doni yang dia ceritakan lewat surat-suratnya yang ia kirimkan kepadaku tiap bulannya.
Pada masa itu belum ada teknologi Hand Phone (HP) seperti sekarang ini dimana orang bisa komunikasi melalui HP dengan mudahnya, kami berkomunikasi lewat surat yang baru akan sampai satu atau dua minggu kemudian, namun kami melaluinya dengan bahagia, lewat surat kami bisa saling berkirim puisi untuk mengungkapkan perasaan masing-masing, bercerita panjang lebar tentang apa saja, saat itu aku benar-benar jadi sangat menyukai apa yang disebut korespondensi atau surat menyurat dan filateli atau mengumpulkan dan mengoleksi perangko. Om Doni selalu mengirimi aku surat dengan perangko yang indah-indah, sehingga aku bisa mengoleksinya.
Tak terasa liburan semester telah tiba dan seperti liburan yang lalu, Om Doni pulang kampung, kamipun bertemu lagi, ada rasa bahagia menyambut kedatangan Doni kali ini, seperti dalam suratnya bulan lalu Doni minta aku memanggilnya cukup Doni saja tidak perlu pakai Om, kecuali memanggilkan untuk keponakan-keponakan kecilnya, memang agak canggung memanggilnya Doni saja, apalagi dia adalah adik dari majikanku, rasanya tidak sopan bila aku memanggil dengan sebutan namanya saja, oleh karena itu aku memanggilnya dengan sebutan Mas Doni.
Kebetulan liburan Mas Doni kali ini berbarengan dengan liburan hari raya Idul Fitri jadi memang agak panjang dan lama. Lebaran kali ini aku mendapat kesempatan libur dan pulang ke desaku, rasanya sangat bahagia setelah sekian lama aku tidak bertemu dengan orangtua dan adik-adikku. Dan yang paling membahagiakan aku adalah karena yang diberi tugas mengantarkan aku pulang ke desaku adalah Mas Doni.
Pagi itu aku masih sholat Idul fitri bersama keluarga Bapak dan Ibu Hajar, setelah bersalam-salaman dan saling maaf memaafkan aku berpamitan pulang ke desaku diantar oleh Mas Doni dengan mengendarai sepeda motor, meliwati bukit dan hutan di kanan kiri jalan, ketika kami sampai diantara bukit yang rimbun dengan pepohonan hijau dan terdapat hamparan sawah nan luas Mas Doni mengajakku berhenti dan istidahat sejenak sembari menikmati paemandangan alam nan elok.
Kami berdua duduk di pinggiran sawah, dari jauh sayup-sayup terdengar kumandang takbir memuja kebesaran Allah di hari yang fitri ini. Mas Doni menatapku dengan tatapan yang sangat menyejukkan dan penuh kedamaian aku merasakan getaran yang aneh ketika Mas Doni tiba-tiba memanggilku lirih, “ Cinderela, aku sangat kagum padamu, pada sifat dan watakmu, juga pada kecantikanmu, oleh karena itu maukah kau menjadi pacarku?”, begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Mas Doni siang itu. Saat itu aku sangat bahagia, ternyata orang yang aku kagumi diam-diam juga mencintaiku. Namun meskipun aku sangat bahagia mendengar Mas Doni mengutarakan cintanya padaku, tidak serta merta aku menjawab ya, aku berkata dengan lirih “ Mas, terimakasih Mas telah memberanikan diri menyampaikan perasaan Mas kepadaku, aku sangat senang dan bahagia Mas, tapi Mas harus ingat siapa aku?, Mas tahu sendiri aku ini PRT Mas, PRT yang bekerja di keluarga Mas Doni demi sekolahku, rasanya aku tak pantas untuk Mas Doni”, demikian jawabanku atas anugrah cinta yang disampaikan oleh Mas Doni. Mas Doni menarik tanganku, menggenggamnya dengan erat sembari berkata “ Cinderela. Aku menyayangimu karena sifat-sifatmu, aku tidak memandang manusia dari derajat dan kekayaannya, jadi percayalah aku akan selalu menyayangimu siapapun dirimu, tak perduli kau PRT atau apa”. Mendengar jawaban Mas Doni yang begitu tulus akupun menangis, aku menangis karena sangat bahagia, kamipun saling menggenggam erat jemari kemudian saling mengucap janji akan saling menyayangi dan saling cinta selamanya, hari itu di hari raya Idul fitri kami juga saling berjanji akan merahasiakan kisah cinta ini sampai kami sama-sama menyelesaikan pendidikan kami masing-masing, karena saat itu aku baru duduk di bangku kelas dua Sekolah Pendidikan Guru , sedangkan Mas Doni masih di semester empat.
Begitulah, kami saling menjaga hubungan jarak jauh ini secara rahasia. Mas Doni sedang menuntut ilmu di Yogya sedangkan aku masih kelas dua SLTA di Lampung. Hubungan ini berjalan lancar dan tidak ada seorangpun yang tahu seperti kesepakatan kami, namun ketika aku sudah menduduki kelas akhir sekolah, ada seorang pemuda benama Yasin teman ayah Mas Doni yang bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA), mendatangiku dan menyampaikan cintanya dan bermaksud mempersuntingku untuk menjadi istrinya, aku jelas menolaknya karena seluruh cintaku telah aku curahkan dan aku simpan untuk Mas Doni, namun aku menolak dengan alasan kalau aku masih sekolah dan tidak mau pacaran dulu, Yasin tidak menyerah begitu saja, dia tetap mengejar dan memohon agar aku mau menerima cintanya dan mau dijadikan istrinya, Yasin akan menungguku sampai aku lulus sekolah, toh aku sekolah pendidikan guru SD jadi setelah lulus aku bisa langsung bekerja menjadi guru, Yasin tidak kehabisan akal, jujur aku katakana Yasin adalah pemuda yang baik, tampan dan sudah bekerja, tapi bagiku sekali janji terucap pantang aku mengingkari, bukankah aku sudah berjanji pada Mas Doni?.
Namun Yasin terus saja datang ke rumah Pak Hajar untuk betemu denganku dan mengharapkan aku mau menerim cintanya, hingga akhirnya aku terpaksa melanggar sumpah yang telah aku ikrarkan bersama Mas Doni untuk tidak mengatakan jalinan cinta kami kepada siapapun. Dengan jujur aku akhirnya mengatakan rahasia ini kepada Yasin, “ maaf aku tidak bisa menerima cinta Mas Yasin, karena aku sudah punya pacar”, demikian kukatakan pada Ma Yasin malam itu. Mas Yasin seolah-olah tak percaya dengan apa yang aku sampaikan saat itu karena dia tidak pernah melihatku berjal;an bersama laki-laki, diapun bertanya siapa pacarku kalau aku memang sudah punya pacar, karena tak tahan dengan desakan-desakan dari Yasin maka akhirnya aku mengatakan bahwa pacarku adalah Mas Doni, putra teman Yasin sendiri, Yasinpun terdiam seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku sampaikan, ada rasa kecewa bergelayut di mata Yasin saat itu, diapun tak pernah lagi mendesakku agar aku menerima cintanya sejak saat itu.
Liburan semester kembali tiba Mas Doni pulang kampung dan aku sangat bahagia bertemu dengan kekasih yang sekian lama tidak berjumpa, kami saling memendam rasa rindu dan tidak memperlihatkannya pada siapapun, aku hanya mnyampaikan kerinduan-kerinduan itu dengan lagu, jadi kadang aku sambil bekerja menyanyikan lagu yang bertema rindu, dan Mas Doni juga akan menjawabnya dengan nyanyian rindu jawaban dari apa yang aku sampaikan.
Percintaanku dengan mas Doni benar-benar bersifat rahasia dan tak ada seorangpun yang tahu kecuali Mas Yasin. Kami, aku dan Mas Doni masih bisa saling menjaga dan tidak berbuat hal-hal yang dilarang oleh agama dan kesusilaan, tak pernah kami menunjukkan adanya kemesraan dan hal-hal yang sejenisnya, selain kami memang menyimpan rahasia hubungan ini kami juga menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.
Tak terasa liburan Mas Doni juga sudah hampir habis, sebelum Mas Doni pulang ke Yogya suatu sore Mas Doni mengajakku berjalan-jalan melihat pemandangan alam pegunungan nan elok, kami berjalan menyusuri sungai bermain air dan mencari ikan, tidak hanya kami berdua tapi juga bersama keponakan-keponakan yaitu Aulia, Adi dan Anggi.
Rasanya bahagia sekali kami menikmati perjalanan ini apalagi bersama orang-orang tercinta, dalam kesempatan ketika anak-anak sedang asyik bermain mas Doni duduk di sampingku dan berkata “Cinderela, kamu masih setia sama aku kan?, jangan pernah berpaling dariku ya, dan jangan pernah kita berpisah, semoga kelak kita akan menjadi suami istri”, aku hanya mengangguk dan mengiyakan, dalam hati aku berkata agar mas Doni percaya padaku dan aku tak akan pernah mengingkari dan meninggalkannya.
Ketika matahari mulai condong ke barat kami telah sampai di rumah, badan terasa lelah namun terbayar kepuasan dan kenikmatan akan pemandangan yang telah kami nikmati sehingga rasa lelah tak kami rasakan. Malamnya saat aku selesai menidurkan anak-anak aku mendengar lamat-lamat seorang lelaki yang sedang bicara pada seseorang, ternyata ayah Mas Doni yang bicara pada Mas Doni, mungkin memberi nasihat pada Mas Doni karena besok akan pulang ke Yogya dari nasihat ayahnya kepada Mas Doni aku mendengar ayahnya berkata agar mas Doni jangan sampai salah dalam mencari teman terlebih-lebih dalam memilih jodoh, harus melihat bobot, bibit, bebetnya, aku yang juga tak sengaja mendengarnya tidak begitu memperdulikan hal itu, aku berfikir bahwa hal itu wajar dilakukan orang tua kepada anaknya yang akan pergi jauh. Setelah sholat Isya aku segera masuk kamar dan beristirahat, besok aku harus bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan pekerjaan dan harus sekolah.
Mas Doni telah berangkat pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya ia tidak berpamitan padaku, mungkin karena terburu-buru, begitu aku berpikir tanpa ada prasangka buruk sedikitpun kepada Mas Doni. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan akupun berangkat ke sekolah. Di sekolah perasaanku mulai gelisah, sepi dan sedih bila mengingat kalau siang nanti sepulang sekolah tidak lagi bertemu dengan Mas Doni, tidak ada lagi wajah tampan yang menyejukkan hatiku, tidak ada lagi Mas Doni yang aku sayangi.
Bel tanda selesai pelajaran berbunyi aku segera pulang ke rumah, jarak rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh, jadi aku tempuh dengan jalan kaki. Setelah berganti pakaian, makan dan menyelesaikan semua pekerjaan aku bermaksud istirahat sejenak sebelum melalukan aktifitas dan mengurus semua pekerjaan.
Ketika kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur, di bawah bantal aku menemukan sepujuk surat dengan sampul merah jambu, betapa senangnya aku karena ternyata surat itu dari Mas Doni, pantas tadi pagi tidak berpamitan padaku, ternyata pamitnya lewat surat, begitu pikirku saat itu. Tak sabar aku membuka surat itu ku baca isinya kata demi kata, tak ada yang aku lewatkan satu hurufpun, aku tak percaya dengan apa yang aku baca, aku mengulanginya sekali lagi, saat itu tubuhku terasa sangat ringan dan seolah melayang, separuh nyawaku entah kemana, gemetar tanganku memegang surat itu, persendianku terasa lepas sehingga aku terduduk diam, untunglah aku segera mengontrol perasaan dan emosiku sehingga tubuhku yang tadinya ringan kembali memperoleh bobot dan nyawa, aku kembali bisa berdiri, sambil mengusap air mata yang berlinang . Aku tak menyangka Mas Doni yang kemarin baru saja menyakinkan aku bahwa cintanya padaku tulus dan berjanji akan selalu setia, ternyata tega melakukan semua ini padaku, dengan kata-kata dalam suratnya “ Cinderela…, mungkin kita tidak berjodoh, dan mulai sekarang kita hanya teman biasa”. Begitulah kata terakhir yang ditulis Mas Doni dalam suratnya untukku tanpa alasan apapun, tanpa sebab apapun.
Waktu terus berjalan meski aku dalam kesedihan dan aku simpan sendiri semua perasaan sedih ini, aku tetap berusaha menanyakan alasan apa yang membuat ia melakukan semua ini padaku, namun surat-surat yang aku kirimkan tak pernah dibalasnya, Mas Doni seperti hilang ditelan bumi, pergi entah kemana. Aku tak mau terus larut dalam kesedihan, aku berusaha tegar dan tabah menghadapi semua ini, dan mengambil hikmah atas apa yang menimpaku, aku menjalani kehidupan ini dengan terus berjuang dan bekerja, apalagi tidak lama lagi aku akan menghadapi ujian akhir SLTA, aku harus belajar dengan giat agar bisa lulus dengan nilai yang bagus, aku tak mau karena gagal bercinta gagal pula dalam pendidikan.
Siang sepulang sekolah setelah selesai mengerjakan tugas-tugas rumah aku belajar, begitu juga malam hari setelah selesai menidurkan anak-anak yang aku asuh aku kembali belajar, tengah malam aku selalu bangun untuk melakukan sholat tahajud dan kemudian belajar sampai datang waktu Subuh. Setelah menunaikan sholat subuh aku mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kemudian berangkat ke sekolah.
Berkat perjuangan yang tidak kenal lelah akhirnya aku berhasil menyelesaikan bangku SLTA dengan nilai yang tidak mengecewakan, aku meraih hasil terbaik di sekolah. Aku sangat bersyukur dan bangga dengan prestasi yang aku raih ini, Bapak dan Ibu Hajar juga sangat bahagia mendengar berita ini, begitu juga kedua orang tuaku di kampung. Aku menyadari sepenuhnya bahwa cukup sampai disini kesempatanku mengenyam bangku sekolah, setelah ini aku harus bekerja menjadi guru SD sesuai pendidikanku yaitu SPG jurusan SD, aku menyadari kalau keluarga Hajar tidak mungkin lagi membiayaiku sampai aku lulus kuliah, walaupun dulu ketika memintaku untuk bekerja di rumahnya beliau mengatakan sanggup membiayai aku sekolah sampai ke jenjang setinggi-tingginya. Aku sadar sebagai manusia telah memperoleh kesempatan dan dibiayai sekolah sampai lulus SLTA pun sudah sesuatu yang luar biasa.
Namun ternyata sesuatu yang meresahkan dan merisaukan menimpa kehidupanku, yang kemudian memaksaku harus segera pergi dari lingkungan itu, peristiwa luar biasa itu adalah bahwa aku dicintai oleh seorang lelaki yang telah beristri, orang itu adalah orang yang sangat aku hormati dan aku hargai, aku kenal baik dengan orang itu termasuk istrinya. Setiap saat setiap waktu lelaki itu selalu mengikutiku, merayuku dan setengah memaksaku untuk menerima cintanya. Akau tidak tahu dengan tujuan apa lelaki itu mendekatiku, untuk dijadikan istri tentu tidak, karena dia sudah beristri, aku yakin aku hanya akan dipermainkan, dijadikan sebagai pemuas nafsunya, dan semua itu membuat aku serba salah. Setiap malam aku menangis memohon kepada Allah agar dijauhkan dari godaan ini, namun Allah seolah tak mendengar doaku, lelaki itu terus saja mengejar dan merayuku, sampai suatu ketika aku menerima surat dari kakak perempuanku yang sudah menikah dan tinggal di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta, surat dari kakakku itulah yang aku jadikan sebagai alasan untuk pergi dari tempat itu.
Suatu hari aku memberanikan diri berpamitan pada Bapak dan Ibu Hajar untuk pergi ke Pulau Jawa, kerumah kakak dan aku akan melanjutkan kuliah di sana. Mendengar itu Bapak dan Ibu Hajar sangat terkejut dan melarang aku pergi dari rumahnya, memang Bapak dan Ibu Hajar dulu pernah berjanji akan menyekolahkan aku sampau ke jenjang yang setinggi-tingginya, namun untuk saat ini beliau menyatakan tidak sanggup dengan alasan biaya kuliah sangat mahal dan mereka masih mempunyai tanggungan yang cukup banyak. Aku maklum akan hal ini, tapi aku bertekat harus segera keluar dri lingkungan ini demi untuk menghindari diri dari rayuan dan godaan lelaki yang telah beristri, maka satu-satunya alasan adalah aku akan pergi merantau ke pulau Jawa untuk melanjutkan kuliah. Karena aku bersikeras akan tetap pergi walaupun Bapak dan Ibu Hajar melarang, akhirnya dengan berat hati mereka mengijinkan juga aku pergi meski aku sempat mendapat kata-kata kasar yang keluar dari mulut Bu Hajar, ”kamu tidak akan pernah berhasil Tik apabila kamu ingin kuliah, karena kamu anak orang miskin, tidak mungkin orang miskin bisa menguliahkan anaknya, kamu bisa lulus SLTA juga karena kamu ikut kami”, begitu kata-kata yang keluar dari mulut orang yang aku hormati dan hargai selama ini, yang enam tahun lebih aku mengabdi padanya tanpa bayaran sepeserpun, yang aku cintai seperti aku mencintai orang tuaku sendiri, aku tidak menyangka kata-kata itu terlontar di hadapanku dan Bapak kandungku saat kami berpamitan. Kenapa bukan doa yang ia berikan untuk melepaskan kepergianku saat itu?. Aku hanya tertunduk dan tak berani menatap wajah Bu Hajar saat itu, aku hanya berfikir bahwa aku adalah orang yang tidak tahu berterima kasih, karena sudah di sekolahkan sampai lulus SLTA tapi begitu lulus aku pergi dari rumah itu. Tapi mau bagaimana lagi aku terpaksa, aku harus pergi karena bila aku tidak pergi kemungkinan aku akan terjerumus dalam rayuan lelaki beristri, besar kemungkinan akan terjadi, begitu saja yang aku pikirkan saat itu.
Mula-mula niatku keluar dari rumah itu hanya untuk menghindari rayuan lelaki beristri, namun setelah mendengar kata-kata yang sangat menyakitkan aku memutuskan meralat niat pergi ke Jawa untuk melanjutkan kuliah, aku akan menunjukan pada keluarga Bapak dan Ibu Hajar bahwa aku mampu meraih impian meski aku hanyalah anak seorang petani miskin. Secara tidak aku sadari jauh di lubuk hatiku ada dendam yang membara pertama Mas Doni meninggalkanku tanpa pesan, itu pasti karena status dan kedudukanku yang hanya seorang PRT, kedua kata-kata yang menusuk dari Bu Hajar yang seolah aku tidak bisa meraih apapun karena aku anak orang miskin. Aku harus bangkit aku harus tunjukan pada dunia bahwa aku mampu.
Berbekal sedikit tabungan yang aku kumpulkan dari uang beasiswa Bakat Prestasi yang aku terima di bangku sekolah dan sejumlah uang hadiah lomba karya ilmiah tentang lingkungan hidup tingkat Propinsi Lampung. Memang waktu itu aku menjadi juara ke-2 lomba karya ilmiah remaja tingkat propinsi, dalam lomba itu aku mengangkat tema tentang perusakan hutan yang banyak terjadi di daerah itu, ide ini aku dapatkan ketika aku pergi rekreasi bersama keluarga Hajar, di mana sepanjang perjalanan aku melihat banyak hutan yang gundul, pohon-pohon ditebang, dan hutan dibakar, syukur karya tulis saya meraih juara dan sebagai hadiah aku mendapat Tabanas (Tabungan Pembangunan Nasional). Aku juga pernah meraih juara I lomba baca puisi karya Khairil Anwar. Semua uang hasil lomba dan uang beasiswa bakat prestasi aku tabung dan syukur bisa digunakan untuk ongkos pergi ke Yogya dan hidup di sana, di pulau Jawa.
“Selamat tinggal Sumatra, selamat tinggal Lampung, tunggu aku lima tahun lagi ya, aku akan membuktikan kalau aku bisa”, begitulah caraku berpamitan pada daerahku, tempat di mana aku dilahirkan dan menjalani masa kecil sampai remaja, tempat yang menempaku untuk mempunyai semangat baja, berjuang melawan kemiskinan dan ketertinggalan.
Dalam pejalanan dari Lampung ke Yogya dengan bus ekonomi yang panas dan berdesak-desakkan, aku banyak mendapat simpati dari penumpang lain, ada yang mengajakku makan gratis dan ada yang membelikan aku oleh-oleh, aku sangat bersyukur dan berterimakasih kepada orang-orang yang telah banyak membantuku, aku tidak tahu mengapa banyak orang yang bersikap begitu kepadaku, barangkali karena wajahku yang memelas dan melankolis ditambah beban batin yang sedang aku rasakan akibat kata-kata dari Bu Hajar, entahlah.
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh lima jam, sampailah aku di rumah kakakku di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. Keadaan kakakku ternyata juga masih sangat memprihatinkan, ekonomi serba pas-pasan dengan tiga orang anaknya, dan tinggal di desa yang jauh dari sarana transportasi. Dalam hati aku berfikir tidak mungkin kakak bisa membantu membiayai kuliahku, karena untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sendiri saja masih sangat kekurangan.
Pertama tiba di pulau Jawa bagiku bukanlah hal yang mudah, tubuhku sulit beradaptasi dengan lingkungan alam di sini, sehingga aku mengalami alergi di sekujur tubuhku selama berbulan-bulan, aku juga mengalami beban kerinduan yang teramat sangat pada anak-anak Pak Hajar yang selama ini sangat dekat denganku dan sangat aku cintai. Setiap malam aku menangis, setiap malam aku mengalami sulit tidur, semua ini terjadi karena aku sangat rindu kepada Aulia, Adi dan Anggi.
Aku tiba di Yogya kala itu, ternyata waktu penerimaan mahasiswa baru untuk perguruan tinggi negeri yang dulu namanya Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sudah berakhir, jadi aku tidak bisa ikut mendaftar.
Aku mulai mencari-cari informasi mengenai perguruan tinggi yang mungkin dapat aku masuki yang sesuai dengan latar belakang pendidikanku di SLTA, namun karena aku baru saja tiba di Jawa ini, tepatnya di kabupaten Kulon Progo sehingga aku belum banyak mengenal medan, belum tahu di mana tempat yang bisa aku datangi, aku hanya mencari informasi disekitar tempat tinggal kakak, dan akhirnya aku menemukan sebuah perguruan tinggi swasta yaitu IKIP PGRI di kota kabupaten itu. Akupun mendaftarakan diri dan diterima.
Waktu untuk kuliah masih agak lama, dalam kebimbangan aku terus berfikir, meskipun aku sudah mendaftar kuliah dan sudah membayar uang kuliah dengan sisa tabunganku, aku ragu, apakah aku bisa meneruskan kuliah ini atau tidak, uang tabunganku mungkin hanya bisa untuk membayar kuliah beberapa semester saja, lalu untuk semester-semester berikutnya bagaimana?. Aku benar-benar merasakan kebingungan yang teramat sangat, tidak ada orang yang dapat aku jadikan tempat untuk berbagi dan mencurahkan segala perasaan ini kecuali Allah. Dalam kebingungan ini aku mendengar pengumuman dari radio yang menyiarkan bahwa dicari Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang akan di tempatkan di Arab Saudi. Aku segera mengurus surat-surat dan segala persyaratan yang di perlukan . Aku heran saat aku mengurus surat-surat dan persyaratan yang di butuhkan, hampir setiap orang menyayangkan mengapa aku harus bekerja jauh-jauh. Saat aku di rumah sakit dan mengurus surat keterangan berbadan sehat dr. M. Harsono yang memeriksaku mengatakan dan bertanya kepadaku “kenapa harus kerja jauh-jauh, lebih baik kamu ikut saya saja kerja sebagai perawat membantu saya, saya yakin pasien saya akan cepat sembuh dengan melihat senyumanmu”, beliau juga memberi nasihat-nasihat kepadaku. Aku mengucapkan terima lasih atas semua nasihatnya, tapi aku yakin tawarannya untuk menjadi perawat adalah hal yang mustahil, karena pendidikanku adalah Sekolah Pendidikan Guru bukan sekolah perawat, jadi aku tidak seberapa serius menanggapi tawaran itu, ketika pemeriksaan telah selesai dan aku hendak pulang dokter itu memberiku beberapa lembar uang, katanya agar dapat aku gunakan sebagai bekal untuk pergi ke Arab.
Esoknya aku pergi ke kantor polisi untuk mengurus Surat Keterangan Kepolisian, dulu namanya Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB), di sana aku bertemu dengan seorang polisi yang beperawakan tinggi besar dan berkulit hitam legam yang dengan sabar melayaniku, sambil mengurus surat-suratku dia bertanya kepadaku mengapa aku harus pergi jauh-jauh ke Arab untuk mencari pekerjaan, kenapa tidak di Yogya saja, tidak jauh-jauh dan tetap bisa kuliah, aku mengatakan bahwa rasanya aku agak mengalami kesukitan keuangan untuk bisa melanjutkan kuliah, lalu tidak kusangka dan tidak kuduga polisi yang namanya aku sudah lupa ini menawari aku, agar aku mau dijadikan simpanannya, aku akan diberi fasilitas rumah dan akan di biayai kuliah sampai selesai. Demi Tuhan aku menolak mentah-mentah tawaran gila itu.
Setelah surat-surat selesai aku urus aku segera mendaftarkan diri di kantor tenaga kerja (DEPNAKER), setelah itu aku diminta untuk menunggu panggilan satu atau dua bulan. Sambil menunggu panggilan dari Depnaker aku pergi ke kampus di mana aku telah diterima untuk melihat jadwal kuliah, aku pergi ke kampus dengan mengendarai sepeda onthel, capek dan lelah memang, tapi hanya itu alternatif yang dapat aku ambil, karena belum ada angkutan sampai ke tempat tinggal Kakak.
Pada suatu hari aku pergi ke kampus untuk mengurus beberapa keperluan, tak sengaja aku berkenalan dengan kakak senior di kampus itu namanya Hari. Sejak perkenalan hari itu Hari sering main ke rumahku, hubungan kami semakin akrab Mas Hari orangnya baik, pengertian dan suka menolong. Aku bercerita bahwa walaupun aku mendaftar kuliah di sini, tapi sepertinya aku tidak jadi masuk kuliah karena saat ini aku sedang menunggu pangilan kerja ke Arab Saudi dari Depnaker. Mas Hari sangat menyayangkan keputusanku untuk kerja di Arab tersebut. Namun keputusanku sudah bulat, aku sudah bertekad akan tetap bekerja di Arab.
Mas Hari semakin sering datang ke rumahku, bahkan sudah melamarku kepada kakakku, dan akan menjadikan aku sebagai istrinya. Aku tahu Mas Hari sangat serius, selain dia sudah duduk di semerter akhir, dia juga sudah bekerja sebagai PNS yaitu sebagai Kepala Taman Kanak-kanak, secara ekonomi dia sudah mapan.
Mas Hari melarangku bekerja jadi TKW di Arab, dia mengatakan akan mengajakku pergi ke Arab bukan sebagai TKW, tetapi sebagai jamaah haji. Meskipun aku senang mendengar ajakannya, aku tetap bersikeras akan tetap berangkat ke Arab sebagai TKW. Akan tetapi, pada suatu sore mas Hari datang ke rumahku, sekali lagi dia melarang aku pergi ke Arab kali ini dia bercerita bahwa saudaranya ada yang pernah kerja ke Arab sebagai TKW, tetapi bukannya penghasilan yang didapatkan melainkan dia pulang dengan membawa anak yang tidak jelas siapa ayahnya. Mendengar cerita Mas Hari seperti itu, tiba-tiba dari dalam lubuk hatiku timbul keraguan untuk terus melanjutkan niatku bekerja di Arab, karena sebenarnya jauh di dasar hatiku aku ingin kuliah.
Mas Hari menyakinkanku bahwa aku pasti bisa meraih apa yang aku ingginkan yaitu melanjutkan kuliah. Akhirnya aku takut juga kalau aku tetap pergi ke Arab, jangan-jangan aku juga mengalami nasib yang sama seperti saudaranya Mas Hari. Akupun segera mengajukan surat pengunduran diri dan mengurungkan niat untuk bekerja di Arab ke Depnaker dimana aku telah terdaftar sebagai calon TKW.
Setelah selesai segala urusan pengunduran diriku untuk jadi TKW, aku mulai masuk kuliah, di jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan atau BK.
Hubunganku dengan Mas Hari semakin dekat, Mas Hari selalu membantu segala kesulitan-kesulitanku, termasuk mengantarkan aku pergi kemanapun. Bagiku Mas Hari adalah dewa penolong yang hadir dalam setiap kesulitan-kesulitanku. Kami sudah sepakat untuk saling membantu dalam suka dan duka. Dengan demikian sedikit demi sedikit aku bisa melupakan Mas Doni yang telah meninggalkan aku tanpa alasan, meskipun jujur saja jauh di lubuk hatiku aku tidak dapat melupakan Mas Doni.
Seiring berjalannya waktu, pemahamanku akan kota Yogya semakin bertambah pula, aku mulai mengerti tempat-tempat yang ada di Yogya ini. Sering aku pergi berjalan-jalan ke obyek-obyek wisata yang ada di kota ini bersama Mas Hari, walaupun aku sudah tahu informasi tentang Yogya dari Mas Doni. Tatkala berada di tempat-tempat yang indah di kota Yogya ini aku jadi semakin rindu pada Mas Doni, bukankah sekarang aku sudah berada di Yogya?, aku juga tahu alamat kost Mas Doni di Yogya ini, karena kami dulu sering saling berkirim-kirim surat, Mas Doni kost di jalan Surya Pranoto, sebenarnya bila aku mau mencari alamat Mas Doni pasti aku dapat menemukannya, tapi semua ini tak pernah kulakukan, karena biar bagaimanapun Mas Doni sudah berlalu dari kehidupanku.
Ujian semester pertamaku sudah berlangsung, berkat usaha keras yang aku lakukan syukurlah aku mendapat nilai yang bagus, Indeks Prestasiku 3,5, suatu nilai yang begitu besar dan cukup membanggakan pada saat itu.
Karena jarak antara rumah Kakak sampai ke kampus cukup jauh dan hanya aku tempuh dengan naik sepeda onthel, lama-lama aku merasakan kelelahan, belum lagi kalau ada kegiatan sore. Untuk itulah aku mulai mencari-cari informasi barangkali ada tempat tinggal atau tempat kost yang bisa aku tinggali, doa seakan terjawab, di depan kampus ada satu rumah dan secara kebetulan pemilik rumah itu namanya persis seperti namaku “Sunarti”, dan mempunyai anak yang namanya persis dengan nama panggilanku “Atik”, entah ini merupakan suatu kebetulan atau sesuatu takdir bagiku, yang pasti aku diminta tinggal di rumah itu tanpa harus membayar, akan tetapi aku harus membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah itu seperti, mencuci, memasak, dan mengasuh tiga orang anaknya yaitu Atik dan adiknya yang kembar Tuti dan Titi. Aku senang tinggal di situ karena aku tak perlu lagi bersepeda jauh-jauh untuk berangkat kuliah, dan yang paling penting adalah aku tinggal di rumah itu tanpa harus membayar.
Tak terasa ujian semester dua telah selesai dan IP-ku tetap masih di angka 3,5 aku sering menjadi tempat bertanya bagi teman-temanku yang kurang paham akan pelajaran yang disampaikan oleh dosen, aku senang dapat membantu teman-teman.
Atas usul dari Mas Hari, dalam liburan semester ini aku mendaftar ikut ujian masuk perguruan tinggi negri atau Sipenmaru karena ketika aku baru tiba di Yogya ini aku belum sempat ikut mendaftar Sipenmaru tersebut. Aku memilih mendaftar di IKIP Yogyakarta mengambil jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, jurusan yang sama seperti yang setahun ini aku tempuh di PT swasta. Syukur kepada Tuhan aku diterima, akupun masuk dan mengulang kuliah dari semester satu. Tapi aku tidak menyesal meski aku harus kehilangan waktu setahun, karena aku yakin akan mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu dari sebelumnya.
Akupun meninggalkan kota kabupaten dan pindah di kota propinsi untuk menempuh pendidikan di tempat yang lebih maju, untuk itu aku harus kost, biaya kost di kota pelajar waktu itu bagiku terlalu mahal, persediaan uang dalam tabunganku semakin menipis, oleh karena itu untuk menghemat uang aku terpaksa berangkat ke kampus dengan berjalan kaki meski jarak antara tempat kostku dengan kampus agak jauh. Aku setiap hari juga puasa sunah karena memang tidak ada yang dimakan, saat itu aku benar-banar merasa hidup sendiri jauh dari orang tua, saudara dan jauh dari Mas Hari orang yang selama ini selalu membantuku dalam suka maupun duka, entah mengapa semenjak aku kuliah di Yogya hubunganku dengan Mas Hari agak merenggang, padahal dulu Mas Harilah yang mendorong aku untuk mendaftar dan kuliah di kampus yang lebih baik. Meskipun dalam kesulitan dan dalanm kesendirian aku berhasil menempuh kuliah semester satu dan dua dengan lancar, akan tetapi prestasi yang aku capai tidak seperti yang aku harapkan, IP-ku tidak terlalu baik bahkan ada mata kuliah yang tidak lulus aku heran, mengapa hal ini bisa terjadi?, Padahal semua mata kuliah tersebut dulu sudah pernah aku tempuh waktu aku masih kuliah di PT swasta, apa memang kuliah di PT yang baik nilainya mahal? Atau memang aku yang bodoh, atau karena aku banyak mengalami masalah?, entahlah aku benar-benar kecewa dengan prestasi yang aku capai kali ini.
Mulai memasuki semester ke tiga aku benar-benar telah kehabisan uang, tabunganku sama sekali tak bersisa, orang tua di kampung tak pernah mengirimi uang. Kakak, perekonomiannya juga morat marit, Mas Hari entah sekaramg masih ingat padaku atau tidak, aku bahkan tak pernah bertemu, padahal dulu kami sudah saling berjanji setia sampai akhir jaman, nyatanya sekarang aku sendiri dalam kesulitan dan Mas Hari tidak ada.
Waktu pembayaran SPP sudah hampir habis, tapi aku belum mempunyai uang untuk membayar. SPP-ku saat itu Rp.90.000,00 (Sembilan puluh ribu rupiah) per semester, bagiku jumlah yang cukup besar waktu itu, aku kesana kemari mencoba mencari pinjaman tapi tidak mendapatkannya.
Tiba-tiba aku ingat waktu aku akan bekerja ke Arab dan mencari surat keterangan sehat dr. M. Harsono waktu itu pernah berpesan bahwa kalau aku butuh bantuan aku boleh menghubunginya, akupun bergegas menuju rumah sakit tempat dokter itu praktek, namun sunguh kecewanya aku karena ternyata dokter itu sudah pindah tugas dan tidak tahu pindah ke mana, lemas seluruh persendianku, musnah sudah harapan untuk mendapatkan pinjaman uang guna membayar uang kuliah. Aku berfikir dan bertanya-tanya siapa lagi yang bisa aku mintai tolong untuk meminjami aku uang Rp.90,000,00 untukku?, aku kemudian iangat saat aku mencari suarat keterangan kelakuan baik dari kepolisiaan ada polisi yang berkata akan menjadikan aku istri simpanan, aku hanya berfikir barangkali orang itu bisa memberi aku pinjaman uang, aku pergi menuju kantor polisi tempat dulu aku bertemu dengannya, tapi entah karena memang nasibku yang sedang sial atau Tuhan sedang menyelamatkan aku, aku tidak bisa menemukan kantor polisi tersebut padahal aku sudah berjalan berputar-putar melalui jalan yang dulu aku tempuh waktu mengurus SKKB, dan sebelumnya aku sudah hafal jalannya, tapi sampai aku leleh berjalan aku tetap tidak berhasil menemukan letak kantor polisi tersebut, akupun pulang dengan tangan hampa.
Dalam keputusasaanku belum memperoleh uang untuk membayar uang kuliah, aku bertemu Chairul Anwar, sahabatku waktu aku kuliah di swasta dulu, akupun menceritakan segala kesulitan yang sedang aku hadapi saat itu, Anwar meneteskan air mata, empati terhadap nasib malangku, lalu aku di ajak kerumahnya di Magelang menghadap orangtuanya dan memohon bantuan dari orang tuanya, akan tetapi orang tuanya juga tidak bisa memberi pertolongan dengan meminjami aku uang, namun syukurlah aku dipinjami seuntai kalung emas yang di pakainya untuk aku jual agar uangnya bisa dipakai untuk membayar kuliah.
Rasa haru dan ucapan terimakasih yang tak terhingga aku ucapkan sembari menciumi tangan ibunya Chairul Anwar yang baik dan sudi menolongku, meski baru pertama kali aku bertemu dengannya.
Tanpa pikir panjang aku segera pulang. Sesampainya di rumah aku bergegas pergi ke toko emas untuk menjual kalung pinjaman dari ibunya Anwar, setelah kalung kujual aku segera pergi ke kampus untuk membayar uang kuliah, akan tetapi ternyata nasib malangku tetap belum mau pergi dari kehidupanku, karena waktu pembayaran sudah berakhir. Aku berusaha menghadap ketua atau pegawai yang mengurusi registrasi agar bisa membayar dengan alasan, uang yang aku pergunakan untuk membayar, baru saja aku dapatkan. Aku disarankan untuk menemui Pembantu Rektor (PR) III, untuk meminta dispensasi agar dapat membayar dan bisa kuliah di semester berikutnya, setelah menembus birokrasi yang berbelit-belit, akhirnya aku dapat bertemu dengan PR III, akan tetapi sungguh kecewanya aku manakala PR III tidak dapat membantu apapun agar aku bisa membayar SPP, aku hanya disarankan agar mengajukan ijin selang tidak kuliah semester ini kepada Rektor, hancur berkeping-keping rasanya hatiku, ternyata perjuanganku mencari pinjaman uang ke sana ke mari agar dapat membayar SPP semester ini sama sekali tak ada gunanya, uang yang aku dapat dari hasil menjual kalung ibunya sahabatku itu tidak bisa aku setorkan untuk melanjutkan kuliahku.
Aku pulang dengan kekecewaan yang mendalam, semua uang hasil penjualan kalung aku kembalikan kepada Anwar agar disampaikan kepada ibunya, aku tahu pasti ibunya Anwar mengalami kerugian karena harga jual kalung telah dipotong ongkos pembuatan dan lain-lain meskipun semuanya telah aku serahkan. Tapi paling tidak uang itu sudah aku kembalikan.
Di tengah keputusasaanku karena gagal terdaftar di semester ini, aku bertemu Pak Slamet yang bekerja di bagian pengajaran fakultas tempat aku kuliah dan belajar. Pak Slamet menawarkan bantuan menguruskan segala suatu mengenai perijinanku agar aku tetap terdaftar sebagai mahasiswa dan tidak dianggap keluar, dibuatkannya aku surat permohonan ijin cuti kuliah atau ijin selang yang ditujukan kepada Rektor, dan segala persyaratan administrasinya. Berkat bantuan Pak Slamet maka kuliahku selamat dan aku terhindar dari di keluarkan dari kampus karena tidak membayar uang SPP, semester ini aku cuti kuliah, karena tidak bisa membayar uang kuliah, rasanya sangat memprihatinkan sekali, tapi itulah kenyataan hidup yang aku alami.
Aku mulai bingung apa yang akan aku lakukan selama mengisi masa cuti kuliahku semester ini, aku berfikir bahwa aku harus bekerja untuk mengumpulkan uang agar semester depan aku bisa membayar kuliah. Tapi aku harus kerja apa?,aku sama sekali tidak punya ketrampilan yang dapat aku jadikan modal untuk bekerja.
Dalam kegalauanku ini aku berfikir ingin menikah agar ada orang yang mau membiayai kuliahku. Untuk itu aku menemui Mas Hari yang sudah lama kami tidak saling bertemu, aku memberanikan diri mengajaknya menikah, tapi ternyata Mas Hari belum siap Mas Hari mengatakan “Maaf ya Dik, bukan berarti aku tidak mencintaimu tapi aku belum siap untuk menikahimu, adik-adikku masih banyak, tanggunganku masih banyak, jadi maaf aku belum bisa menikah denganmu Dik”, begitulah jawaban Mas Hari. Entah mengapa aku merasa jawaban Mas Hari itu biasa-biasa saja dan tidak membuatku sakit hati. Aku berlalu begitu saja dari hadapan Mas Hari tanpa kata, aku pulang sambil berdoa kepada Tuhan agar diberi petunjuk akan nasibku yang akan datang, apa yang harus aku lakukan dan jalan apa yang harus aku tempuh.
Tiba-tiba saja aku teringat seorang teman Yogi namanya, dia pernah bercerita kalau saudaranya ada yang mempunyai toko dan membutuhkan pegawai untuk menjaga tokonya. Yogi adalah temanku dalam organisasi pemuda di kampung tempat dulu aku tinggal, Yogi tinggal di kampung itu karena dia mempunyai usaha di situ, rumah orang tuanya ada di kota.
Yogi dan aku dulu sering berlatih teater bersama, malah dia yang mengajari kami, teater kami sering pentas pada perayaan atau peringatan kemerdekaan di kampung, di samping acara-acara kesenian yang lain. Memang pemuda di kampung itu termasuk memiliki semangat berorganisasi yang cukup tinggi, kami juga mempunyai taman bacaan, kebetulan aku yang menjadi pengelola taman bacaan tersebut, koleksi bukunya kebanyakan buku-buku fiksi yang memang banyak disukai remaja-remaja di kampung itu.
Aku bertemu dengan Yogi di sela-sela kesibukannya mengurus usaha bengkelnya yang cukup lumayan maju pada saat itu. Aku menceritakan kepada Yogi bahwa saat ini aku sedang tidak kuliah karena sesuatu hal dan aku bermaksud mencari pekerjaan, seperti yang Yogi katakan dulu, bahwa saudaranya butuh karyawan untuk menjaga tokonya, dan aku bermaksud untuk melamar. Yogi menyambut antusias akan maksudku, kami berjanji bertemu pada hari Minggu, selanjutnya Yogi mengantarkan aku ke rumah saudaranya yang punya toko agar aku dapat di terima sebagai pegawai di toko itu. Aku percaya kalau aku akan diterima bekerja di toko itu, karena Yogi adalah adik dari pemilik toko, demikian yang aku pikirkan saat itu, setelah menempuh perjalanan dengan bus ke rumah saudara Yogi, akhirnya sampailah kami di tempat tujuan, kala itu senja mulai merangkak naik.
Tanpa basa-basi setelah bertemu kakaknya, Yogi menyampaikan maksud kedatangan kami kalau aku ingin bekerja di tokonya. Keyakinanku yang begitu besar untuk dapat diterima bekerja demi mengisi kekosongan waktu selama tidak kuliah dan demi mengumpulkan uang untuk kuliahku semester depan ternyata tidak membuahkan hasil. Dengan sangat menyesal kakaknya Yogi tidak dapat menerimaku bekerja di tokonya karena tiga hari yang lalu dia baru saja menerima beberapa pegawai yang kesemuanya perempuan, jadi kedatanganku terlambat.
Hari telah malam, ketika kami berpamitan pulang dari rumah kakaknya Yogi, Yogi tidak bertanya setelah ini akan mengajakku kemana, tapi ternyata aku diajaknya pulang ke rumah orang tuanya yang terletak di daerah sekitar Malioboro Yogyakarta, aku sama sekali tidak menaruh rasa takut atau curiga atas apa yang kami lalui saat itu, karena aku hanya berfikir untuk bekerja, bekerja dan bekerja, dan aku juga tak pernah sekalipun berfikir untuk berbuat yang aneh-aneh, aku dengan Yogi adalah sahabat, Yogi sudah tahu kalau aku sudah mempunyai pacar yaitu Mas Hari. Bagi keluarga Yogi mungkin dikira bahwa aku adalah pacar Yogi, tetapi setelah kami ceritakan latar belakang mengapa aku sampai ke sini mereka maklum. Orang tua Yogi adalah orang yang berfikiran moderat dan tidak kolot, ibunya seorang pedagang sepatu yang berjualan di pasar Beringharjo yaitu pasar terbesar di kota ini, sedangkan ayahnya seorang veteran perang kemerdekaan, Yogi adalah anak ke-delapan dari delapan bersaudara, suatu keluarga yang cukup besar pikirku, namun semua saudaranya sudah bekerja dan sudah menikah serta tinggal di rumahnya masing-masing, jadi orang tua Yogi hanya tinggal berdua ditemani oleh Rika keponakan Yogi yang masih berumur sepuluh tahun, Rika tinggal bersama orang tua Yogi karena ibunya telah meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi.
Malam itu aku menginap di rumah Yogi, kebetulan saat itu ibu Yogi sedang sakit. Aku berencana besok pagi baru akan pulang ke rumah kakakku yang ada di Kulon Progo, karena aku sudah tidak punya tempat kost, jangankan untuk membayar kost untuk makan saja aku sangat kesulitan.
Pagi itu udara sangat cerah, aku berkemas-kemas hendak pamit kepada kedua orang tua Yogi dan mengucapkan terimakasih telah menerimaku malam itu. Akan tetapi ketika aku akan melakukan semua itu rupanya Yogi dan orang tuanya sudah sepakat akan mempekerjakan aku di toko ibunya dan tinggal di rumahnya. Ayahnya sendiri yang memintaku agar aku tidak pulang dan mau bekerja di rumahnya membantu semua pekerjaan rumah dan membantu berjualan di pasar Beringharjo. Saat itu aku sedang butuh tempat tinggal, saat itu aku sedang butuh pekerjaan, jujur saja aku juga butuh tempat untuk bersembunyi, aku ingin bersembunyi karena malu pada teman-teman dan karena aku tidak dapat melanjutkan kuliah semester ini.
Tanpa basa basi lagi aku menerima tawaran untuk bekerja di rumah Yogi, sebagai pembantu lagi, lagi-lagi pembantu apa hanya ini derajatku?, pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam hati, mengapa setiap mendapat pekerjaan selalu hanya sebagai pembantu, pembantu dan pembantu?, entah sudah berapa tempat aku singahi sebagai seorang pembantu pertama di rumah saudaraku ketika aku masih kelas satu SMP, lalu di rumah Ibu Hajar sampai aku lulus SLTA, di rumah Ibu Narti dan sekarang di rumah Yogi.
Hari itu aku memulai bekerja di rumah Yogi, mengurus segala pekerjaan rumah tangga dan setelah selesai melakukan pekerjaan rumah aku pergi ke pasar untuk menjaga toko sepatu. Aku melakukan semua pekerjaan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, untuk itu aku di gaji Rp.15.000,00 (lima belas ribu rupiah) setiap bulannya. Aku bersyukur karena baru kali ini aku bekerja mendapatkan gaji, aku menghitung-hitung gajiku ini, berarti bila aku bekerja selama enam bulan maka akan terkumpul Rp.90.00,00 (sebilan puluh ribu) dan uang tersebut akan aku gunakan untuk membayar kuliahku semester depan.
Aku terus bekerja dengan rajin, dan semua pekerjaanku dinilai positif oleh ayahnya Yogi, sementara Yogi masih tinggal di kota lain mengurus usahanya. Suatu hari ketika Yogi pulang ke rumah aku tak sengaja mendengar pembicaraan ayahnya dan Yogi cukup serius, dan yang membuat aku kaget dalam pembicaraan itu aku mendengar ada namaku disebut-sebut, “Anak itu cantik, rajin dan cekatan, kenapa tidak kau ambil sebagai istri?”, begitu sepenggal kalimat yang diucapkan oleh Pak Mangun ayah Yogi, aku tidak mendengar jawaban apa yang disampaikan oleh Yogi kepada ayahnya, yang pasti aku mulai berfikir kemungkinan-kemungkinan apa yang akan aku hadapi apabila semua itu terjadi.
Hari-hari terus berlalu aku tetap bekerja dan bekerja untuk mengumpulkan uang agar bisa membayar kuliah untuk melanjutkan semester depan, tapi aku juga masih belum tahu kalau aku sudah mendapat gaji selama bekerja enam bulan dan bisa membayar SPP, lalu untuk makan uang dari mana? Untuk transport, untuk membeli keperluan kuliah?, bila memikirkan itu kepalaku jadi pusing dan otak serasa buntu.
Suatu malam, Yogi menemui aku dan berbicara mengenai apa yang dulu pernah aku dengar secara tidak sengaja “Tik, maukah kau menjadi istriku?”, aku sama sekali tidak terkejut karena semua itu telah aku duga sebelumnya. Mendengar itu aku hanya tersenyum dan berharap semua itu hanya lelucon, bukankah Yogi tahu aku sudah punya kekasih yaitu Mas Hari, namun nampaknya Yogi serius dan tidak main-main, menurut Yogi selama aku belum menjadi istri orang maka masih terbuka kesempatan, istilahnya sebelum janur kuning melengkung masih ada peluang, begitu yang di pikir oleh Yogi saat itu.Aku tidak ingin menerima tawaran Yogi, tapi aku juga tidak ingin menyakitinya, oleh karena itu aku minta waktu untuk memikirkan tawarannya itu.
Hari- hari berjalan seperti biasanya, aku tetap bekerja dan bekerja, tidak ada kegiatan lain selain bekerja. Tak terasa empat bulan telah berlalu sejak Yogi memintaku untuk menjadi istrinya, hingga pada suatu malam jumat kliwon, malam yang keramat, kata sebagian orang, Yogi kembali menemuiku dan menanyakan jawaban dari cintanya yang diucapkan empat bulan yang lalu, malam itu aku benar-benar tidak siap dan belum memiliki jawaban untuk persoalan itu, Yogi terus mendesak agar aku memberikan jawaban malam itu juga, aku hanya berfikir sejenak dan anganku kemudian menerawang bahwa Mas Hari kekasihku belum mau aku ajak untuk menikah, aku sangat membutuhkan biaya untuk kelangsungan kuliahku, tiba-tiba dari mulutku meluncur begitu saja kata-kata yang merupakan jawaban dari pertanyaan Yogi dan telah ditunggunya selama empat bulan ini, ”Baiklah Yogi, aku bersedia menjadi istrimu tapi dengan satu syarat, yakni kau harus mau membiayai kuliahku sampai aku lulus dan meraih gelar sarjana”, spontan Yogi mengatakan “Ya” yang berarti setuju dengan syarat yang aku ajukan.
Setelah malam itu, aku resmi menjadi calon istri bagi Yogi, aku segera mengirim surat kepada Mas Hari yang isinya bahwa aku minta maaf tidak bisa menunggunya lebih lama lagi, dan akan segera menikah dengan orang lain, hal ini dikarenakan Mas Hari belum siap untuk aku ajak menikah. Surat itu aku tulis dan Yogi yang mengantarkannya ke rumah Mas Hari, aku tidak tahu bagaimana perasaan dan tanggapan Mas Hari menerima suratku saat itu, yang pasti aku benar-benar minta maaf karena harus melakukan ini, semua aku lakukan demi masa depan dan demi kelangsungan kuliahku. Setelah aku mengatakan ya untuk menjadi istri Yogi, orang tuanya segera melamarku kepada kakakku yang ada di Kulon Progo, karena untuk melamarku pada kedua orang tuaku rasanya tidak mungkin sebab orang tuaku ada di Sumatra, suatu jarak yang cukup jauh pada waktu itu, berbeda dengan sekarang di mana hampir tidak tidak ada jarak antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, transportasi sudah sangat maju dan mudah, sehingga kita dengan mudah dan cepat bisa mencapai daerah lain, begitulah kemajuan zaman yang semakin pesat dan dapat kita rasakan saat ini.
Setelah orang tua Yogi melamarku kepada kakakku, kami segera menentukan hari pernikahan, hari pernikahan telah ditentukan bulan depan, benar-benar tanpa persiapan apapun. Menjelang hari H pernikahanku entah mengapa rasanya aku sangat ingin bertemu dengan Mas Doni, mantan kekasihku yang dulu meninggalkan aku tanpa alasan dan tanpa sebab yang jelas.
Malam itu di sela-sela kesibukanku menyiapkan segala kelengkapan hari H pernikahanku dengan Yogi, aku meminta pada Yogi untuk mengantarkan aku ke tempat kost Mas Doni, yang telah sekian lamanya tidak kudengar kabarnya. Malam itu kamipun berjumpa. tak terasa air mataku tumpah di pelukan Mas Doni malam itu, kami saling melepas rindu dan bercerita tentang kehidupan kami masing-masing. Entah karena perasaanku yang masih sangat mencintai Mas Doni atau karena memang Mas Doni juga masih mencintaiku, aku merasakan keteduhan dan cinta terpancar dari mata Mas Doni malam itu, tapi aku segera menyadari bahwa kami sudah tak mungkin lagi dapat bersatu, hal itu karena Mas Doni telah meninggalkan aku dan aku sendiri akan segera menikah dengan Yogi. Malam itu juga aku minta doa restu dan mengundang Mas Doni untuk hadir dalam pernikahanku yang tidak lama lagi akan segera kami langsungkan. Sungguh terasa ditampar mukaku mendengar nasihat Mas Doni malam itu, ketika aku mohon doa restu untuk menikah agar ada orang yang mau membiayai kuliahku, Mas Doni mengatakan padaku bahwa menikah adalah sesuatu yang sakral dan berhubungan dengan hati, hendaknya aku menikah bila aku memang mencintai calon suamiku, rupanya Mas Doni tahu bahwa bukan atas dasar cinta aku akan menikah, dia juga berkata bahwa kuliah adalah bukan segala-galanya, untuk apa aku mengorbankan kebahagiaanku demi urusan duniawi, yaitu kuliah, tidak kuliah kan juga tidak apa-apa?. Begitu Mas Doni menasihati aku malam itu. Aku paham benar akan apa yang diucapkan oleh Mas Doni, memang laki-laki yang paling aku cintai adalah Mas Doni, tapi bukankah Mas Doni meninggalkan aku? Lalu apa bedanya?, apakah kalau aku tidak menikah dengan Yogi, Mas Doni mau kembali padaku dan mau menikah denganku?, aku rasa tidak.
Semalam, sekembalinya aku dari kost Mas Doni, aku tidak bisa tidur, wajah Mas Doni selalu membayangiku, tatapannya yang begitu teduh, pelukannya yang begitu hangat, dan aku merasa bahwa Mas Doni masih mencintaiku. Telinga juga terus terngiang-ngiang kata-kata Mas Doni tentang kebahagiaan, mengapa aku mengorbankan kebahagiaan hatiku hanya agar aku bisa kuliah?.
Rasanya malam itu kepalaku mau pecah memikirkan segala persoalan yang aku hadapi, tapi apapun kata orang keputusanku sudah bulat untuk menikah agar ada orang yang membiayai kuliahku, rasanya banyak hal yang harus kubayar dengan kuliah, aku masih menyimpan rasa sakit akan hinaan orang atas kemiskinan orang tuaku, aku juga masih menyimpan segores luka telah ditinggal kekasih hanya karena status sosial. Itulah motivasi terbesarku untuk tetap dapat melanjutkan kuliah.
Hari H pernikahanku telah tiba, pernikahan yang berlangsung sangat sederhana dan tidak dihadiri kedua orang tuaku karena mereka tidak punya biaya untuk menghadiri pernikahanku, sehingga yang menjadi wali dalam pernikahan itu adalah wali hakim, yaitu di wakili oleh petugas pencatat perkawinan kecamatan tempat aku melangsungkan pernikahan, yakni di tempat Yogi, hari itu yang menghadiri pernikahanku hanyalah kerabat dekat suamiku dan beberapa kerabatku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari seseorang yang khusus ku undang dan satu-satunya orang yang ku undang yaitu Mas Doni, akan tetapi hari itu berlalu begitu saja tanpa kehadiran Mas Doni mantan kekasihku di hari perkawinanku, aku benar-benar kecewa dan tak tahu apa sebenarnya yang ada di benak Mas Doni, bukankah dia telah meninggalkan aku, mestinya merelakan aku dipersunting oleh orang lain, mengapa dia tidak mau datang?, apa dia kecewa aku menikah dengan orang lain?. Entahlah pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggangguku dalam mengarungi kehidupan ini.
Hari itu di usiaku yang ke-21 tahun, aku telah resmi menjadi istri Yogi, kemudian aku tinggal bersama orang tuanya Yogi yang sekarang menjadi mertuaku, aku tetap bekerja di rumah, di pasar dan mengurus segala urusan rumah tangga.
Beberapa bulan setelah menikah aku mulai masuk kuliah, Mas Yogi sekarang aku memanggil sahabatku yang sekarang menjadi suamiku yang berkewajiban membayar biaya kuliahku sampai aku lulus, walaupun saat itu usaha mas Yogi mengalami kemunduran.
Karena ingin menggapai kehidupan yang lebih baik semua asset usaha Mas Yogi di jual, kemudian Mas Yogi bekerja di Jakarta, kami baru menikah beberapa minggu Mas Yogi sudah meninggalkan aku untuk bekerja di Jakarta, malah rencananya setelah pekerjaan Mas Yogi mapan aku akan diboyong ke Jakarta, kuliahku akan dipindah ke Jakarta.
Belum genap satu bulan bekerja di Jakarta, Mas Yogi pulang ke Yogya, alasannya tidak tega meninggalkan aku sendiri di Yogya, perasaanku waktu itu bingung bercampur-campur dengan kekhawatiran akan masa depan rumah tangga kami, Mas Yogi jelas tidak mungkin melanjutkan usaha bengkelnya lagi karena semua asetnya telah dijual sebelum pergi ke Jakarta, akhirnya Mas Yogi harus mencari pekerjaan di Yogya, bermodalkan latar belakang pendidikannya dan ketrampilannya akhirnya Mas Yogi diterima bekerja di sebuah dealer sepeda motor sebagai mekanik, aku masih tetap membantu Ibu berjualan di pasar, hanya saja sekarang aku sudah tidak digaji lagi, padahal kebutuhan kuliahku semakin banyak. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus menerima semua ini.
Aku mulai mengandung anakku yang pertama, buah dari perkawinanku dengan Mas Yogi. Meskipun hamil aku tetap kuliah sebagai mana mestinya, aku tak perduli, dengan rasa lelah dan capek, aku juga tetap bekerja dan beraktifitas seperti biasanya, pagi aku kuliah, pulang sekolah ke pasar untuk berjualan, pulang dari pasar masih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Kadang-kadang aku merasa sangat kelelahan apalagi kalau kuliahku di lantai tiga atau empat dan harus naik turun tangga di gedung kampus, belum lagi kalau harus mencari buku-buku atau bahan kuliah di perpustakaan yang gedungnya tinggi itu, maka malam harinya aku susah tidur karena kakiku rasanya pegal-pegal.
Setelah anak pertamaku lahir suamiku mengajak aku untuk memisahkan diri dari orang tua, kami mencari rumah kontrakan yang tidak terlalu jauh dari kampus tempatku kuliah dan dari tempat suamiku bekerja.
Gaji suamiku tidak terlalu besar, sehingga hanya cukup untuk makan sehari-hari dan menabung sedikit demi sedikit untuk persiapan membayar kuliah semester depan dan untuk membayar kontrakan rumah, belum lagi untuk mambayar pembantu yang mengasuh anak bayiku. Mau tidak mau walaupun hidupku masih serba kekurangan aku musti membayar pembantu untuk mangasuh bayiku, sebab kalau tidak, maka aku tidak bisa berangkat kuliah atau suamiku tidak dapat masuk kerja. Untuk menutupi kebutuhan keluarga yang semakin banyak aku bahkan tidak malu harus kerja sampingan sebagai buruh cuci bagi mahasiswa-mahasiswa yang kost di dekat rumah kontrakanku demi menambah uang belanja bagi kehidupan kami.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, aku benar-benar konsentrasi mengurus rumah dan kuliah, aku berusaha menjadi istri dan ibu solehah bagi keluargaku, meskipun liku-liku hidup di masa mudaku dulu penuh tantangan, aku mencoba melupakan dan mencoba hidup dengan lembaran baru, aku melupakan semua mantan-mantan kekasih yang pernah mengisi relung hati di masa lalu, mencoba pasrah dan setia atas pilihan yang telah aku ambil, yakni istri bagi Mas Yogi selama-lamanya.
Suatu hari ketika Firman anakku telah berusia empat tahun aku dan suamiku bisa membeli sebuah rumah di kompleks perumahan, rumah yang kecil dengan ukuran 8x5 meter itu kami beli dengan susah payah bahkan sebagian uangnya adalah kami dapat dari berhutang pada orang tuanya Mas Yogi, dan kami mengembalikannya dengan cara mencicil setiap bulan.
Kebahagiaan itu semakin lengkap manakala aku secara resmi dinyatakan lulus dari pendidikanku di perguruan tinggi yang telah aku tempuh selama empat setengah tahun dengan cucuran keringat dan air mata yang tak terperikan pedihnya, perih dan lara. Namun semua pedih dan lara yang aku rasakan selama ini, semua lelah yang ada seakan terlepas begitu saja dari ragaku begitu aku memakai jubah hitam dan toga saat aku di wisuda dan dinyatakan berhak menyandang gelar sarjana.
Kebahagiaan itu dilengkapi pula dengan aku terimanya selembar ucapan yang berbunyi “Selamat atas diraihnya gelar sarjana, untuk Cinderelaku”, dari Doni. Aku bahagia sekali ternyata Mas Doni masih ingat padaku meskipun bertahun-tahun kami tidak berjumpa, kukira Mas Doni telah melupakanku, dan tak perduli lagi padaku, dan itu terpikir olehku ketika dia meninggalkanku dan ketika dia tak datang saat hari pernikahanku. Ucapan selamat itu di bawa oleh Aulia gadis kecil yang dulu aku asuh putri pertama Ibu Hajar, yang sekarang bersekolah di SMA Teladan Yogyakarta. Aulia juga tahu kalau dulu aku adalah kekasih Mas Doni omnya.
Aku mulai sibuk mencari-cari pekerjaan yang kira-kira sesuai dengan pendidikanku dan syukur dengan gaji yang sesuai pula. Mula-mula aku bekerja sebagai agent asuransi jiwa, beberapa bulan aku mencoba bekerja dengan sungguh-sungguh dalam mencari nasabah, akan tetapi aku merasa tidak mampu dan tidak berhasil, oleh karena itu aku mengundurkan diri. Lalu aku melamar segai tentor bimbingan belajar yang saat itu menjamur di Yogyakarta, syukurlah aku diterima. Dari lembaga inilah pertama kali aku mendapat honor yang lumayan, dan aku merasakan nikmatnya menjadi seorang guru, belajar menyelami jiwa anak didik dan mengerti sedikit-sedikit tentang bagaimana mengelola sebuah lembaga bimbingan belajar. Dari sini pula aku akhirnya bisa memiliki lembaga bimbingan belajar sendiri meskipun masih kecil-kecilan. Bersamaan dengan itu aku juga diterima sebagai guru honorer si sebuah SMA swasta milik yayasan Muhammadiyah. Aku sangat hahagia menerima anugrah ini.
Sekarang aku telah menjadi seorang guru SMA, cita-cita masa kecilku sebagian telah tercapai, aku mengajar dengan rasa bahagia dan ikhlas walaupun gaji sebagai guru honorer sangatlah kecil. Saat itu tahun 2003, aku menjadi guru dengan gaji Rp.1.300,00/jam pelajaran. Saat itulah aku baru tahu bahwa perhitungan jam mengajar bagi guru tidak seperti yang kubayangkan, yaitu bila aku mengajar per minggunya 10 jam pelajaran, aku berfikir dalam sebulan yang terdiri dari empat minggu dan perjam pelajaran dihargai Rp.1.300,00, maka aku mengira gajiku akan menjadi 10 jam pelajaran dikalikan 4 minggu dikalikan Rp. 1.300,00 jadi sama dengan Rp.52.000,00. Akan tetapi dugaan perhitungan seperti itu salah besar, yang benar adalah bila aku mengajar 10 jam perminggu dan bila per jam dihargai Rp. 1.300,00, maka gajiku adalah 10 jam pelajaran dikalikan Rp.1.300,00. Jadi sama dengan Rp. 13.000,00, padahal ketika aku mengajar di bimbel gajiku dihitung tiap tatap muka, jadi ternyata ada perbedaan perhitungan jumlah jam mengajar sebagai guru dengan kenyataan yang sebenarnya. Tapi aku tidak begitu mempermasalahkan perhitungan itu, karena dengan diterimanya aku sebagai guru di situ saja aku sudah cukup bahagia dan senang bisa mengamalkan ilmu yang selama ini aku dapatkan di bangku kuliah.
Tak terasa Firman anakku sudak memasuki usia lima tahun dan ia sudah mulai masuk sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Setiap hari aku sibuk mengajar dan memberi les bagi anak-anak SD di rumah atau aku datang ke rumah siswa lesku. Suamiku mulai membuka usaha sendiri yakni mendirikan bengkel sepeda motor yang telah lama kami cita-citakan bersama. Dulu kami sudah membagi tugas setelah aku lulus kuliah aku ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan suamiku akan berwiraswasta.
Sudah tiga tahun aku lulus kuliah dan sudah tiga kali mengikuti test atau seleksi penerimaan PNS, tapi tiga kali pula aku gagal. Aku terus mengabdi sebagai guru honorer dengan gaji seperti yang telah aku ceritakan tadi, dengan penuh dedikasi dan semangat yang tinggi.
Setelah lima tahun aku bekerja gajiku naik menjadi Rp.3.000,00 per jam pelajaran, akan tetapi kenaikan itu tidak ada artinya sama sekali karena kebutuhan hidup semakin hari semakin bertambah dan harga-harga semakin tak terkendali, untunglah aku masih punya penghasilan lain yang meski hanya sambilan tapi memberikan kontribusi yang lumayan bagi kebutuhan keluargaku, yaitu penghasilanku sebagai guru les baik klasikal maupun privat. Untuk yang privat kebetulan murid-muridku berasal dari kalangan orang-orang berada alias kaya, bahkan ada empat orang muridku adalah cucu dari mantan rektor tempat aku kuliah dulu, orang tua mereka adalah dokter dan dosen, ada pula yang putra seorang pengusaha sehingga mereka membayarku dengan bayaran yang tinggi. Aku sangat bersyukur akan semua itu.
Aku sangat ingin bekerja yang dapat menghasilkan uang lebih, maka aku selain masih menjadi guru honorer, juga menjadi sales di berbagai perusahaan dan bank, menjadi broker atau makelar property, dan penyiar radio. Tapi aku merasa bahwa pekerjaan semacam itu meskipun menghasilkan uang lebih, seakan-akan aku bekerja tidak dengan jiwaku, tidak dengan keikhlasan dan ketulusan untuk mengabdi. Tidak aku pungkiri aku ingin menjadi guru yang statusnya PNS agar aku ikhlas mengabdi tanpa memikirkan berapa gajiku, tapi kenyataannya apa?, tiga kali ikut test tetapi selalu tidak berhasil, bahkan setelah itu tidak ada sama sekali pengangkatan PNS selama tujuh tahun.
Usaha suamiku mulai menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, sehingga yang tadinya hanya bengkel sepeda motor sekarang berkembang dan membuka bengkel mobil dan bengkel bubut. Karyawan suamiku kurang lebih 15 orang.
Adik-adikku di Lampung satu persatu menyusul aku ke Yogya. Pertama Beni, kemudian Dodi, Ayu dan Totok, mereka aku sekolahkan minimal sampai tamat SLTA, bahkan Ayu aku kuliahkan sampai tamat D3. Sekarang mereka semua telah berkeluarga dan mempunyai pekerjaan sesuai keahlian dan keinginanya masing-masing. Beni akhirnya pulang ke Lampung dan menjadi guru TK di sana, Dodi sekarang mempunyai bengkel sendiri, Ayu bekerja di perusahaan yang melayani turis-turis Manca Negara, sedangkan Totok bekerja sebagi kepala mekanik di sebuah dealer sepeda motor. Tina anak kakakku yang tinggal di Kulon Progo yang dulu aku sekolahkan sampai tamat SMA sekarang sudah bekerja di pulau Batam. Aku merasa bersyukur paling tidak dapat menuntaskan adik-adikku sampai tamat SLTA.
Aulia, Adi dan Anggi putra-putri Bapak Hajar yang ketika mereka kecil aku asuh sekarang mereka semua tinggal di rumahku, mereka semua kuliah di Yogya ini. Keluargaku benar-benar menjadi keluarga yang super besar saat itu, bayangkan saja ada 13 (tiga belas) orang yang tinggal bersamaku, sampai kadang-kadang aku repot sekali mengurus dan menyiapkan makan untuk mereka. Namun aku selalu ikhlas melakukan semua itu, aku hanya berharap Tuhan akan memberi kemudahan bagiku dan keluargaku dalam mengarungi segala kesulitan kehidupan ini.
Suamiku kadang-kadang merasa kerepotan mengurus perusahaannya dan memintaku berhenti dari pekerjaan-pekerjaanku termasuk berhenti menjadi guru yang tidak ada hasilnya sama sekali dan memintanya aku membantunya secara penuh. Selama ini aku telah membantu tetapi hanya ketika aku pulang dari mengajar atau pada saat aku tidak memberi les.
Memenuhi permintaan suami untuk berhenti jadi guru adalah pilihan yang sangat sulit, aku sama sekali tidak rela kalau harus berhenti jadi guru, maka untuk menyenangkan hati suami aku hanya mengurangi jam mengajar yang tadinya dalam satu minggu aku masuk enam hari, aku minta lima hari, semester depan minta tiga hari dan seterusnya hanya satu hari. Suamiku masih menuntut agar aku berhenti total, akan tetapi aku minta di beri waktu, dalam delema antara patuh pada suami dan mengikuti kata hati, aku sholat malam, sholat istikharoh, mohon agar Tuhan memberi petunjuk apakah aku harus berhenti jadi guru untuk membantu suami sepenuhnya atau tidak. Akan tetapi Tuhan seakan tidak mendengar doaku, setiap kali aku berdoa bukan jawaban atas kebimbanganku yang kudapat, akan tetapi aku pasti jatuh sakit, dan aku tidak bisa mengartikan semua ini. Karena belum tahu arti dari jawaban semua doaku maka aku masih tetap menjadi guru, guru hnorer yang tidak minta bayaran, apalagi jumlah muridnya semakin sedikit.
Sudah puluhan tahun aku mejadi guru, bahkan telah lahir anakku yang ke-dua dan aku beri nama Demokrasi, karena lahir bersamaan dengan dirayakannya pesta demokrasi bangsa Indonesia yaitu Pemilihan Umum.
Tahun ini ada pendaftaran penerimaan Guru Bantu (GB), iseng-iseng aku ikut seleksi penerimaan GB tersebut, aku sudah merasa pesimis dapat diterima karena soal-soal tesnya terasa sulit bagiku, bobot soalnya sama dengan soal tes PNS, padahal tiga kali ikut tes PNS aku gagal. Pengumuman hasil seleksi GB prosesnya sangat lama, dan aku menunggunya dengan masih konsentrasi mengurus usaha bengkel suamiku.
Aku masih tetap menjadi guru honorer dengan gaji dibawah Rp.50.000,00, malah kadang-kadang aku tidak meminta untuk dibayar apalagi setelah sekolah mengalami kemunduran, jumlah siswa yang mendaftar di sekolahku setiap tahun semakin sedikit, ini di sebabkan sekolah kami terletak di daerah pinggiran yang sulit dijangkau transportasi umum juga karena sekolah-sekolah negri menambah daya tampungnya sehingga sekolah swasta pinggiran tidak lagi diminati oleh calon siswa.
Suatu hari di tengah-tengah kesibukanku menjaga bengkel dan melayani konsumen, tiba-tiba di dalam otakku dan di telingaku terasa ada sesuatu yang berbisik dan menuntunku mengatakan sesuatu, lidahku serasa tidak sadar dan aku mengatakan “Inilah waktuku, inilah jawaban atas doaku selama ini, bila esok aku diterima sebagai GB, aku akan terus dan tetap menjadi guru untuk selamanya, akan tetapi bila esok aku gagal dan tidak diterima sebagai GB, maka aku tidak akan menjadi guru untuk selama-lamanya, aku akan konsentrasi berwiraswasta”. Setelah mengatakan kalimat demikian ragaku serasa ringan, pikiranku seakan terang benderang. Ya aku merasa bagaimana mungkin aku ingin diterima menjadi PNS, bila menjadi GB saja aku tidak mampu. Momentum ini aku jadikan sebagai tolok ukur kemampuanku, walaupun dalam hatiku telah mengerti bahwa untuk menjadi maju tidak harus menjadi PNS.
Akhirnya waktu yang aku tunggu-tunggu selama berbulan-bulan datang juga yaitu saat pengumuman penerimaan GB. Setelah berdesak-desakan melihat pengumuman yang di pampang di halaman kantor Dinas Pandidikan Kabupaten, akhirnya aku menemukan namaku kecil sekali dan di terima sebagai GB, aku sangat bersyukur dan berfikir bahwa Tuhan menginginkan aku menjadi guru, buktinya aku diterima setelah aku bersumpah tidak akan menjadi guru bila kali ini gaga, ternyata Tuhan juga harus ditantang, begitu yang aku pikirkan saat itu, ya Tuhan ampuni aku yang telah berprasangka buruk padaMu ya Tuhan.
Aku menjadi GB dan di tempatkan di sekolah yang cukup besar, sekolah negeri yang mempunyai 45 kelas, padahal sebelumnya aku mengajar di sekolah yang muridnya bisa di hitung dengan jari, bahkan setelah setahun aku tidak mengajar di sana lagi karena ingin fokus di tempat tugas yang baru, sekolah itu benar-benar gulung tikar dan tidak lagi menerima murid karena jumlah siswa yang mendaftar kurang dari sepuluh orang.
Di tempatku yang baru ini aku harus pandai-pandai membawa diri dan menyesuaikan diri, karena jumlah gurunya yang lebih kurang 200 orang dan jumlah murid ribuan. Untunglah aku sedikit punya modal supel sehingga aku cepat dapat menyesuaikan diri dan masuk di lingkungan tersebut, tentu saja tidak lepas dari bimbingan Kepala Sekolah dan Pak Seputro selaku ketua jurusan.
Pak Seputrolah yang telah banyak mengajari aku bagaimana hidup ini, harus sabar, tawakal dan tidak serakah, selalu belajar dan belajar selalu, dan tidak ada kata terlambat untuk berbuat baik. Aku akui beliau adalah sosok seorang pemimpin teladan dan bijaksana, canda rianya membuat kritik dan saran yang disampaikan oleh beliau mengena pada sasaran tanpa harus menyinggung dan menyakiti orang yang dikritik, pengalamannya yang luas terlihat dari gayanya berbicara, dan yang pasti banyak hal dapat aku ambil dari beliau, sayang sekali tidak lama setelah aku bekerja di sana beliau sudah harus pensiun, padahal fisiknya masih sehat, semangatnya masih tinggi, dan ilmunya masih dibutuhkan, akan tetapi apa boleh dikata peraturan yang mengharuskan beliau harus pensiun. Aku hanya mengucapkan selamat jalan pada Pak Seputro, semoga dapat menjalani masa pensiun dengan bahagia.
Pak Seputro tidak melupakan aku begitu saja, di sela-sela kesibukannya menikmati masa pensiun beliau masih sering menghubungi aku melalui telpon, memberiku semangat dan nasihat agar aku selalu belajar, belajar dan belajar kalau ingin menjadi sukses. Nasihat yang sangat berharga ini selalu terngiang di telinggaku dan menjadi motivasi bagiku untuk selalu belajar, belajar dan terus belajar.
Hari terus berlalu, sebagai GB aku bekerja dengan penuh loyalitas dan dedikasi, aku merasa harus konsekwen dengan apa yang telah aku ikrarkan yaitu ingin menjadi guru yang baik.
Suatu hari aku mendapat undangan untuk diklat di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) selama tiga hari dan menginap. Aku terkejut melihat dalam daftar penatar atau nara sumber yang memberikan materi kepada peserta, ada satu nama yang tidak asing lagi bagiku yaitu nama Mas Hari mantan kekesihku yang sudah tiga belas tahun tak berjumpa denganku, melihat namanya aku yakin benar bahwa dia adalah Mas Hari yang pernah aku kenal dahulu. Aku memberanikan diri masuk ke ruang para penatar atau Widya Iswara, dan benar saja Mas Hari ada di situ meski wajahnya Nampak lebih dewasa dibandingkan ketika masih menjadi kekasihku dulu, tapi garis-garis mukanya tetap tidak berubah, “Mas Hari?”, aku menyapa sambil mengulurkan tanganku untuk bersalaman, orang itu menatapku seolah-olah tak percaya kalau yang berdiri di depannya adalah aku, namun begitu yakin kalau ini adalah aku Mas Hari menjabat tanganku dengan erat dan seakan tak ingin dilepaskan. Setelah berbasa-basi dan menanyakan kabarku selama tiga belas tahun tidak berjumpa, bel tanda masuk pelatihan berbunyi kami semua harus segera masuk ruangan, sebelum masuk ruang Mas Hari meminta agar nanti setelah selesai seasen dan saat istirahat sekitar jam sepuluh malam dia ingin bertemu dan berbincang-bincang denganku di lobi, akupun setuju. Malam itu kami bertemu setelah tiga belas tahun kami tak pernah berkomunikasi, Mas Hari pertama mengucapkan selamat atas apa yang sudah aku raih misalnya sudah jadi sarjana, sudah jadi guru, sudah punya anak yang manis-manis dan entah apa lagi semua diselamati, kemudian dia meminta maaf kenapa dulu tidak siap untuk menikah denganku, semua terjadi karena keadaan yang tidak memungkinkan, aku hanya menjawab bahwa semua yang telah terjadi adalah takdir dan pasti ada hikmah di balik semuanya, tidak ada yang perlu dimaafkan dan memaafkan.
Malam itu juga aku tahu bahwa Mas Hari sudah menikah, akan tetapi tidak mempunyai anak, dia sekarang menjabat sebagai Kepala Dinas Pandidikan Kabupaten di tempat dia tinggal, malam itu kami mengobrol sampai jauh malam, sekarang aku menganggap Mas hari sebagai sahabat atau saudara dan tidak lebih dari itu, tidak ada lagi perasaan cinta pada Mas Hari dari diriku, aku telah mengubur dalam-dalam semua perasaan itu, yang aku cintai sekarang adalah keluargaku suami dan anak-anakku.
Esoknya ketika penataran telah selesai kamipun berpisah dengan saling berjabat tangan dan tidak ada janji untuk bertemu lagi secara khusus.
Tidak lama setelah aku mengikuti penataran, ada pengumuman penerimaan PNS, saat itu belum ada kebijakan bahwa GB dapat diangkat menjadi PNS, maka akupun berniat mendaftarkan diri sebagai PNS, aku berharap dapat diterima tahun ini setelah belasan tahun aku mengabdikan diri sebagai guru honorer dan satu tahun setengah senagai GB.
Namun betapa kecewanya aku, ternyata aku tidak dapat ikut mendaftar, mendaftar saja tidak bisa apalagi diterima?, aku tidak dapat ikut mendaftar karena usiaku sudah tiga puluh delapan sedangan batas usia bisa mendaftar adalah tiga puluh lima tahun. Tapi syukurlah karena kebijakan seperti itu banyak guru-guru yang merasa dirugikan dan tidak dapat mendaftar, mereka mengadakan aksi atau unjuk rasa menuntut agar peraturan tersebut direvisi, dan ternyata membuahkan hasil bahwa guru-guru honorer sampai usia empat puluh tahun bisa mendaftar asalkan dapat menunjukkan bukti bahwa dirinya mempunyai pengalaman mengajar minimal tujuh tahun.
Syukurlah dengan adanya kebijakan tersebut aku bisa mendaftarkan diri. Lega rasanya bisa mendaftar. Kebetulan saat testnya masih agak lama dam masih cukup waktu buat aku mempersiapkan diri, belajar dan belajar.Disaat seperti ini Pak Seputro masih saja menunjukkan kepeduliannya padaku, diberinya aku soal-soal latihan dan beliau menawarkan diri, bila aku mengalami kesulitan, aku bisa konsultasi padanya.
Kebetulan saat itu adalah bulan Ramadhan, sehingga aku punya cukup kesempatan berdoa dan mohon kemudahan pada Tuhan, setiap kali sehabis sholat aku berdoa, setiap malam aku bangun dan melakukan sholat tahajud, pagi hari aku sholat dhuha, dan puasa Senin Kamis juga aku lakukan, yang pasti segala usaha aku lakukan, baik usaha yang bersifat fisik dengan belajar maupun dengan doa. Alhasil aku merasa pada saat test mendapat kemudahan dalam menjawab semua soal, aku merasa yakin dengan apa yang aku kerjakan, jujur selama hidup aku belum pernah merasakan keyakinan yang begitu besar selain saat menjalani test ini. Dengan keyakinan yang begitu besar ini aku berharap akan mendapatkan apa yang aku cita-citakan.
Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu yaitu pengumuman penerimaan PNS, sejak pagi aku sudah menunggu datangnya surat kabar lokal langgananku, karena pengumuman dimuat di surat kabar, tepat pukul 05.00 surat kabar telah datang, tiba-tiba perutku sakit dan mulas-mulas mungkin karena gugup akan melihat pengumuman yang telah lama kutunggu-tunggu ini, atau mungkin karena tadi malam terlalu banyak makan pedas, tapi hal itu membuat aku harus duduk dan menunda untuk membuka surat kabar, setelah menenangkan diri dan menata hati perlahan-lahan satu demi satu halaman surat kabar aku buka sampai aku temukan halaman yang memuat pengumuman yang sudah aku tunggu-tunggu itu. Akhirnya, dengan perasaan deg-degan aku membaca tulisan yang kecil-kecil dan hampir tidak terlihat oleh mata telanjang, namun sungguh sangat bahagianya aku karena akhirnya aku menemukan namaku ada dalam barisan nama-nama orang yang diterima sebagai PNS, saat itu juga, aku sujud syukur, kebahagiaan melingkupi seluruh ruangan di rumahku pagi itu, anak dan suamikupun turut berbahagia. Kebahagiaan ini begitu terasa karena memang sudah sangat lama aku nantikan untuk bisa menjadi PNS, lima belas tahun aku menunggu saat ini, lima belas tahun aku mengalami pahit getir sebagai guru tidak tetap, baik tidak tetap statusnya maupun tidak tetap gajinya.
Aku mulai bekerja sebagai guru PNS dan di tempatkan di daerah pinggiran yang sangat jauh letaknya dari tempat tinggalku, tadinya sebagai GB aku mengajar di sekolah yang tidak jauh dari tempat tinggalku, akan tetapi sekarang aku harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter untuk sampai di tempat kerjaku yang baru, tapi aku berusaha mencapai tempat itu dengan tidak banyak mengeluh dan mengeluh. Sekarang aku mencoba menikmati hidup ini apa adanya dan berusaha selalu bersyukur atas semua yang telah aku dapatkan, aku yakin di balik semua yang aku terima pasti ada hikmah, aku kembali berkaca pada pengalaman waktu aku tidak mendapat jawaban atas doa yang telah aku panjatkan, ternyata Tuhan punya rencana lain yang lebih indah dari apa yang kita pikirkan sebelumnya.
Hari-hari berlalu begitu cepat, hal itu karena kesibukanku dan konsentrasiku dalam bekerja, sehingga hari serasa berputar lebih cepat dari sebelumnya. Aku menarik napas lega karena telah mendapatkan apa yang aku inginkan. Yaitu bekerja sesuai latar belakang pendidikan dan keinginan hati yang paling dalam, dengan gaji yang pasti. Meskipun ada sebagian orang berkata bahwa gaji seorang pegawai negeri tidak banyak, tapi aku sudah sangat bersyukur, karena jujur saja hampir sebagian besar bangsa ini ingin menjadi pegawai negeri, termasuk aku.
Aku menyadari sepenuhnya bahwa mental bangsa ini harus dibenahi, bagaimana mungkin semua orang ingin menjadi pegawai negeri, sedangkan kesempatan untuk itu sangat kacil dan sedikit, itulah sebabnya mengapa kadang-kadang mereka yang menginginkan untuk menjadi pegawai negeri melakukan perbuatan menghalalkan segala cara, seperti penyuapan kepada orang-orang yang dianggap dapat meloloskannya menjadi pegawai negeri, alhasil banyak dari mereka yang tertipu puluhan juta rupiah, padahal bila uang yang dipakai untuk hal itu digunakan sebagai modal usaha, maka ia bisa menjadi seorang wiraswasta yang sukses dan penghasilannya bahkan lebih besar daripada seorang pegawai negeri. Aku menyadari hal itu sepenuhnya.
Pada suatu padi Hp-ku berbunyi pertanda ada SMS masuk, setelah aku buka tenyata SMS dari Mas Doni yang berbunyi begini: “salam untuk keluargamu, sekarang saya dipindah tugaskan di kota ini”, ternyata mas Doni memberi kabar kepadaku bahwa dia sekarang bekerja di kota ini sebagai Kepala Cabang suatu bank terkemuka di Negara ini. Aku hanya dapat mengucapkan selamat bertugas dan semoga sukses pada Mas Doni, dan kami berusaha tetap menjalin silaturami dan persaudaraan, kami sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Mas Doni telah menjadi orang yang sukses dengan kedudukan yang mapan, mempunyai istri yang cantik dan anak yang lucu-lucu, aku turut bahagia atas prestasi yang telah diraih oleh mas Doni. Malah tahun lalu Mas Doni dan keluarga telah menunaikan ibadah haji. Aku sebenarnya merasa iri dan ingin seperti Mas Doni dalam meraih cita-cita, tapi aku menyadari sepenuhnya bahwa tiap manusia punya nasib dan takdirnya sendiri-sendiri, derajat manusia telah ditentukan, rejeki yang di terima juga telah di takar dan diatur, kepasrahan semacam inilah yang selalu membuatku ingin membuang jauh-jauh sifat-sifat negaif seperti iri, dengki dan dendam kepada orang lain.
Pagi ini amatlah cerah, langit kota ini tampak biru dan udara berhembus sepoi-sepoi, sangat membuat segar jiwa raga kita, aku sedang asyik membaca surat kabar, dan ketika menemukan satu berita aku terkejut dan hampir tak percaya bahwa dalam berita itu ada foto mas Hari dengan berita yang cukup membuat aku merasa bangga, karena dari berita itu tertulis mas Hari dengan gelar akademis di depan dan di belakang namanya, ternyata Mas hari telah menjadi seorang Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten, sungguh berita ini sangat membanggakan, kalau kemarin Mas Doni, sekarang Mas Hari, mereka adalah mantan kekasihku dulu, mereka semua telah meraih kesuksesan. Dalam kebanggaanku atas kesuksesan yang telah diraih oleh saudara-saudaraku ini, di dalam hatiku aku berkata, akupun tidak mau kalah dengan kalian, aku juga ingin sukses, aku juga ingin maju, aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku perempuan desa putri seorang petani miskin papa juga bisa meraih apa yang aku cita-citakan, aku merasa saat ini aku berada di tengah padang pasir yang luas, dan kemudian di pinggir pantai dengan deburan ombak saling berkejaran, angin sepoi meniupkan aroma wangi dan perlahan menerpa wajahku yang sejuk oleh percikan ombak pantai, serasa damai, serasa nyaman dan berjuta kenikmatan mengalir ke seluruh tubuhku, indah dan damai.
Aku terkejut mendengar riuhnya tepuk tangan di ruang auditorium yang cukup megah ini. Kiranya aku sedang melamun, aku teringat puluhan tahun lalu, aku pernah berada di tempat ini, berjalan dengan bangganya mengenakan kain kebaya dan jubah serta toga warna hitam yang melambangkan bahwa aku telah meraih gelar sarjana, saat itu anakku yang pertama masih berumur empat tahun, ia menunggu di luar gedung bersama ayahnya, menunggu aku selesai diwisuda dan ingin segera pulang untuk makan bersama, merayakan kebahagiaan bersama keluarga, karena sebelum berangkat pagi tadi sudah dijanjikan untuk itu.
Hari ini anakku yang dulu kecil dan menyaksikan ibunya diwisuda, sedang berjalan dengan gagahnya, mengenakan jubah dan toga warna hitam, duduk di barisan terdepan, kemudian melangkah maju untuk menerima pengalungan samir, jabat tangan dari Rektor dan menerima ijasah sarjana, syukur kepada Tuhan anakku yang pertama telah meraih gelar sarjana.
Tak terasa airmataku mengalir menerima kebahagiaan ini. Apa yang menjadi tekadku yakni memberi kesempatan untuk mencari ilmu setinggi-tingginya bagi anak-anakku dengan tidak mengalami kesulitan biaya seperti aku dulu nampaknya telah membuahkan hasil, meskipun aku akui namanya manusia tidak akan ada puasnya, selalu saja merasa kurang, kurang dan kurang, tapi setidaknya aku merasa ada perubahan nasib dan taraf kehidupan yang aku alami dan semua itu seiring dengan taraf pendidikan yang aku tempuh, aku berpendapat semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula derajat kehidupan orang tersebut. Aku ingat nasihat guru agamaku dulu yang mengambil dari petikan ayat Alquran yang bunyinya ”Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu ketingkat lebih tinggi”. Berangkat dari itulah aku bertekad akan menggapai pendidikan setinggi-tingginya selagi aku mampu, bagiku dan bagi anak-anakku, bukankah ada pepatah mengatakan “Carilah ilmu sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat”, ternyata manusia wajib menuntut ilmu sejak masih berada dalam kandungan ibunya sampai manusia tersebut meninggal dunia, dan Tuhan juga telah menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina, artinya sampai di manapun manusia diharuskan dapat menuntut ilmu, yang digambarkan sampai ke negeri Cina, negeri yang amat jauh.
Aku menyaksikan anakku berjalan dengan gagahnya, memakai toga dan jubah kebesaran itu, sambil tak henti-hentinya berdoa semoga anakku dapat meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup baik dunia maupun akhirat. Sementara di luar Rini kekasihnya sudah menunggu dengan setangkai bunga mawar merah di tangannya dan sesungging senyum manis di bibirnya sembari mengulurkan tangan dan mengucapkan selamat kepada anakku yang telah berhasil meraih gelar sarjana. Siang itu udara sangat cerah, kamipun pulang dengan perasaan haru dan bahagia yang tiada terkira menerima anugrah Tuhan kepada keluarga kami.
Semoga Tuhan bisa mengabulkan doa dan cita-citaku yang sangat sederhana, di mana dalam kehidupan ini aku hanya ingin bekerja, mencari rejeki untuk dapat menyekolahkan kedua anakku sampai jenjang yang setinggi-tingginya, dan apabila anakku telah meraih gelar sarjana semua aku berharap mereka dapat menemukan jalan hidup yang baik dan benar, pekerjaan yang baik dengan penghasilan yang baik, yang lebih penting aku ingin melihat mereka bahagia, setelah semua itu tercapai aku hanya ingin naik haji bersama-sama dengan keluarga. Dan setelah semua cita-cita tersebut tercapai aku tak ingin menumpuk-numpuk kekayaan, akan tetapi apabila aku mempunyai rejeki berlebih aku ingin beramal dan beramal membantu sesama manusia yang membutuhkan, karena aku tahu betul betapa sakitnya perasaan sebagai orang miskin yang sering dihina dan ditertawakan, dipandang sebelah mata dan terkadang dipermainkan.
Hari telah menjelang malam ketika aku dan anakku duduk berdua di taman belakang rumah, menceritakan kembali kisah masa laluku kepada anakku, agar anakku dapat mengambil teladan yang beraguna untuk kehiduannya dan membuang jauh-jauh keburukan-keburukan yang pernah aku lakukan. Aku melihat anakku mengusap pipinya menahan haru atas cerita masa kecil dan perjuanganku, ibunya, dalam menggapai apa yang dicita-citakan.
Tak terasa ayam telah berkokok menyambut pagi yang mulai datang, aku mulai merasa mengantuk, padahal esok pagi aku harus bekerja, mengajar murid-muridku yang manis-manis di sana, di lereng gunung merapi yang jauh dari keramaian kota, di tempat Mbah maridjan tinggal dan mengabdi pada perintah dan amanah dari leluhurnya yaitu menjadi juru kunci Gunung Merapi, dan sorenya aku harus berangkat kuliah menyelesaikan pendidikanku, meraih gela S-2, karena bagiku pendidikan adalah segala-galanya, bahkan aku menularkan motto hidupku kepada murid-muridku dan kepada anak-anakku yaitu “Belajar Tiada Henti” dan “jangan Mudah Putus Asa”.
Pagi telah datang, aku berangkat ke sekolah yang letaknya di lereng Gunung Merapi itu agak tergesa-gesa, memang jarak tempat tinggalku ke sekolah boleh dibilang agak jauh, aku berangkat dengan kendaraan bermotor dan sampai di sekolah tidak pernah terlambat, kemudian berdiri di depan pintu gerbang sekolah menanti anak-anak datang untuk berjabat tangan dengan mereka sambil melihat kerapian mereka dalam berpakaian, memang kami membiasakan kebiasaan 3S di sekolah kami yaitu Senyum, Salam, Sapa agar tercipta hubungan yang baik antara guru dengan muridnya, dan antara murid dengan murid yang lain.
Aku memandang kearah Utara di mana Gunung Merapi menjulang tinggi tampak sangat cerah, sehingga puncaknya yang selalu mengepulkan asap terlihat sangat jelas dari tempatku berdiri dan bersalaman dengan murid-muridku.
Hari ini dua tahun yang lalu aku ingat sekali kejadian yang sangat mengerikan terjadi di Yogyakarta, gempa bumi, musibah itu telah menelan korban puluhan ribu jiwa meninggal, puluhan ribu jiwa luka-luka, puluhan ribu jiwa menjadi cacat seumur hidup, dan puluhan ribu jiwa kehilangan tempat tinggal. Peristiwa itu telah menimbulkan trauma bagi sebagian besar warga Yogyakarta, sampai saat ini meskipun sudah dua tahun peristiwa tersebut berlalu dari kehidupan kami.
Saat itu Gunung Merapi sedang dalam keadaan yang cukup berbahaya, diduga akan segera meletus, semua warga yang tinggal di dekat Gunung Merapi sudah diminta untuk mengungsi, padahal sebagian muridku berasal dari daerah dekat Merapi, sementara sebentar lagi mereka akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UNAS), aku sangat kasihan pada mereka menghadapi delema yang sangat berat, mereka harus konsentrasi dalam belajar, akan tetapi mereka tinggal di barak pengungsian yang tentu saja suasananya tidak begitu kondusif untuk belajar.
Beberapa dari mereka ada yang berinisiatif tinggal di rumah Bapak atau Ibu guru yang rumahnya tidak berada dalam zona bahaya Merapi, tetapi masih dapat dijangkau transportasinya sampai ke sekolah, kebetulan aku juga mempunyai vila di daerah dekat sekolahan, beberapa anak meminta untuk tinggal di vilaku demi ketenangannya dalam belajar, mereka adalah Imas, Nuri, Santi, Novi, Lisa, Dewi, Suci dan Dina, aku merasa bahagia dapat menolong mereka dengan sedikit memberi bimbingan dalam belajar meskipun aku sendiri tidak tinggal di vila itu dan paling tidak memberi tumpangan tempat tinggal bagi mereka.
Kadang-kadang ketika kami sedang melaksanakan proses belajar mengajar, harus berlarian keluar kelas karena Merapi mengeluarkan awan panas yang disebut Wedhus Gembel, yang abunya sampai ke lingkungan sekolah kami, juga mengeluarkan suara bergemuruh dan sangat menakutkan, bila malam hari lahar panas yang mengalir di puncak gunung itu menjadi tontonan yang sangat menarik bagi kami meski kami semua diliputi perasaan was-was dan khawatir yang luar biasa, tak bosan-bosan aku selalu membekali murid-muridku agar selalu berdoa dan memohon perlindungan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan agar kami semua dihindarkan dari segala mara bahaya. Terlebih-lebih nasihat ini kami sampaikan kepada murid-murid kelas tiga yang akan menghadapi UNAS.
Malam itu hari Jumat tanggal 26 Mei, sudah agak lama punggungku terasa sakit mungkin karena terlalu lelah, atau karena usiaku yang sudah semakin tua, sudah aku periksakan ke tukang pijit urat tapi belum ada perubahan, sudah aku periksakan ke Puskesmas juga belum sembuh, yang pasti karena punggung yang sakit membuat aku agak malas untuk bangun pagi hari itu, akan tetapi aku ingat bahwa aku harus segera bangun untuk menyiapkan sarapan pagi bagi keluargaku, maka dengan perasaan yang agak malas aku bangun pagi itu Sabtu 27 Mei 2006 bangun, aku berjalan ke arah tangga menuju ke bawah kebetulan kamar tidurku berada di atas, ketika aku sampai di tangga paling atas dan hendak turun ke bawah, aku mendengar suara gemuruh yang luar biasa, dan tiba-tiba aku merasa diombang ambingkan ke kanan dan ke kiri, saat itu aku merasa sedang berada di atas kapal di tengah lautan karena aku sering pulang ke Lampung dengan naik kapal laut, seperti itulah yang aku rasakan.
Setelah beberapa detik aku merasa terombang-ambing di tangga menuju lantai bawah, aku terpaku dan tidak dapat berbuat apa-apa, tak dapat bergerak sama sekali, aku baru sadar bahwa sedang terjadi gempa bumi, kami semua berlarian keluar rumah, aku memanggil-manggil anak-anakku yang masih tertidur untuk segera bergegas keluar rumah. Demokrasi, anakku yang kecil langsung digendong oleh ayahnya, dan nampak agak kebingungan. Kami semua telah berada di luar rumah dan semua mata tertuju kea rah utara, arah di mana Gunung Merapi berada, kami merasa yakin bahwa pagi itu yang terjadi adalah Gunung Merapi Meletus, karena status Merapi memang sedang siaga satu.
Pagi itu listrik padam dan semua sambungan telepon tidak berfungsi, hanya sesekali ada sms bisa terkirim atau masuk, sehingga kami merasa buta akan informasi, ada kejadian apa. Akibat gempa pagi itu banyak genting-genting rumah tetanggaku berjatuhan, bahkan ada yang pagar rumahnya roboh, melihat kejadian itu aku merasa sangat bersyukur bahwa rumahku sama sekali tidak mengalami kerusakan apapun, tapi agak prihatin melihat genting-genting rumah tetangga bejatuhan.
Setelah kami yakin gempa telah berhenti aku masuk ke kamar kecil untuk buang air, baru saja aku berjongkok, tiba-tiba suara gemuruh datang lagi, aku segera keluar kamar kecil dan gagal buang air besar, kamipun kembali berlarian keluar rumah untuk menyelematkan diri. Setelah keadaan agak tenang aku segera masuk kamar mandi dan bermaksud untuk mandi dan segera pergi ke sekolah, menunaikan kewajiban sebagai guru dan PNS, ketika aku sedang mandi aku mendengar suara gaduh, aku merasa sangat terkejut dan secara tidak sadar berlari keluar kamar mandi tanpa mengenakan sehelai kainpun, untunglah aku segera sadar atas semua itu dan segera mengambil handuk untuk menutupi tubuhku, hatiku masih merasa sangat deg-degan dan trauma, karena gempa susulan masih saja terus kami rasakan.
Pagi itu aku berangkat ke sekolah seperti biasanya, meski dengan perasaan yang masih gemetaran. Listrik dan jaringan telepon masih belum berfungsi, sehingga aku tidak dapat mengisi bensin di POM untuk sepeda motorku, untunglah masih ada warung kecil yang buka sehingga aku masih bisa mengisi bensin di situ. Dari pemilik warung kecil itulah aku tahu bahwa gempa yang barusan terjadi pagi ini adalah berasal dari kabupaten Bantul yang katanya pusat gempa berada di laut kidul atau pantai Parang Tritis, pemilik warung juga bercerita bahwa gempa pagi ini menyebabkan dua orang meninggal dan satu rumah roboh, ya Tuhan aku sangat sedih dan prihatin mendengar bahwa gempa telah menyebabkan dua orang meninggal dunia, sepanjang perjalanan selama 45 menit aku senantiasa menangis dan berdoa memohon agar dilindungi dari segala mara bahaya. Sesampainya di sekolah kami masih belum mendengar berita apapun, aku masih mengajar pada jam pertama. Demokrasi, anakku yang kecil walaupun masih trauma juga sudah berangkat ke sekolah. Ayahnya sudah berangkat kerja, di rumahku hanya ada seorang pembantu yang menunggu rumah.
Di tengah-tengah asyiknya aku mengajar di depan siswa-siswa kelas XI IPA dan sesekali membahas masalah gempa yang baru saja terjadi, dari kantor TU terdengar pengumuman agar pelajaran diakhiri dan anak-anak diminta untuk pulang, kami semua berfikir Merapi meletus, dan anak-anakpun pulang ke rumah masing-masing.
Aku masih duduk di kantor guru, mau pulang rasanya masih terlalu pagi, aku bermaksud mampir ke vila menengok siswa-siswa yang tinggal di vilaku itu, menanyakan bagaimana keadaannya, dan bagaimana proses belajar mereka. Akan tetapi aku merasa heran dan sangat terkejut melihat orang berbondong-bondong menuju ke arah Utara, atau ke arah Gunung Merapi, ada yang mengendarai mobil ada yang mengendarai motor, dan ada yang berlari-lari kecil, aku sangat penasaran menyaksikan kejadian itu.
Karena tak kuat menahan rasa penasaran dan rasa ingin tahu, aku berhenti dan bertanya pada orang yang berjalan ke arah Utara mengapa banyak sekali orang yang menuju ke arah Utara atau menuju ke tempat yang lebih tinggi, dari pertanyaan itu aku memperoleh jawaban yang sangat mengejutkan dan merisaukan hatiku saat itu. Ternyata mereka semua mengira ada Stunami setelah gempa terjadi sehingga orang-orang berlarian mencari tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, akupun mengurungkan niat untuk singgah di Vila menengok murid-muridku.
Yang terpikirkan olehku saat itu adalah Demokrasi anakku yang kecil yang masih kelas 3 SD, bagaimana nasibnya bila benar terjadi tsunami?, aku berusaha menelpon rumah tidak bisa, menghubungi suami juga tidak bisa, jaringan telpon belum ada yang berfungsi, sehingga tanpa pikir panjang aku mengendarai motorku menuju ke arah Selatan, jalanan macet karena semua orang menuju arah Utara, sambil menangis aku terus berdoa agar Tuhan melindungi keluargaku terutama Demokrasi, aku sudah siap menanggung resiko apapun yang terjadi, meski aku harus diterjang tsunami, aku rela, yang penting aku bisa menyelamatkan Dede panggilan untuk Demokrasi. Di jalan banyak orang yang menganjurkan aku untuk kembali ke arah Utara, tapi aku tak mau perduli, yang aku perdulikan hanyalah bagaimana caranya menyelamatkan Dede dari terjangan tsunami.
Perjalanan dari sekolah sampai rumahku biasanya dapat kutempuh dalam waktu 45 menit dengan sepeda motor, saat itu sudah satu jam lebih aku berjalan tapi belum juga sampai di rumah, hal itu dikarenakan jalanan sangat macet dengan orang yang akan menyelamatkan diri dari tsunami, seolah-olah saat itu aku berjalan menentang arus lalulintas. Akhirnya aku sampai di rumah dengan susah payah, rumahku dalam keadaan kosong tapi pintunya terbuka, pembantuku pergi entah kemana, orang-orang kampungku juga entah pergi kemana, setelah menyandarkan sepeda motorku aku segera masuk rumah dan naik ke lantai dua, aku sangat bersyukur dan mengucapkan ribuan terimakasih kepada Tuhan karena di lantai dua rumahku aku menemukan kedua anakku dan pembantuku, rupanya mereka tidak ikut orang-orang kampung yang berlarian menuju arah yang lebih tinggi, mereka menganggap lantai dua rumahku sudah cukup tinggi untuk menyelamatkan diri. Aku peluk dan aku ciumi mereka dengan perasaan yang sangat bahagia, karena Tuhan masih melindungi mereka. Rupanya semua orang Yogya saat itu termakan isu bahwa aka nada tsunami yang cukup besar, sehingga semua orang menjadi panik, hal itu wajar menurutku, karena belum lama ini kita semua baru saja menyaksikan pengalaman yang sangat mengerikan yaitu tsunami di Aceh yang menelan korban cukup banyak.
Waktu sudah semakin siang, aliran listrik kadang hidup kadang mati, dan kami akhirnya dapat memperoleh informasi dari media televisi yang menyiarkan bahwa gempa pagi ini telah memporak porandakan wilayah Yogyakarta, lebih-lebih wilayah Kabupaten Bantul, berita mengenai jumlah korban semakin lama semakin bertambah banyak, sebagian rumah warga roboh dan hancur termasuk rumah Kepala Sekolah kami yang kebetulan rumahnya di Bantul dan beberapa rekan serta siswa kami, korban meninggal sudah mencapai ribuan, sungguh merupakan kabar yang sangat mengerikan.
Malam harinya hampir seluruh warga Yogyakarta, tidak ada yang berani tidur di dalam rumah, apalagi Dede anakku, dia benar-benar mengalami trauma yang cukup serius, semenjak hari itu dia jadi sering terdiam dan melamun, tidak mau masuk ke dalam rumah tanpa ditemani oleh ayah atau ibunya, hal seperti itu berlangsung cukup lama. Jangankan anak kecil orang tua sekalipun banyak yang mengalami trauma, misalnya pada suatu hari aku berada di sebuah toko sedang berbelanja, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh, kami semua berhamburan keluar dari toko tersebut, padahal suara gemuruh itu adalah suara kereta api yang lewat.
Sampai berbulan-bulan kami mengalami trauma atas kejadian gempa 27 Mei itu, kami juga sangat prihatin terhadap para korban yang kehilangan orang-orang yang dicintainya, kehilangan tempat tinggal, menjadi cacat seumur hidup, anak-anak banyak yang menjadi yatim piatu dan sangat menderita karenanya, hal itu membangkitkan rasa solidaritas yang sangat tinggi diantara kami, kami berusaha saling membantu antar sesama, apa yang bisa kami lakukan kami lakukan, membantu menyediakan makanan, membantu membersihkan puing-puing rumah yang roboh dan membantu apa saja yang bisa kami bantu, bantuan kemanusiaan datang dari berbagai penjuru daerah baik dalam maupun luar negeri, yang kesemuanya adalah ingin meringankan beban penderitaan para korban gempa, aku sendiri kehilangan Budhe tercinta dalam peristiwa ini, namun Budhe meninggal bukannya tertimpa reruntuhan atau tembok bangunan, akan tetapi meninggal akibat adanya gempa susulan yang terjadi tepat jam duabelas siang, di mana saat itu Budhe sedang tidur siang, karena terkejut adanya gempa yang cukup keras, Budhe berlari keluar rumah, dan setelah siang itu Budhe gemetaran dan tak terasa buang air kecil tak henti-hentinya dan esoknya Budhe meninggal dunia.
Gempa-gempa susulan masih saja terus terjadi, sampai berbulan-bulan lamanya, kami masih terus melaluinya dengan perasaan was-was dan takut kalau-kalau gempa yang lebih besar datang lagi, siapa yang menyangka di mana pemerintah saat itu sedang konsentrasi terhadap bahaya meletusnya Gunung Merapi di Sleman atau Yogya bagian Utara, akan tetapi musibah justru terjadi di Bantul atau Yogya bagian Selatan, itulah takdir Tuhan, manusia boleh meramal dan memprediksi, tapi Tuhan jualah yang menentukan, kita sebagai manusia hendaknya selalu ingat dan dekat kepadaNya, karena Tuhanlah yang mengatur segala-galanya.
Gunung Merapipun akhirnya meletus dan menelan korban yang terjebak di dalam bunker penyelamat di Kaliadem. Obyek wisata Kaliadem yang dulu indah dan asri menjadi porak poranda tertimbun batu-batu yang berukuran raksasa dan pasir yang di muntahkan oleh gunung Merapi.
Dari kejadian itu aku sempat berfikir bahwa Tuhan Maha adil pada umatnya, bayangkan saja, ketika kita sedang khawatir mengenai Merapi di Sleman, yang terkena musibah parah dan berat justru wilayan Bantul, ketika warga Bantul yang kehilangan tempat tinggal akan membangun kembali rumahnya, Gunung Merapi meletus dan memuntahkan jutaan meter kubik pasir dan batu yang dapat digunakan oleh warga Bantul untuk membangun rumahnya, Tuhan telah mengambil tapi juga telah memberi gantinya.
Kejadian demi kejadian telah menyadarkan aku bahwa kita senantiasa harus selalu ingat pada Tuhan, yang telah menciptakan kita dengan berbagai kelebihan dan kekurangan, hanya pada Tuhanlah kita kelak akan kembali, manusia adalah makhluk kecil yang tidak berdaya, untuk apa kita menumpuk-numpuk harta, rumah mewah kalau kita tidak perduli pada sesama, banyak dari mereka yang lebih membutuhkan daripada kita. Kita punya rumah mewah di goyang gempa beberapa menit saja sudah musnah, semua yang kita miliki adalah titipan dariNya, mengapa masih banyak diantara kita yang menyombongkan diri, yang merasa bahwa dialah yang berkuasa, yang merasa bahwa merekalah paling kaya? Mengapa tidak berkaca pada kejadian in?, apakah memang seperti itu sifat manusia?.
Bel tanda masuk kelas telah berbunyi, aku segera menutup pintu gerbang sekolahan dan masuk ke kelas untuk memberikan pelajaran pada murid-muridku, aku akan memberi pelajaran tentang hakekat manusia, bagaimana manusia harus senantiasa bersyukur dan berdoa, karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Semoga Tuhan di atas sana senantiasa memberikan petunjuk dan hidayahnya kepada kita semua agar kita tetap berada di jalanNya, kita patut bersyukur masih dapat menghirup udara segar pagi ini, masih bisa memandang Gunung Merapi yang cantik dan masih bisa membenahi diri ke jalan yang lebih baik, masih bisa belajar dan bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar